Minggu, 13 September 2009

sinusitis ethmiodal

BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi oleh karena infeksi virus, bakteri dan jamur atau karena reaksi alergi yang berkepanjangan pada sebagian atau seluruh mukoperiosteum dari sinus paranasalis. Kata sinusitis berasal dari bahasa Latin, sinusitis dimana istilah sinus sendiri berati cekungan dan itis adalah akhiran yang berarti radang. Jadi, sinusitis adalah radang pada sinus.(1, 2)
Insiden tertinggi terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh peradangan kronis dari hidung yang merupakan alat pernafasan bagian atas. Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan jenis penyakit infeksi di Indonesia yang banyak diderita oleh masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 %, usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %; lebih dari 50% penyebabnya adalah virus. Bila infeksi terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut dengan pansinusitis.(1,2,3,4,5)
Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksilaris, sinusitis ethmoidalis, sinusitis frontalis dan sinusitis sfenoidalis. Sinusitis tidak hanya menginvasi rongga hidung dan ruangan-ruangan dalam tulang wajah atau muka disekitar hidung, tetapi sinusitis dalam tahap akut sekalipun dapat pula menjalar hingga ke telinga. (2,6)
Menurut Heerman yang dikutip dari Heinzler (1969) terdapat prosentase urutan sinusitis paranasal, yaitu sinusitis maksilaris 75%, sinusitis ethmoidalis 15%, sinusitis frontalis dan sphenoidalis 10%.(1)
Kasus sinusitis ethmoidalis kronis eksaserbasi akut dijumpai di tempat-tempat pelayanan kesehatan, namun permasalahannya adalah bagaimana menegakkan diagnosa sinusitis etmoidalis kronis eksaserbasi akut dengan tujuan agar para klinisi dapat mengelola dengan baik dan tahu kapan harus merujuk ke dokter spesialis THT.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS ETHMOIDALIS
2.1.1 Anatomi Sinus Ethmoidalis
Sinus etmoidalis merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Pada perkembangan embriologinya, sel anterior ikuti oleh sel posterior. Sel-sel ethmoid terbentuk mulai fetus berusia 4 bulan dan sudah ada sewaku bayi lahir. Ethmoid ini lalu berkembang pada masa pubertas. Sel-sel ethmiod ini terletak di kiri dan kanan kavum nasi, disebelah lateral sepertiga atas hidung dan sebelah medial orbita.(1,7)
Pada orang dewasa bentuk sinus ethmoid seperti bentuk piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus ethmoid dibagi menjadi sinus ethmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus ethmoid posterior yang bermuara ke meatus superior. Sel-sel anterior dipisahkan oleh lempeng tulang tranversal yang tipis. Setiap sisi terdiri dari sekitar 10-15 sel dengan volume 14-15 ml.(1,2)
Pada bagian terdepan sinus ethmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel ethmoid terbesar adalah bulla ethmoid. Di daerah ethmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksilla. Dinding lateral sinus ethmoid dibentuk oleh tulang lakrimal (ethmoid anterior) dan os. planum atau lamina papirasea (ethmoid posterior). Dinding medial etmoid berasal dari bagian setengah atas dinding lateral hidung (konka media dan lanjuta tulag diatasnya) dan bagian setengah bawahnya adalah dinding medial antrum. Atap sinus ethmoid yang disebut fovea ethmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa yang tipis dan berlubang-lubang dan lanjutan planum orbita os. frontal. Sedangkan bagian posterior sinus ethmoid adalah dinding depan sinus sfenoid.(1)
Sinus ethmoid mendapat aliran darah dari a. karotis eksterna, a. karotis interna, a. sfenopalatina dan a. oftalmika. Sinus ini disarafi oleh nervus trigeminus. Persarafan parasimpatis melalui nervus vidian, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion sympathetic cervical dan berjalan bersama pembuluh darah menuju mukosa sinus.(7)
2.1.2 Fisiologi Sinus Ethmoidalis
Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus ethmoidalis juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Arah gerakan mukus dalam hidung yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar mukosa umumnya adalah menuju ke belakang. Aliran ini dimulai dari rongga yang terdapat dibagian superior sinus ethmoid kearah inferior dengan menyusuri dinding selulae kearah ostium sinus ethmoid dengan gerakan seperti spiral.(1,2)
Pada dinding lateral hidung terdapat aliran transpor mukosiliar dari sinus. Mukus yang dihasilkan dari sinus ethmoid anterior akan bergabung dengan mukus yang dihasilkan pada sinus maksilaris dan frontalis di infundibulum etmoid dan dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Sedangkan mukus yang berasal dari sinus ethmoidalis posterior akan bergabung dengan mukus yang dihasilkan oleh sinus sfenoid di resesus sfenoetmoidalis dan dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis ethmoidalis didapati sekret pasca nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.(1,2)
Aliran mukus yang dihasilkan dari sinus ethmoidalis ke rongga hidung dipengaruhi oleh keadaan ostium, mukosilia sistem yang bekerja baik serta kualitas dari mukus membran. Beberapa fungsi sinus etmoidalis antara lain(1,2) :
a. Sebagai pengatur kondisi udara
b. Sebagai pengatur suhu

c. Membantu keseimbangan kepala
d. Membantu resonansi suara
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
f. Membantu produksi mukus

2.2 ETIOLOGI SINUSITIS ETHMOIDALIS
Penyebab sinusitis ethmoidalis sama halnya dengan penyebab infeksi sinus-sinus yang lain. Infeksi atau peradangan sinus umumnya terjadi sebagai lanjutan infeksi hidung, Sinusitis ethmoid dapat terjadi bila terdapat gangguan pengaliran udara dari dan ke rongga sinus serta adanya gangguan pengeluaran cairan mukus. Adanya peradangan yang terus-menerus menyebabkan terjadinya pembengkakan pada ostia sehingga lubang drainase ini menjadi buntu dan mengganggu aliran udara sinus serta pengeluaran cairan mukus. Penyebab terjadinya obstruksi ostia ini antara lain(1,2,8,9,10) :
1. Infeksi virus
Sinusitis ethmoidals bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada aluran pernafasan bagian atas. Sehinga virus yang menyerang sinus biasanya sama dengan virus yang menyerang hidung dan nasofaring sebelumnya karena mukosa sinus berjalan kontinue dengan mukosa hidung.
2. Infeksi bakteri
Didalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococus pneumonia, Haemophilus influenza). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam snus sehingga terjadi infeksi sinus. Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri.

3. Infeksi Jamur
Aspergillus merupakan jamur yang dapat menyebabkan sinusitis ethmoidalis pada penderita gangguan sistem kekebalan.
4. Peradangan menahun pada saluran hidung
Peradangan menahun pada saluran hidung yang diakibatkan reaksi alergi ataupun non alergi mengakibatkan obstruksi ostium akibat edema mukosa dan hipersekresi dalam rongga sinus sehingga menutup hubungan antara sinus dan hidung.
Dalam keadaan sehat, 1/3 anterior dari kavum nasi terdapat organisme yang tampaknya tidak patogen. Sedangkan jika dalam terinfeksi akut baik oleh virus maupun organisme dari luar, maka organisme yang tidak patogen tadi berkembang dengan cepat dan menyebar diantaranya masuk ke dalam ostium sinus paranasal.(1,11)
Terjadinya sinusitis ethmodalis juga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor predisposisi yang antara lain(1,2,8) :
1. Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung.
2. Infeksi pada sinusitis sering dijumpai pada keluarga yang tinggal di lingkungan yang kurang sehat seperti adanya polusi udara termasuk asap tembakau
3. Daya tahan tubuh yang rendah, defisiensi nutrisi, kelelahan tubuh.
4. Penyakit sistemik kronis, hipogammaglobulin akan menyebabkan daya tahan tubuh rendah sehingga mudah terjadi infeksi didaerah sinus.
5. Pengaruh udara. Umumnya infeksi sinusitis ethmoidalis pada daerah dengan iklim yang dingin. Udara dingin akan mempengaruhi kerja silia menjadi lebih lambat, demikian juga pada udara yang kering akan mengakibatkan perubahan di mukosa sehingga sering terjadi sinusitis ethmoidalis.


2.3 PATOFISIOLOGI SINUSITIS ETHMOIDALIS
Ada 3 faktor otama untuk berfungsinya sinus secara normal, yaitu(1) :
1. Potensi ostium sinus
2. Fungsi silia
3. Sekresi kelenjar hidung
Patofisiologi yang penting dan paling jelas yang menyebabkan sinusitis ethmoidalis adalah edema mukosa didalam dan disekeliling ostium akibat terinfeksi virus, bakteri atau disebabkan karena peradangan yang terus menerus. Bila terjadi edema di kompleks osteo meatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang lebih baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Pada awal penyakit didapati peningkatan tekanan intrasinus yang transient, kemudian dengan berlanjutnya penyakit yang diikuti tekanan negatif intrasinus sehingga menyebabkan hipoksia dalam sinus, bakteri kemudian dapat masuk memasuki ostium sinus dan menyebabkan retensi dari sekret, fungsi silia akan rusak. Juga terdapat perubahan viskositas dari sekret nasal, yang memberikan medium yang ideal bagi perkembangan bakteri anaerob yang selanjutnya dapat menyebabkan perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip kista.(1,6)
Mukosa dan kelenjar akan mengalami kerusakan jika terinfeksi virus dan bakteri, serta terpapar oleh polusi udara dan bahan kimia, yang akan menyebabkan produksi kelenjar menjadi tidak normal sehingga akan mengakibatkan gangguan sistem mukosilia, yaitu gangguan drainase dan ventilasi pada sinus maksilaris. (1,9)
Alergi juga dapat menyebabkan timbulnya infeksi karena terjadi oedem mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus maksilaris yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang.(1,2,11,13)
Sinusitis ethmoidalis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada sinusitis ethmoidalis kronis, sumber infeksi berulang cenderung berupa suatu daerah stenotik, biasanya infundibulum ethmoidalis dan resessus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruangan yang sempit ini, akibatnya terjadi gangguan transpor mukosilier dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke sinus yang berdekatan.(1.6.11,12,13)

2.4 DIAGNOSIS SINUSITIS ETHMOIDALIS
Diagnosis sinusitis ethmoidalis kronis eksaserbasi akut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.(1,2,8,11,13,14,15)
2.4.1 Anamnesis
Dari anamesis akan didapatkan gejala dari sinusitis ethmoidalis akut dan sinusitis ethmoidalis kronis yang timbul secara bersamaan, yang terdiri dari :
 Sinusitis Ethmoidalis akut
Dari anamesa yang didapat biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama lebih dari 7 hari. Gejala subyektif terbagi atas(1,2,3,8,11,13) :
a. Gejala sistemik, yaitu demam dan rasa lesu.
b. Gejala lokal, yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah pangkal hidung dan kantus media, kadang-kadang nyeri pada bola mata atau belakangnya terutama bila mata digerakkan.

 Sinusitis Ethmoidalis kronis
Gejala subyektif yang akan didapatkan bervariasi dari yang ringan hingga berat, seperti(1,2,11,13) :
a. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung serta sekret paska nasal (post nasal drip) dan berbau. Sekret ini yang memicu terjadinya batuk kronis.
b. Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
c. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba eustachius.
d. Adanya nyeri / sakit kepala. Biasanya terasa pada pagi hari dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Kemungkinan penyebabnya karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya stasis vena.
e. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus naso-lakrimalis
f. Gejala saluran nafas berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronkhitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkhitis.
g. Gejala saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
h. Anosmia / hiposmia.
Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip dengan sinusitis ethmoidalis akut : namun, diluar massa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus ethmoidalis. Hidung biasanya tersumbat dan tentunya ada gejala-gejal faktor predisposisi, seperti rinitis alergi yang menetap dan keluhan-keluhan yang menonjol.

2.4.2 Pemeriksaan Fisik (Gejala Obyekif)
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan gejala obyektif dari sinusitis ethmoidalis akut dan sinusitis ethmoidalis kronis, yaitu(1,2,5,11,13) :
a. Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan Rinoskopi anterior akan didapatkan mukosa yang edema dan hiperemis, terlihat sekret mukopus pada meatus media. Pada sinusitis ethmoiditis kronis eksasserbasi akut dapat terlihat suatu kronisitas misalnya terlihat hipertrofi konka, konka polipoid ataupun poliposis hidung.
b. Rinoskopi posterior
Pada pemerikasaan Rinoskopi posterior, tampak sekret yang purulen di nasofaring dan dapat turun ke tenggorokan.
c. Pada pemeriksaan transiluminasi (diafanoskopi)
Dilakukan di kamar gelap memakai sumber cahaya penlight berfokus jelas yang dimasukkan ke dalam mulut dan bibir dikatupkan. Arah sumber cahaya menghadap ke atas. Pada sinus normal tampak gambaran terang pada daerah glabella. Pada sinusitis ethmoidalis akan tampak kesuraman.
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologik
Dengan X-foto sinus paranasal posisi Cad well.
b. Pemeriksaan mikrobiologik
Biasanya pada sinusitis etmoiditis kronis eksaserbasi akut menunjukkam infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, yaitu bakteri aerob (S.aureus, S.viridans, H.influenza) dan bakteri anaerob (Peptostreptokokus dan Fusobakterium).
c. CT-Scan
Gambaran sinus paranasal dan kompleks osteo meatal tampak jelas. Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai sudah terdapat komplikasi.

d. Sinuskopi
Dilakukan untuk mengevaluasi keadaan Kompleks Osteo Meatal.

2.5 KOMPLIKASI SINUSITIS ETHMOIDALIS
Komplikasi sinusitis ethmoidalis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotika.(1,2)
Komplikasi sinusitis maksilaris antara lain (1,2,8,11,13) :
1. Komplikasi orbita
Sinus ethmidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang terpenting. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoiditis akut. Terdapat 5 tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan.
Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan seperti ini biasanya ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita.
Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiostal.
Pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita sehingga menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita.
Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstra okuler mata yang terserang dan khemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.


e. Trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi ini akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus dimana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjunctiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernusus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
2. Komplikasi intrakranial
Komplikasi intrakranial antara lain :
a. Meningitis akut
Merupakan infeksi terberat setelah trombosis sinus kavernosus. Infeksi dari sinus ethmoid dapat menyebar melalui lamina kribiformis didekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses Dura
Adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium. Proses ini timbul lambat sehingga pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai.
c. Abses otak
Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus maksilaris terinfeksi, maka terjadi metastatik secara hematogen ke dalam otak. Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung.
3. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Nyeri tekan dahi yang sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal ini terbentuk oedem supraorbita dan mata menjadi tertutup. Pada radiogram, dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh.
4. Kelainan paru
Kelainannya antara lain bronkhitis kronik dan bronkiektsis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkhitis. Selain itu juga dapat timbul asma bronkial.
5. Toxic Shock syndrome

2.6 TERAPI SINUSITIS ETHMOIDALIS
Untuk penatalaksanaan sinusitis ethmoidalis dibagi menjadi terapi medikamentosa dan operatif.(1,2,8,11,13)
1. Terapi Medikamentosa
a. Antibiotik
Diberikan antibiotik selama 2-4 minggu untuk mengetasi infeksinya. Antiibiotik yang dipilih mencakup anaerob, seperti penisilin V, klindamisin, atau augmentin merupakan pilihan yang tepat bila golongan penisilin tidak efektif.
b. Dekongestan
Dekongestan dapat menstimulasi reseptor adrenergik di mukosa hidung dengan efek vasokonstriksi yang mengurangi keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi. Preparat yang umum adalah pseudoefedrini. Dekongestan topikal dapat dianjurkan pada sinusitis akut pertama yang terkomplikasi, sedangkan untuk sinusitis kronis tidak dianjurkan karena untuk pemakaian jangka panjang (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rhinitis medikamentosa.
c. Antihistamin
Hanya berfungsi pada manifestasi alergi sehingga pemberiannya pada sinusitis akut tidak tepat karena sinusitis akut adalah penyakit infeksi, sedangkan pada sinusitis maksilaris kronis alergi justru berperan sebagai penyebab pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin dianjurkan.

d. Mukolitik
Pemberian mukolitik bersifat simtomatis untuk mengencerkan sekret yang kental sehingga mudah dikeluarkan, meningkatkan kerja silia dan merangsang pemecahan fibrin.
2. Terapi tanpa pembedahan
Terapi yang dilakukan adalah diatermi, yaitu dengan menggunakan sinar gelombang pendek selama 10 hari didaerah sinus ethmoidalis untuk memperbaiki sirkulasi pembuluh darah sehingga antibiotik dapat berpenetrasi dengan baik.
3. Terapi dengan pembedahan
Menjadi pertimbangan jika pasien tidak berespon dengan terapi medikamentosa.
a. Pembedahan radikal
Pembedahan radikal yaitu mengangkat semua mukosa yang patologik dan normal dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Dilakukan apabila pengobatan medikamentosa gagal. Untuk sinus ethmoid dilakukan ethmoidektomi yang bisa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) ataupun dari luar hidung (ekstranasal).
b. Pembedahan tidak radikal
Dilakukan dengan metode operasi sinus paranasal menggunakan endoskopi, yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopy Sinus Surgery (FESS). FESS adalah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal hanya dengan mengangkat jaringan patologik, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Sehingga nantinya tidak ada lagi hambatan ventilasi dan drainase.

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. U
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Kendal Asem IV no. 2 Demak
No. CM : 547.967
II. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Autoanamnesis , Rabu 02 Juli 2008, 09.00 WIB
A. Keluhan Utama : Pilek berwarna putih kekuningan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Selama + 2 minggu ini penderita mengeluh pilek berwarna putih kekuningan dan berbau. Ingus keluar terus menerus dan dirasakan mengalir sampai ke tenggorokan. Penderita mengaku dalam 5 bulan ini hidung sebelah kiri tersumbat terus-menerus semakin lama semakin berat. Cekot-cekot dirasakan pada pangkal hidung dan sudut mata, bertambah berat saat membungkuk. Kemeng-kemeng pada pipi (-), kemeng-kemeng pada dahi (-), daya penciuman dirasakan berkurang, hidung keluar darah (-), bersin-bersin-bersin (-) terutama pada pagi hari, mata sering terasa berair dan gatal-gatal. Nyeri tenggorokan (-), rasa sulit menelan (-), tenggorokan terasa banyak dahak (+). Telinga terasa penuh (-), telinga terasa tersumbat (-), gembrebeg (+), pendengaran berkurang (-), pusing (+), keluar cairan telinga (-), nyeri telinga (-), demam (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Penderita mengaku tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Penderita mengaku memiliki riwayat alergi.
Riwayat hipertensi disangkal penderita.
Riwayat magh disangkal penderita.
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini sebelumnya.
Ibu penderita mempunyai asma.
E. Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita adalah seorang mahasiswa. Penderita tinggal bersama Ayah yang bekerja sebagai swasta dan Ibu bekerja sebagai pegawai swasta juga serta ketiga adiknya yang masih bersekolah. Pasien berobat dengan menggunakan kartu ASKES.
Kesan Sosial Ekonomi : Baik
III. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik :
A. Status Present
Keadaan umum : Baik
Suhu : 36,8 C
Pernafasan/RR : 20 X/menit
Paru-paru : Suara dasar vesikuler
Reflek : Tidak ada kelainan
Nadi : 80 X/menit
Kepala : Mesocephal
Jantung : Suara jantung I dan II
Kelamin : Tidak ada kelainan
Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
Leher : Simetris, benjolan (-)
Anggota gerak : Tidak ada kelainan
Kulit : Sawo matang, turgor baik
B. Status Lokalis
a. Telinga
Kanan Kiri
PREAURIKULA
Tragus pain (-) (-)
Fistula (-) (-)
Abses (-) (-)
 AURIKULA
Bentuk (-) (-)
Nyeri tekan (-) (-)
Bengkak (-) (-)
MASTOID
Nyeri tekan (-) (-)
Bengkak (-) (-)
CAE
Sekret (-) (-)
Serumen (-) (-)
Corpus alienum (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Bengkak (-) (-)
Jaringan Granulasi (-) (-)
MEMBRAN TIMPANI
Warna Abu-abu mengkilat Abu-abu mengkilat
Reflek cahaya (+) (+)
Bentuk Konkaf Konkaf
Perforasi (-) (-)

b. Hidung, Sinus Paranasal dan Tenggorok
Hidung : bentuk normal, simetris.
Trismus : (-)
Palpasi Submandibula : kelenjar submandibula kanan dan kiri tidak teraba.





Rinoskopi Anterior
Kanan Kiri
Mukosa Hiperemis (+)
Krusta mukopurulen (-) Hiperemis (+)
Krusta mukopurulen (-)
Konka Media
Hipertropi (+) (+)
Hiperemis (+) (+)
Konka Inferior
Hipertropi (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Meatus Media Sekret (+) mukopurulen
Oedem (-)
Hiperemis (-) Sekret (+)mukopurulen Oedem (-)
Hiperemis (-)
Meatus Inferior Sekret (-)
Oedem (-)
Hiperemis (-) Sekret (-)
Oedem (-)
Hiperemis (-)
Septum deviasi (-) (-)
Tumor (-) (-)

















Sinus Paranasal
Kanan Kiri
Canina
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (-) (-)
Supra orbita
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (-) (-)
Glabela
Nyeri tekan (+) (+)
Nyeri ketok (+) (+)













Orofaring
Arcus Pharingeus : Simetris, uvula ditengah, hiperemis (+)
Palatum : Hiperemis (-)
Dinding retrofaring : Post nasal drip (+), granulasi (+), hiperemis (+)
Tonsil
Kanan Kiri
Pembesaran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Kripte Tidak Melebar Tidak Melebar
Detritus
Peritonsil (-)
Abses (-) (-)
Abses (-)

Pemeriksaan Rutin Khusus
1. Tes Aplikasi Efedrin 1%  (+) kanan kiri
2. Tes Pengembunan  terlihat gambaran embun kanan kiri yang tidak simetris (embun kiri terlihat lebih sedikit.
3. Transiluminasi glabella (sinus ethmoidalis)  daerah glabella tampak suram.
4. Rinoskopi posterior  terlihat dinding nasofaring tertutup lendir.
IV. RESUME
A. Keluhan utama : Rinorhea Mukopurulen
B. RPS :
Sejak 5 hari yang lalu, rinorhea mukopurulen, foetor ex nasi, post nasal drip (+). 5 bulan ini, kongesti nasal (+), nyeri glabella dan kantus medius (+), sefalgia (+), batuk (+), demam (-), odinofagi (-), hiposmia (+), tinitus(+).
C. RPD :
- Penderita tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
- Penderita mempunyai riwayat alergi.



D. Status lokalis
1. Telinga
Kanan Kiri
PREAURIKULA
Tragus pain (-) (-)
Fistula (-) (-)
Abses (-) (-)
 AURIKULA
Bentuk (-) (-)
Nyeri tekan (-) (-)
Bengkak (-) (-)
MASTOID
Nyeri tekan (-) (-)
Bengkak (-) (-)
CAE
Sekret (-) (-)
Serumen (-) (-)
Corpus alienum (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Bengkak (-) (-)
Jaringan Granulasi (-) (-)
MEMBRAN TIMPANI
Warna Abu-abu mengkilat Abu-abu mengkilat
Reflek cahaya (+) (+)
Bentuk Konkaf Konkaf
Perforasi (-) (-)
2. Hidung, Sinus Paranasal dan Tenggorok
Hidung : bentuk normal, simetris
Trismus : (-)
Palpasi Submandibula : kelenjar submandibula kanan dan kiri tidak teraba.
Rinoskopi anterior
Kanan Kiri
Mukosa Hiperemis (+)

Krusta mukopurulen (-) Hiperemis (+)

Krusta mukopurulen (-)
Konka Media
Hipertropi (+) (+)
Hiperemis (+) (+)
Konka Inferior
Hipertropi (-) (-)
Hiperemis (-) (-)
Meatus Media Sekret (+) mukopurlen Oedem (-) Hiperemis (-) Sekret (+) mukopurulen Oedem (-) Hiperemis (-)
Meatus Inferior Sekret (-) Oedem (-) Hiperemis (-) Sekret (-) Oedem (-) Hiperemis (-)
Septum deviasi (-) (-)
Tumor (-) (-)

Sinus Paranasal
Kanan Kiri
Canina
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (-) (-)
Supra orbita
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (-) (-)

Glabela
Nyeri tekan (+) (+)
Nyeri ketok (+) (+)
Orofaring
Arcus Pharingeu : Simetris, uvula ditengah, hiperemis (+)
Palatum : hiperemis (-)
Dinding retrofaring : Post nasal drip (+), granulasi (+), hiperemis (+)
Tonsil
Kanan Kiri
Pembesaran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Kripte Tidak Melebar Tidak Melebar
Detritus
Peritonsil (-)
Abses (-) (-)
Abses (-)
Pemeriksaan Rutin Khusus
1. Tes Aplikasi Efedrin 1%  (+) kanan kiri
2. Tes Pengembunan  terlihat gambaran embun kanan kiri yang tidak simetris (embun kiri terlihat lebih sedikit.
3. Transiluminasi glabella (sinus ethmoidalis)  daerah glabella tampak suram.
4. Rinoskopi posterior  terlihat dinding nasofaring tertutup lendir.
V. DIAGNOSA BANDING
1. Sinusitis ethmoidalis kronis eksaserbasi akut.
2. Sinusitis maksilaris kronis eksaserbasi akut.
3. Sinusitis frontalis kronis eksaserbasi akut.
4. Ozaena.
VI. DIAGNOSA SEMENTARA
Sinusitis Ethmoidalis Kronis Eksaserbasi Akut
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X foto sinus paranasal posisi Waters
2. X foto sinus paranasal posisi Cald Well
3. CT Scan Sinus Paranasal
4. Sinuskopi atau Endoskopi
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medikamentosa
 Antihistamin
 Antibiotik
 Dekongestan
 Antiinflamasi
 Mukolitik
2. Terapi Operatif
 Konkotomi dilanjutkan dengan Ethmoidectomi
 FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery)
IX. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
X. FOLLOW UP
1. Keadaan umum
2. Perkembangan pengobatan













BAB IV
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus didapatkan anamnesa bahwa penderita mengalami rinore mukopurulen dan foetor ex nasi. Rinore mukopurulen terjadi karena gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental. Gejala foetor ex nasi terjadi karena adanya nekrosis mukosa dan adanya organisme saprofit yang membusukkan sel-sel yang telah mati oleh karena toksin bakteri, nekrosis dan kurangnya aliran darah. Penderita juga mengeluh hidung tersumbat, rasa nyeri pada pangkal hidung dan sudut mata terutama saat bangun tidur dan membungkuk, daya penciuman berkurang. Hal ini sesuai dengan gejala-gejala subyektif yang terdapat pada sinusitis ethmoidalis dimana pada pasien tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sinusitis kronis karena gejala-gejala yang dirasakan penderita sudah berlangsung lebih dari 3 bulan.(1,2,11,14)
Pada pemerikasaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan dan nyeri ketuk yang dilakukan pada daerah pangkal hidung dan sudut mata. Gejala ini terjadi karena adanya nekrosis mukosa dan adanya penimbunan sekret mukopurulen di rongga sinus.(1,2,11,14)
Selain itu ditemukan konka media sinistra mengalami hipertrofi dan hiperemis, akibat drainase yang terganggu sehingga terjadi oedem pada konka. Hal ini dapat memperkuat diagnosa sementara dan menyingkirkan diagnosa banding ozaena. Ditemukan pula sekret mukopurulen di meatus media yang menunjukkan bahwa di rongga sinus ethmoidalis anterior terdapat timbunan sekret mukopurulen. Sedangkan pada meatus superior tidak terlihat. Di orofaring juga ditemukan adanya post nasal drip karena mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Sedangkan mukus yang berasal dari sinus ethmoidalis posterior akan bergabung dengan mukus yang dihasilkan oleh sinus sfenoid di resesus sphenoetmoidalis dan dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba.(1,2,11)
Pada pemeriksaan rutin khusus dengan menggunakan transiluminasi / diafanoskopi, didapatkan hasil sinus ethmoidalis tampak kesuraman. Sedangkan pada sinus normal tampak gambaran yang terang pada glabella. Hal ini terjadi karena adanya akumulasi pus dalam rongga sinus yang tidak dapat keluar karena gangguan ventilasi dan drainase sinus.(1,2, 11)
Pada pemeriksaan penunjang, dilakukan foto rontgen sinus paranasal untuk mengetahui adanya kesuraman pada sinus ethmoidalis sehingga dapat dipakai untuk memperkuat diagnosa sementara dan menyingkirkan diagnosa banding, yaitu sinusitis maksilaris kronis eksaserbasi akut, sinusitis frontalis kronis eksaserbasi akut. Pemeriksaan penunjang yang dapat juga dilakukan adalah CT-Scan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari sinus ethmoidalis, sinuskopi untuk dapat melihat kondisi kompleks osteo meatal, serta pemeriksaan mikrobiologik yang berguna untuk mengetahui jenis bakteri.(1,2,6,8)
Terapi yang dilakukan dapat dengan medikamentosa berupa antibiotik selama 10-14 hari, dekongestan lokal berupa tetes hidung agar ostium tuba tetap membuka sehingga memperlancar drainase sinus, antiinflamasi untuk menyembuhkan oedem, mukolitik untuk mengencerkan sekret yang kental, juga dapat diberikan antihistamin kepada pasien dengan penyebab alergi. Dapat pula dilakukan diatermi dengan sinar gelombang pendek (ultra short wave diathermy) selama 10 hari pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus.(2,6)
Jika belum membaik dilakukan tindakan operatif radikal seperti ethmoidektomi ataupun non radikal seperti FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery). Prinsip dari operasi radikal ini yaitu mengangkat semua mukosa baik yang patologik maupun normal dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Sedangkan prinsip dari operasi non radikal yaitu dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali. Dalam kasus ini, telah dilakukan tindakan operatif radikal yaitu konkotomi dan ethmoidektomi. Namun terapi dapat lebih optimal bila dilakukan tindakan operasi non radikal, yaitu FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery).(2,8,11)
Pemantauan perlu dilakukan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya tindakan yang dilakukan. Edukasi juga sangat penting dalam proses penyembuhan sinusitis maksilaris kronis, seperti segera diobati jika ada pilek.


BAB V
KESIMPULAN


Telah dilaporkan sebuah kasus dengan sinusitis ethmoidalis kronis eksaserbasi akut di bagian THT RSUD Swadana Kudus.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa yang dikumpulkan adalah keluhan foetor ex nasi, rinore, mukopurulen, post nasal drip, kongesti nasal, nyeri pada pangkal nasi dan kantus medius. Pemeriksaan fisik ditemukan sekret mukopurulen di meatus media nyeri tekan pangkal nasi dan kantus medius, post nasal drip di dinding retrofaring serta gambaran konka hipertrofi pada kavum nasi. Pada pemeriksaan transiluminasi didapatkan kesuraman di glabella.
Terapi yang dilakukan adalah dengan pemberian terapi medikamentosa untuk meredakan peradangan. Setelah peradangan mereda kemudian dilakukan operasi ethmoidektomi dan konkotomi.
Pada kasus sinusitis ethmoidalis kronis eksaserbasi akut ini prognosisnya baik, bila pengelolaannya optimal.














DAFTAR PUSTAKA


1. Samsudin, 2003, Buku Ajar Rhinologi, FK UNISSULA Semarang. Hal 23-17

2. Soetjipto, D dan Mangunkusumo, E.2001. Sinus Paranasal dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi 5, FKUI Jakarta. Hal 115-124

3. Anonim, 2006, http://www.combiphar.com/news_print.php?id_news=2398&id_sub=4, dikutip tanggal 18 Juli 2008.

4. Anonim, 2008, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/12/nas04., dikutip tanggal 18 Juli 2008.

5. Kurniasih, Dedeh., 2007, Sinusitis, http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=06267&rubrik=sehat dikutip tanggal 18 Juli 2008.

6. Triana, Nunik., Sinusitis, Bukan Sekadar Hidung Mampet,http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Kesehatan&rbrk=&id=35176 dikutip tanggal 18 Juli 2008.

7. Anggraini, Dwi., 2005, Anatomi dan Fungsi Paranasal, FK Universitas Sumatera Utara. Hal 2-4

8. Anonim, kamis 29 Maret 2007, Sinusitis, http://www.medicastore221929.mht.com dikutip tanggal 18 Juli 2008.

9. Daniel, 2006, Rhinitis-Sinusitis, http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=162 dikutip tanggal 18 Juli 2008

10. Anonim, 2008, Sinusitis, menerang siapa saja, http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/abstrak.jsp?id=82285&lokasi=lokal dikutip tanggal 18 Juli 2008

11. Adam,George, Highler P.H, Boies L.R, 1997, Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, edisi 6, EGC. Jakarta : Hal 240-250

12. Anonim, 2006, Waspada Sinusitis, http://www.combiphar.com/news_print.php?id_news=2398&id_sub=4, dikutip tanggal 18 Juli 2008.

13. Mansjoer Arief, dkk., 2001, Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran. Media Aeskulapius, FKUI, Jakarta, halaman : 102-106

14. Anonim, 2006, www.geocities.com/koskap3sakti/RSUPFatmawati dikutip tanggal I8 Juli 2008.

15. Armelin, 2007, Sinusitis,www.mitrakeluarga. net/sinusitis. html dikutip tanggal 18 Juli 2008.

SINUSITIs

SINUSITIS
I. DEFINISI
Sinusitis adalah inflamasi atau peradangan di daerah sinus paranasal yaitu suatu tempat di daerah hidung, dan bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis. Sinus adalah rongga yang berisi udara yang letaknya dalam rongga kepala di sekitar hidung.1
Ada beberapa jenis sinus, yaitu:
- Sinus frontalis yang terletak di dahi
- Sinus maksilaris terletak di dalam tulang pipi
- Sinus etmoid terletak di belakang batang hidung di sudut mata
- Sinus sfenoid terletak di belakang sinus etmoid2.
Menurut Hembing : 2005, sinus yang sehat berisi udara, selain adanya sekresi dari selaput lendirnya. Apabila aliran ke dalam hidung terhambat maka sekresinya menumpuk dan terperangkap bersama udara di dalam sinus dan menekan dinding sinus yang bertulang sehingga menimbulkan rasa nyeri.
Infeksi atau peradangan sinus umumnya terjadi sebagai kelanjutan infeksi hidung. Setiap kondisi dalam hidung yang menghambat aliran keluar cairan hidung cenderung menyebabkan infeksi dari sinus. Seperti adanya infeksi virus, bakteri atau benda asing penyebab alergi dapat menimbulkan pembengkakan selaput lendir hidung dan hal yang sama juga terjadi pada sinus sehingga menutup hubungan antara sinus dan hidung 4.
Bagian yang paling sering mengalami peradangan adalah sinus maxilla (pipi), etmoidalis (belakang tulang hidung), frontalis (dahi), dan sfenoidalis (pelipis). Peradangan terjadi karena infeksi oleh bakteri, virus atau jamur1.



II. ETIOLOGI
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Infeksi virus.
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri.
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Infeksi jamur.
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut.
Aspergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan sistem kekebalan.
Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik)1.


Penyebab sinusitis kronis:
 Asma
 Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
 Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.
III. MANIFESTASI KLINIS
Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh sinusitis dapat dibagi dua, yaitu; gejala subyektif (dirasakan) dan gejala obyektif (dilihat).
 Gejala subyektif antara lain: demam, lesu, hidung tersumbat, sekresi lendir hidung yang kental dan terkadang berbau, sakit kepala yang menjalar dan lebih berat pada pagi hari. Pada sinusitis yang merupakan komplikasi penyakit alergi sering kali ditandai bersin, khususnya pagi hari atau kalau dingin.
 Gejala obyektif kemungkinan ditemukan pembengkakan pada daerah bawah orbita (mata) dan lama kelamaan akan bertambah lebar sampai ke pipi.
Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:
1. Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala.
2. Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.
3. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
4. Sinusitis sfenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.
Gejala lainnya adalah:
- tidak enak badan
- demam
- letih, lesu
- batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari
- hidung meler atau hidung tersumbat 5.
Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus. Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau6
III. PEMERIKSAAN
Pada penderita diabetes yang tidak terkontrol atau penderita gangguan sistem kekebalan, jamur bisa menyebabkan sinusitis yang berat dan bahkan berakibat fatal.
Menurut Ted Kingdom: 2007, Mukormikosis (fikomikosis) adalah suatu infeksi jamur yang bisa terjadi pada penderita diabetes yang tidak terkontrol. Pada rongga hidung terdapat jaringan mati yang berwarna hitam dan menyumbat aliran darah ke otak sehingga terjadi gejala-gejala neurologis (misalnya sakit kepala dan kebutaan).Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap jaringan yang mati tersebut.
Aspergillosis dan kandidiasis merupakan infeksi jamur pada sinus yang bisa berakibat fatal pada penderita gangguan sistem kekebalan akibat terapi anti-kanker atau penyakit (misalnya leukemia, limfoma, mieloma multipel atau AIDS). Pada aspergillosis, di dalam hidung dan sinus terbentuk polip. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap polip.
Diganosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik.Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT scan.
Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.

IV. MANAJEMEN
A. Sinusitis Akut
Untuk sinusitis akut biasanya diberikan:
• Dekongestan untuk mengurangi penyumbatan
• Antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri
• Obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri.
Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya boleh dipakai selama waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung).
Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid.

B. Sinusitis kronis
Diberikan antibiotik dan dekongestan.Untuk mengurangi peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid. Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut).

Hal-hal berikut bisa dilakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman:
- Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk air panas
- Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam
- Kompres hangat di daerah sinus yang terkena4.
Jika tidak dapat diatasi dengan pengobatan tersebut, maka satu-satunya jalan untuk mengobati sinusitis kronis adalah pembedahan.
Pada anak-anak, keadaannya seringkali membaik setelah dilakukan pengangkatan adenoid yang menyumbat saluran sinus ke hidung.
Pada penderita dewasa yang juga memiliki penyakit alergi kadang ditemukan polip pada hidungnya. Polip sebaiknya diangkat sehingga saluran udara terbuka dan gejala sinus berkurang. Teknik pembedahan yang sekarang ini banyak dilakukan adalah pembedahan sinus endoskopik fungsional2.



















DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Sinusitis, 2002 : (http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=15&iddtl=55 ,20 Nov 2007
2. Anonim, Sinusitis, 2002(http://www.aaaai.org/patients/publicedmat/tips/sinusitis.stm
3. Anonim, Sinusitis, 2004 : (http://www.conectique.com/tips_solution/health/disease/article.php?article_id=4673 , 25 Nov 2007
4. Hembing, Atasi Sinusitis dengan Herba berkhasiat Obat, 2005 : (portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Hembing&y=cybermed%7C0%7C0%7C8%7C82 - 51k)
5. Ted Kingdom MD.,Sinusitis, 2007 (http://www.njc.org/disease-info/diseases/allergy/about/conditions/sinusitis.aspx ,28 Nov 2007
6. Tim Redaksi, Antara hidung tersumbat dan Sinusitis,2002 : (http://www.sekolahindonesia.com/sidev/NewDetailArtikel.asp?iid_artikel=108&cTipe_artikel=0

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA AKUT

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
OTITIS MEDIA AKUT

REFERAT


Diajukan guna melengkapi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT


Disusun oleh :
bagus
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Telinga Tengah 3
Fisiologi Telinga Tengah 6
Etiologi 9
Faktor Predisposisi 10
Patogenesis 10
Diagnosis 11
Penatalaksanaan 14
Komplikasi 15
Prognosis 17
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 18
Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Otitis media akut (OMA) adalah suatu radang mukoperiosteum dari rongga telinga tengah yang disebabkan oleh kuman. Pada umumnya merupakan komplikasi dari infeksi atau radang saluran nafas atas, misalnya common cold, influenza, sinusitis, morbili, dan sebagainya. Infeksi kebanyakan melaui tuba Eustachii, selanjutnya masuk ke telinga tengah.
Adapun infeksi saluran nafas bagian atas akan menyebabkan invasi kuman ke telinga tengah bahkan sampai ke mastoid. Kuman penyebab utama adalah bakteri piogenik seperti Streptococcus hemolitikus, Staphylococcus aereus, Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influeza.
OMA lebih sering terjadi pada anak oleh karena infekasi saluran nafas atas sangat sering terjadi pada anak – anak dan bentuk anatomi tuba Eustachii pada anak lebih pendek, lebar dan agak horisontal letaknya dibanding orang dewasa. Dengan keadaan itu infeksi mudah menjalar melalui tuba Eustachii. Menurut Klein dan Howie frekuwensi tertinggi di OMA terdapat pada bayi dan anak berumur 0-2 tahun. Sedangkan menurut Moch. Zaman melaporkan 50 % dari kasus OMA ditemukan pada anak berumur 0 – 5 tahun dan frekwensi tertinggi pada umur 0-1 tahun.
Gejala klinis dari OMA antara lain sakit telinga, demam, kadang disertai otore bila telah terjadi perforasi dari membran timpani. OMA dapat sembuh dengan atau tanpa disertai perforasi membran timpani, tetapi dapat pula berlanjut menjadi otitis media kronik (OMK) dan otitis media dengan efusi (OME). Proses peradangan akut pada telinga tengah berjalan cepat dan sebagian dapat menimbulkan proses destruktif, tidak hanya mengenai mukoperiostium saja tetapi juga mengenai tulang-tulang sekitarnya karena telinga tengah hanya dibatasi tulang-tulang yang tipis. Adapun penjalaran penyakit ke daerah sekitarnya tergantung pada keadaan penyakitnya sendiri dan terapi yang diberikan.

Otitis media akut atau OMA dapat memberikan komplikasi seperti abses subperiosteal sampai komplikasi yang berat (meningitis dan abses otak). Oleh karena itu kemampuan dalam mendiagnosis OMA secara tepat dan akurat haruslah di miliki terutama oleh tenaga kesehatan. Berdasarkan latar belakang diatas maka kami menyajikan makalah tentang Diagnosis dan Penatalaksanaan dari Otitis Media Akut.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas dapat di rumuskan masalah sebagai berikut : “ Bagaimana cara menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dari Otitis Media Akut atau OMA”.

C. TUJUAN
a. Untuk mengetahui dan mengerti cara menegakkan diagnosis OMA secara tepat dan benar.
b. Dapat mengetahui dan mengerti tentang penatalaksanaan OMA.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TELINGA TENGAH
Telinga tengah dapat dibagi berdasarkan anatomi dan fisiologinya. Secara anatomi telinga tengah terdiri dari :
1.Membran timpani
2.Kavum timpani
3.Tuba Eustachii
4.Mastoid dan Selulae
Berdasarkan fisiologis pembagian telinga tengah terdiri dari :
1.Timpani anterior, terdiri atas : Mesotimpani, Hipotimpani dan Tuba Eustachii
2.Timpani posterior, terdiri atas : Epitimpani dan Retrotimpani (Antrum dan Selulae)
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
- Batas luar : Membran Timpani
- Batas depan : Tuba Eustachius
- Batas bawah : Bulbus Jugularis
- Batas belakang : Aditus ad antrum, Fasialis pars Vertikalis
- Batas atas : Tegmen Timpani
- Batas dalam : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium.

A.1. MEMBRAN TIMPANI
Membran timpani berbentuk bulat dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Membran timpani terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas yang disebut pars flasida (membran shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa Pars flasida mempunyai dua lapisan, bagian luar adalah stratum kutaneum yang merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi stratum mukosum yang berasal dari mukosa kavum timpani. Pars tensa mempunyai tiga lapisan yaitu stratum kutaneum, stratum fibrosum yang merupakan lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastis yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam, serta stratum mukosum.
Batas antara pars flasida dan pars tensa adalah plika malearis anterior dan plika malearis posterior.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpami disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah.
Membran timpani dibagi dalam empat kuadran dengan menarik garis searah dengan processus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, yaitu anteroposterior, anteroinferior, posteroinferior dan posterosuperior. Pembagian ini berguna untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.

A.2. KAVUM TIMPANI
Kavum timpani adalah rongga di dalam os temporal yang berbentuk kubus irreguler. Terletak antara liang telinga dan telinga dalam. Berhubungan dengan nasofaring melalui tuba auditiva, dengan antrum mastoidea melalui aditus ad antrum.
Adapun kavun timpani dibagi menjadi 3 bagian:
1. Epitimpani yaitu rongga telinga bagian atas yang berhubungan dengan antrum melalui aditus ad antrum.
2. mesotimpani yaitu rongga telinga bagian tengah
3. hipotimpani yaitu rongga telinga bagian bawah
Kavum timpani merupakan bagian dari telinga tengah dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Batas – batas dari kavum timpani yaitu:
- Batas luar : membran timpani
- Batas dalam : berturut – turut dari atas ke bawah canalis semi sirkularis horisontal, canalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window), promontorium.
- Batas depan : vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit di bagian tengah. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf fasialis. Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah pormontorium yang menutup lingkaran koklea yang pertama.
Isi kavum timpani adalah :
- Tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, incus, dan stapes.
- Ligamen yang terdiri dari ligamen malei lateral, ligamen malei superior, ligamen incudis posteriror.
- Tendo otot yaitu tendo m. Tensor timpani, tendo m. Stapeidus.

A.3. TUBA EUSTACHIUS
Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang (pars osseus), sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Pars osseus merupakan bagian sepertiga bagian lateral yang panjangnya 12 mm dan selalu terbuka.Lubang awalnya yang disebut osteum timpanicum tuba eustachii merupakan bagian yang terlebar, kemudian makin menyempit dan berakhir pada sudut pertemuan pars petrosa dan pars skuamosa os temporale. Bagian akhir ini bergerigi untuk perlekatan pars cartilaginea tuba eustachii. Bagian pertemuan antara pars ossea dan pars kartilaginea merupakan bagian yang tersempit dan disebut istmus tuba eustachii. Pars kartilaginea merupakan duapertiga bagian medial, panjangnya 24 mm dan selalu tertutup. Bagian ini terbuka oleh karena kontraksi m. Tensor veli palatini dan m. Levaotr veli palatini yang masing – masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustachii berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani.

A.4. MASTOID
Terletak di belakang rongga telinga yang dihubungkan oleh antrum dengan aditus ad antrum. Dibentuk oleh pars squamosa dan pars petrosa. Di sini melekat m. Sternocleidomastoideus dan m. Digastrikus venter posterior. Mastoid mengandung rongga – rongga udara yang disebut selulae dan saling berhubungan dan juga berhubungan dengan antrum. Antrum sudah ada sejak lahir sedangkan selulae terbentuk sejak kehidupan tahun – tahun pertama sampai pada tahun kelima atau keenam yang penting untuk proses pneumatisasi.

B. FISIOLOGI TELINGA TENGAH
Telinga pada dasarnya berfungsi sebagai alat pendengaran, alat keseimbangan,dan juga sebagai alat kosmetik. Sebagai alat pendengaran telinga berfungsi sebagai alat penghantar gelombang suara dari luar (membran timpani) sampai ke telinga dalam (foramen ovale).Di telinga tengah gelombang suara dihantarkan melalui tulang pendengaran yang akan mengaplikasikan gelombang suara melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getaran yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antar membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel – sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 – 40) di lobus temporalis.
Telinga tengah juga memberi (mensuplai) oksigen kepada telinga dalam dengan cara difusi ke dalam perilimfe, terutama melaui foramen rotundum. Dengan demikian maka bagian yang terpenting di dalam telinga tengah adalah foramen ovale dan foramen rotundum, baik sebagai penghantaran gelombang suara maupun sebagai pemberi oksigen kepada telinga dalam. Telinga tengah sendiri mendapat oksigen dari kapiler submukosa dan dari udara yang berada dalam kavum timpani dengan cara mengabsorbsi udara.untuk kedua fungsi ini maka udara dalam kavum timpani harus diatur keluar masuknya untuk menjaga keseimbangan dengan tekanan atmosfer udara luar, serta diatur pertukaran udaranya (pengudaraan,aerasi). Hal ini dilakukan oleh tuba Eustachii, dengan demikian pentingnya tuba adalah untuk mengatur pengudaraan pada telinga tengah. Selain pengatur tekanan udara, yang lebih penting lagi adalah pemberian udara segar (oksigen), yang disebut pengudaraan atau aerasi.
Kavum timpani dan visceranya dilapisi oleh mukosa yang membentuk lipatan – lipatan mukosa. Epitel kavum timpani ada 3 macam yaitu epitel gepeng (skuamous epitel), kuboid, dan kolumner yang terdiri dari kolumner bersilia, kolumner berkelenjar (sekretorik), kolumner biasa.Bila telinga tengah mengalami peradangan, maka akan dapat ditemukan sel kelenjar dan sel goblet. Epitel telinga tengah dapat mengalami tranformasi, metaplasia, maupun displasia. Proses ini terlihat jika epitel mengalami rangsangan yang kronik baik mekanik maupun kimia. Epitel kolumner bersilia dan berkelenjar lebih banyak terdapat di daerah dekat muara tuba dan promontorium (ruang mesotimpanum). Di daerah epitimpanum dan retrotimpanum banyak terdapat epitel gepeng karena udara disini bersifat statis, selain epitel kolumner bersilia dan berkelenjar yang jumlahnya sedikit, yang berfungsi untuk pembuangan dan pertahanan.
Adapun fungsi telinga tengah sendiri dapat dikelompokkan menjadi:
a.Kegiatan mukosa
- mengabsorbsi oksigen, cairan hasil metabolisme, dan hasil dari proses patologi.
- drainase (pembuangan) dengan sistem transport mukosilia.
- menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke dalam telinga tengah, di sekitar muara tuba
- alat proteksi yang terdiri atas: mekanik karena adanya lapisan lendir di atas epitel yang menahan kotoran dan kuman, kemudian oleh sel kolumner bersilia digerakkan ke tuba, Cairan yang dihasilkan oleh sel kolumner berkelenjar, meliputi enzim (lisosim, tripsin, kolagenase), zat imunoglobulin, dan seluler di submukosa meliputi fibrosit, fibroblast submukosa, sel limfosit, sel plasma.
b. Pengudaraan kavum timpani (aerasi), yang terbagi atas lintasan udara superior yaitu aliran udara dari tuba langsung ke relung foramen ovale melalui di atas promontorium, terus ke ruang epitimpanum melalui istmus timpani anterior, dan lintasan udara inferior yaitu dari tuba aliran udara dibelokkan oleh tendo m. Tensor timpani dengan lipatan maleolus tensoris untuk masuk ke saluran antara mesotimpanum dan hipotimpanum untuk masuk ke relung foramen rotundum, terus masuk istmus timpanum posterior dan mengudarai kantong Prussak terus ke epitimpanum.
c. tekan udara kavum timpani
tekanan udara kavum timpani selalu berubah, dan naik setelah menelan (tuba terbuka) dan pada posisi tiduran. Perubahan tekanan ini dapat diatur kembali oleh udara cadangan yang berada di retrotimpanum untuk menyeimbangkan dengan tekanan atmosfer luar dengan melalui istmus timpani. Dengan demikian maka makin sedikit udara cadangannya makin mudah terjadinya proses patologi di kavum timpani.
d. Pertukaran gas
seperti di dalam alat pernafasan, kavum timpani juga mengadaka pertukaran gas. Dengan adanya perbedaan tekanan antara gas – gas dalam telinga tengah dan dalam jaringan, maka terjadi absorbsi gas perlahan tetapi kontinyu oleh lapisan mukosa.
C. ETIOLOGI
Etiologi peradangan pada telinga tengah dapat di kelompokkan menjadi :
1. Peradangan pada telinga tengah yang disebabkan oleh adanya kelainan pada nasofaring,yaitu :
a. waktu pilek mukosa nasofaring mengalami peradangan dan mikroorganisme terdorong masuk melalui tuba eustachius waktu membuang ingus keras-keras.
b. adenoid meradang sehingga menyumbat muara tuba, akan menyebabkan terjadinya absorbsi udara dalam telinga dan di gantikan oleh mukous. Pada suatu saat mukous ini akan berubah menjadi mukopus.
c. mukopus dari proses peradangan akan mengalir ke rongga belakang hidung dan menyebabkan peradangan tuba.
Walaupun infeksi saluran nafas atas disebabkan oleh virus, sebagian besar OMA disebabkan oleh bakteri piogenik. Bakteri yang sering di temukan adalah streptokokus pneumonia, hemophilus influenza, streptokokus  hemolitikus. Sejauh ini streptokokus pneumonia merupakan organisme penyebab tersering pada semua kelompok umur, sedangkan hemophilus influenza adalah patogen yang sering ditemukan pada anak di bawah usia 5 tahun, meskipun juga merupakan patogen pada orang dewasa.
Adapun mikrorganisme penyebab OMA :
1. Sreptococcus pneumonia
2. Hemophilus influenza
3. Streptococcus grup A
4. Branhamella catarrhalis
5. Staphilococcus aureus
6. Staphilococcus epidermidis
7. Pada bayi : Chlamydia trachomatis, Escherchia coli, spesies Klebsiela.
2. Penyakit-penyakit umum seperti morbili atau scarlet fever dapat di ikuti OMA hebat dengan dekstruksi struktur telinga tengah.



C.FAKTOR PREDISPOSISI
1. infeksi kronis adenoid
2. tonsilitis
3. rhinitis
4. sinusitis
5. batuk rejan
6. morbili
7. pada anak : kondisi tuba yang pendek, lebar, horizontal

D.PATOGENESIS
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba kedalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachii enzim dan antibody
. Seperti yang diketahui bahwa OMA dapat terjadi karena infeksi saluran nafas atas yang menginvasi telinga tengah melalui tuba Eustachii. Pada bayi, makin sering bayi terserang infeksi saluran nafas atas makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar dan agak horizontal letaknya.
Pada OMA terjadi keadaan yang patologis di mukosa yang melapisi tuba Eustachii, telinga tengah, dan sel mastoid, di mana terkumpul sekret, terjadi proses supurasi, terjadi kerusakan silia sehingga tidak dapat mengalirkan sekret menuju tuba Eustachii. Adanya kumpulan mukopus dalam telinga tengah mengakibatkan tekanannya meningkat, membran timpani meradang dan menonjol. Tekanan yang tinggi akan mempengaruhi pembuluh darah dalam membran timpani. Selanjutnya timbul nekrosis iskemik pada membran timpani, sehinga terjadi perforasi dan keluar pus. Dengan adanya perforasi ini gejala klinis seperti sakit telinga dan demam akan berkurang. Proses yang terjadi di telinga tengah adalah akumulasi, dekomposisi, dan iritasi. Mukosa menjadi rusak, terjadi desintegrasi periosteum, terjadi trombosis arteri yang berakibat berkurangnya aliran darah ke mukosa periosteum dan tulang telinga. Pada OMA yang tidak diobati dengan baik dan adekuat, bisa terjadi otitis media perforata kronik, dapat meluas ke otak melalui tegmen timpani, terutama jika disertai denagn kerusakan mukosa, tulang dan jaringan sekitarnya.

E. DIAGNOSIS
Diagnosis OMA ditegakkan dengan ditemukannya gejala – gejala dan tanda klinik yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pada telinga tengah terutama membran timpani, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan bakteriologik dan radiologik.
Dari anamnesis akan didapatkan gejala dari OMA antara lain berupa nyeri pada telinga, demam, malaise, dan kadang – kadang nyeri kepala disamping nyeri telinga. Gejala klinik yang tampak tergantung pada umur penderita dan stadium klinik dari OMA itu sendiri. Bila OMA didapatkan pada anak – anak, keluhan utama yang didapat adalah berupa rasa nyeri dalam telinga dengan adanya riwayat batuk dan pilek sebelumnya dan suhu tubuh penderita dapat meningkat. Khusus pada bayi dan anak kecil dapat terjadi anoreksia dan kadang – kadang mual dan muntah. Demam dapat tinggi pada bayi dan anak kecil sampai 39,5 oc (pada stadium supurasi), namun dapat pula tidak ditemukan pada 30% kasus. Anak bisa menjadi gelisah dan sukar tidur, tiba – tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang – kejang dan kadang – kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur tenang. Seluruh atau sebagian membran timpani secara khas menjadi merah dan dan menonjol, dan pembuluh – pembuluh darah di atas membran timpani dan tangkai maleus berdilatasi dan menjadi menonjol.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, di samping rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Bila disertai perforasi, gejala klinik yang ada akan membaik. Pada anak – anak dapat dinyatakan dengan keluhan ibu penderita melihat bercak kuning pada bantal anaknya dan suhu tubuh dapat turun, serta anak dapat tidur dengan tenang.
Berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, stadium OMA dapat dibagi atas 5 stadium:
1. Stadium radang tuba Eustachii (salpingitis)
2. Stadium hiperemis (presupurasi)
3. Stadium supurasi
4. Stadium resolusi
Stadium radang tuba Eustachii (salpingitis)
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, karena adanya absorbsi udara. Kadang – kadang membran timpani sendiri tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi. Dari penderita sendiri biasanya mengeluh telinga terasa tersumbat (oklusi tuba), gemrebeg (tinnitus low frequence), kurang dengar, sepeti mendengar suara sendiri (otofoni) dan kadang – kadang penderita merasa pengeng tapi belum ada rasa otalgia.
Stadium Hiperemis (PreSupurasi)
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani. Mukosa cavum timpani mulai tampak hiperemis atau oedem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat. Pada stadium ini penderita merasakan otalgia karena kulit di membran timpani tampak meregang.
Stadium Supurasi
Oedem yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat yang purulen di cavum timpani, menyebabkan membran timpani menjadi menonjol (bulging) ke arah telinga luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pada anak - anak sering disertai kejang dan anak menjadi rewel. Apabila tekanan eksudat yang purulen di cavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemik akibat tekanan pada kapiler – kapiler, serta terjadi trombophlebitis pada vena – vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan, di tempat ini akan terjadi ruptur. Sehingga bila tidak dilakukan incisi membran timpani (miringitomi) maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan discharge keluar ke liang telinga luar. Dengan melakukan miringitomi luka incisi akan menutup kembali karena belum terjadi perforasi spontan dan belum terjadi nekrosis pada pembuluh darah, sedangkan bila terjadi ruptur maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali.
Stadium Resolusi


Menutup Sikatrik
Sembuh
Membran timpani tidak Dry Ear
perforasi menutup
Stadium resolusi Tidak sembuh OMSK
Sembuh Normal
Membran timpani utuh
Tidak sembuh Glue Ear

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa pada stadium resolusi dapat terjadi dua kemungkinan, yaitu membran timpani utuh (tidak terjadi perforasi) dan membran timpani perforasi.
Pada membran timpani yang utuh, bila terjadi kesembuhan maka keadaan membran timpani perlahan – lahan akan normal kembali. Sedangkan pada membran timpani yang utuh tapi tidak terjadi kesembuhan, maka akan berlanjut menjadi Glue Ear. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan incisi pada membran timpani (miringitomi) untuk mencegah terjadinya perforasi spontan.
Pada membran timpani yang mengalami perforasi, bila terjadi kesembuhan dan menutup maka akan menjadi sikatrik, bila terjadi kesembuhan dan tidak menutup maka akan menjadi Dry ear (sekret berkurang dan akhirnya kering). Sedangkan bila tidak terjadi kesembuhan maka akan berlanjut menjadi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), di mana sekret akan keluar terus – menerus atau hilang timbul.



F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya memberikan terapi medikamentosa. Pemberian terapi medikamentosa ini tergantung pada stadium penyakitnya.
Stadium oklusi
Pada stadium ini pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam laruitan fisiologis (anak 12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa. Disamping itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab infeksi adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
Stadium Presupurasi
Pada stadium ini antibiotika, obat tetes hidunng dan analgetika perlu diberikan. Bilamembran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau ampisilin. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin.
Pada anak ampisilin diberikan dengan dosis 50 – 100 mg/BB/hari, dibagi dalam 4 dosis, atau eritromisin 40 mg/BB/hari.
Stadium Supurasi
Diamping diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala – gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Pada stadium ini bila terjadi perforasi sering terlihat adanya sekret berupa purulen dan kadang terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 selam 3 – 5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari.

Stadium Resolusi
Pada stadium ini jika terjadi resolusi maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Tetapi bila tidak terjadi resolusi akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkina telah terjadi mastoiditis.
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu,maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret masih tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).

G. KOMPLIKASI
Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menimbulakn komplikasi.Baru setelah ada antibiotika, semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari OMSK. Bila pengobatan OMA tidak tepat dan adekuat, maka OMA bisa memberikan komplikasi atau perluasan ke mastoid.
Komplikasi OMA menurut Mawson 1978, Youwer 1983 dan Paparella 1988 dapat dibagi menjadi:
1. Komplikasi Intra temporal
- Otitis media supuratif kronik
Dapa terjadi karena penanganan OMA yang terlambat, penanganan yang tidak adekuat, daya tahantubuh yang lemah dan virulensi kuman yang tinggi. Secara klinis ada 2 stadium yaoitu stadium aktif dimana dijumpai sekret pada liang telingadan stadium nonaktif dimana tidak ditemukan sekret di liang telinga.
- Mastoiditis Akut
Adanya jumlah pus yang berlebihan akan masuk mendesak selulae mastoid dan terjadi nekrosis pada dinding selule dengan bentuk empiema, mastoidkapsul akan terisi sel peradangan sehingga bentuk anatomi akan hilang. Dan infeksi dapat melanjut menembus tulang korteks sehingga terjadi abses subperiosteal.
Pada beberapa kasus dimana drainase cukup baik akan terjadi keadaan kronik dimana didapat retensi pus di dalam selule mastoid yang disebut sebagai mastoid reservoir dengan gejala utama otore profus.
Klinis : panas tinggi, rasa sakit bertambah hebat, gangguan pendengaran bertambah, sekret bertambah, bengkak dan rasa sakit di daerah mastoid.
- Petrositis
Terjadi karena pneumotisasi di daerah os petrosus umumnya kurang baik. Walau demikian, petrositis jarang terjadi pada OMA.
- Fasial paralisis
Adanya pembengkakan pada selubung saraf di dalam kanalis falopian akan terjadi penekanan pada saraf fasial. Pada OMA jarang terjadi kecuali bial ada kelainan kongenital di mana terdapat hiatus pada kanal falopian.
Klinis : gejala pertama adalah klemahan pada sudut mulut yanng cenderung menjadi berat. Paralisis terjadi pada stadium hiperemi atau supurasi. Kelumpuhan ini akan sembuh sempurna bila otitis medianya sembuh.
- Labirintitis
Meskipun jarang terjadi perlu diketahui bahwa infeksi disini adalah kelanjutan dari petrositis atau karena masuknya kuman melaui foramen ovale dan rotundum. Peradangan ini dapat mengenai koklea, vestibulum dan kanalis semi sirkularis. Klinis : mual, tumpah, vertigo dan kurang pendengaran tipe sensorineural.
- Proses adhesi atau perlengketan
Dapat terjadi pada otitis media yanbg berlngsung  6 minggu. Sekret mukoid yang kental dapat menyebabkan kerusakan tulang pendengaran atau menyebabkan perleketan tulang pendengaran dengan dinding cavum timpani.
- Ketulian
2. Komplikasi Intrakranial
- Abses extradural
terjadi penimbunan pus antara duramater dan tegmen timpani. Seringkali tegmen timpani mengalami erosi dan kuman masuk ke dalam epitimpani, antrum, adn celulae mastoid. Penyebaran infeksi dapat pula melalui pembuluh darah kecil yang terdapat pada mukosa periosteum menuju bulbus jugularis, nervus facialis, dan labirin. Klinis : otalgia, sakit kepala, tampak lemah.
- Abses subdural
Jarang terjadi penimbunan pus di ruang antara duramater dan arachnoid. Penyebaran kuman melalui pembuluh darah. Klinis : sakit kepala, rangsang meningeal, kadang – kadang hemiplegi.
- Abses otak
Terjadi melalui trombophlebitis karena ada hubunganb antara vena – vena daerah mastoid dan vena – vena kecil sekitar duramater ke substansia alba.
Klinis : sakit kepala hebat, apatis, suhu tinggi, tumpah, kesadaran menurun, kejang, papil edema.
- Meningitis otogenik
Terjadi secara hematogen, erosi tulang atau melalui jalan anatomi yang telah ada. Pada anakkomplikasi ini sering terjadi karena pada anak jarak antara ruang telinga tengah dan fossa media relatif pendek dan dipisahkan oleh tegmen timpani yang tipis. Klinis : tampak sakit, gelisah, iritabel, panas tinggi, nyeri kepala, rangsang meningeal (+).
- Otitic Hodrocephalus
Jarang terjadi. Infeksi ini terjadi melalui patent sutura petrosquamosa. Klinis : sakit kepala terus – menerus, diplopia, paresis N VI sisi lesi, mual, tumpah, papil edem.

E. PROGNOSIS
Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis OMA adalah baik untuk pendengaran dan kesembuhan, khususnya bila dilakukan paasentesis sebelum terjadi perforasi spontan membran timpani.





BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1. Otitis media akut (OMA) peradangan akut mukoperiosteum telinga tengah yang disebabkan oleh kuman. Pada umumnya OMA merupakan komplikasi dari infeksi saluran nafas atas.infeksi melalui tuba eustachii, selanjutnya masuk ke telingan tengah. Sebagian besar OMA terjadi pada anak, karena infeksi saluran nafas atas banyak pada anak, dan bentuk tuba eustachii pada anak lebih pendek, lebar, dan mendatar.
2. Diagnosis OMA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, an pemeriksaaan penunjang. Dari anamnesis ditemukan rasa nyeri pada kepala atau teliga, demam, malaise. Pada anak – anak keluhan pertama adanya rasa nyeri di telinga disertai riwayat batuk dan pilek sebelumya, suhu meningkat. Pada dewasa keluhan terutama nyeri telinga disertai gangguan pendengaran, dan terasa penuh di telinga. Pada bayi gejala klinik berupa anak, gelisah, sukar tidur, tiba – tiba menjerit saat tidur, dan memegang telinganya yang sakit, suhu meningkat disertai diare, muntah, dan kejang. Pada stadium I membran timpai bisa normal, pada stadium II membran timpani tampak berwarna merah, sekret masih serous hingga sulit dilihat. Pada stadium III membran timpani menonjol ke CAE (bulging) dan terbentuk sekret purulen dalam cavum timpani. Pada stadium IV membran timpani bisa utuh dan bisa mengalami perforasi.
3. Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya adalah terapi medikamentosa yang diberikan tergantung dari stadium penyakitnya. Prinsipnya adalah pemberian antibiotika dan parasentesis untuk menghindari perforasi spontan.

SARAN
1. Perlunya mencegah terjadinya infeksi saluran pernafasan atas terutama pada bayi dan anak – anak. Karena Infeksi saluran nafas atas merupakan faktor utama penyebab terjadinya OMA pada bayi dan anak – anak disamping bentuk anatomi dari tuba Eustachii yang lebih lebar, pendek dan mendatar dibanding orang dewasa.
2. Perlunya dilakukan miringotomi pada stadium dua, terutama stadium tiga bila membran timpani masih utuh, untuk menghindari terjadinya perforasi spontan.



























DAFTAR PUSTAKA

1. Rifki N, S Purnaman, Pandi, Mangunkusumo E. Penyakit Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1990.
2. AdamsG L, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1994 ; hal . 89 – 100.
3. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. Kapita Selekta Kedokteran Bagian THT FK UI. Penerbit : Media Aeusculapeus FK UI, Jakarta, 2001 ; hal. 79.
4. Bambang. Pelajaran Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : BP FK UNDIP, Semarang, 1991; hal. 31.
5. Sudarwan. Konsep Baru dalam Diagnosis dan Terapi Otitis Media Akut. Medical Progress, Vol. 7. Penerbit : Bagian THT FK UNDIP/RSDK, Semarang, 1980 ; hal. 79 – 92.
6. Herry S. Fisiologi Telinga Tengah. Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang.
7. Riece H. Komplikasi Otitis Media Akuta. Kumpulan Karya Ilmiah.
8. Pracy R, Siegler J, Stell PM. Pelajaran Ringkas THT. Penerbit : PT. Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 26 – 9.
9. Ballenger WL, Ballenger HC. Disease of The Nose, Throat, and Ear. Medical and Surgical, ed. 8th. LEA and FEBIGER, Philadelpia, 1993 ; hal. 67 – 51.

MASTOIDITIS

MASTOIDITIS
A. DEFINISI
• Mastoiditis : Inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tidak diobati dapat terjadi osteomielitis (D.C Baeughman, J.C Hackley, 2000)
• Mastoiditis : Disebabkan oleh karena perluasan dari peradangan telinga tengah, dimana terdapat komunikasi langsung mukosa dari sel-sel pembentukan pus. Keadaan ini dapat mengalami resolusi dengan pengobatan atau dapat meluas. Perluasan melalui tulang di bagian dalam dapat menimbulkan abses epidural atau meningitis, penyebaran eksternal dapat menimbulkan suatu abses Bezold, pada bagian atas dari leher atau menjadi selulitis pada jaringan lunak di atasnya. (J.Reeves Charlence, 2001)
• Mastoidis : Dapat terjadi pada pasien-pasien imunosupresi atau mereka yang menelantarkan otitis media akut yang dideritanya; penyakit ini agaknya berkaitan dengan virulensi dari organisme penyebab (Boies, 1997)
• Mastoiditis Akut : Diakibatkan oleh menyebarkan infeksi dari telinga bagian tengah. Infeksi dan nanah mengumpul di sel-sel udara mastoid. Mastoiditis jarang terjadi bila otitis media didiagnosis dan diobati pada tahap awal.

B. ETIOLOGI
• Komplikasi dari otitis media akut
• Imunosupresi, virulensi organisme penyebab OMA : bakteri piogenik yaitu streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza dan Streptococcus - hemolitikus (pada anak < 5 tahun). Pada bayi : Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, spesies Klebsiella.






C. PATHWAY

OMA Imunosupresi

Diobati Tidak diobati

Tuntas Tidak tuntas

Virulensi organisme penyebab

Pus

Menyebar ke daerah tulang mastoid

Mengumpul di sel-sel udara mastoid

Mastoiditis

Abses Bezold Osteomielitis Meningitis Abses epidural
Pada bagian leher

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri dan nyeri tekan di belakang telinga
2. Pasien memiliki cairan telinga yang melimpah dan mengalir di ruang mastoid melalui telinga bagian tengah selanjutnya keluar melalui perforasi di dalam membaran tympani.
3. Bengkak pada mastoid/oedema dan merah
4. Terdapat otorea intermeitten/ persisten yang berbau busuk
5. Sakit telinga
6. Kehilangan pendengaran
7. pada kasus Kolesteatoma memperlihatkan kehilangan pendengaran konduktif atau campuran

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan kultur
2. Sensitivitas antibiotik
3. Pemeriksaan audiometri untuk menunjukkan tuli konduktif
4. Roentgenogram untuk menunjukkan pengkabutan difusi sel-sel mastoid

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidaknyamanan berhubungan dengan adanyanyeri
2. Kehilangan pendengaran berhubungan dengan gangguan neurosensori
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan oedema
4. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi / inflamasi, toksin dalam sirkulasi
5. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan, potensial kehilangan pendengaran, kurang pendengaran
6. Nyeri akut berhubungan dengan pambedahan mastoid
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan mastoidektomi, pemasangan graft, protesis dan elektroda, trauma bedah terhadap jaringan dan struktur di sekitarnya.
8. Perubahan persepsi sensori auditoris berhubungan dengan kelainan telinga / pembedahan telinga / penyumpatan telinga
9. Resiko terhadap trauma berhubungan dengan kesulitan keseimbangan / vertigo selama periode pascaoperatif segera
10. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan potensial kerusakan nervus fasialis dan saraf korda timpani
11. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pembedahan telinga, insisi dan tempat graft

G. INTERVENSI
• Penatalaksanaan medis
Pemberian intravenous antibiotika, ex : penicillin, Rochepin dan Metronidazole selama 14 hari. Bila pasien tidak membaik, dilakukan mastoidektomi untuk menghilangkan sel-sel tulang mastoid yang terinfeksi dan untuk mengalirkan nanah. Beberapa struktur telinga bagian tengah (incus dan malleus) mungkin juga perlu dipotong, juga dilakukan tympanoplasti yang merupakan pembedahan rekonstruksi teling bagian tengah untuk memelihara pendengaran. Setelah operasi, pasien berbaring pada sisi tubuh yang telinganya tidak mengalami gangguan dengan bagian kepala tempat tidurnya ditinggikan. Penghembusan udara lewat hidung, bersin dan batuk harus dihindari karena dapat meningkatkan tekanan pada telinga bagian tengah.






• Asuhan keperawatan
DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONALISASI

Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi, toksin dlm sirkulasi.
Pengkajian :
• Adanya sakit kepala
• Perubahan TTV
• Adanya cairan/nanah yang keluar dari telinga
• Menangis, mengeluh, menahan nyeri Nyeri hilang • Tidak memperlihatkan tanda mengernyitkan wajah, mengeluh atau menangis
• TTV normal
• Tidak adanya cairan yang keluar dari telinga
• Melaporkan nyeri hilang/terkontrol
• Merasa rileks • Berikan lingkungan yang tenang
• Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting
• Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti posisi miring pada sisi yang tidak mengalami gangguan dengan bagian kepala agak ditinggikan
• Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher/bahu

Kolaborasi
Berikan analgetik seperti asetaminofen, kodein Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dan meningkatkan istirahat/ relaksasi
Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri





Menurunkan iritasi mestoid, resultan ketidaknyamanan lebih lanjut













Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot yang meningkatkan reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman tersebut





Mungkin diperlukan untuk menghilangkan nyeri yang berat

Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan mastoidektomi, pemasangan graft, protesis dan elektroda, trauma bedahterhadap jaringan dan struktur di sekitar

Pengakjian :
• Suhu tubuh tinggi
• Keluar cairan purulen dari kanalis auditorius eksternus Tidak ada tanda atau gejala infeksi • Mencapai masa penyembuhan tepat waktu
• Suhu tubuh dan TTV kembali normal
• Tidak mengeluarkan cairan purulen dari kanalis auditorius eksternus • Berikan tindakan isolasi sebagai tindakan pencegahan



• Pertahankan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat
• Pantau suhu secara teratur. Catat munculnya tanda-tanda klinis dari proses infeksi
• Ubah posisi pasien dengan teratur dan anjurkan untuk melakukan nafas dalam

Kolaborasi
Berikan terapi antibiotik IV sesuai indikasi Isolasi mungkin diperlukan sampai organismenya diketahui/dosis antibiotik yang cocok telah diberikan untuk menurunkan resiko penmyebaran pada orang lain
Menurunkan resiko pasien terkena infeksi sekunder. Mengontrol penyebaran infeksi


Timbulnya tanda klinis yang terus menerus merupakan indikasi perkembangan dari mastoiditis akut



Memobiliasasi sekret dan meningkatkan kelancaran sekret yang akan menurunkan resiko terjadinya komplikasi terhadap pernapasan



Obat yang dipilih tergantung pada tipe infeksi dan sensitivitas individu


DAFTAR PUSTAKA

• Baughman, D.C dan J.C Hackley.2000.Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC
• Boies, Lawrence R, et all.1997.BOIES Buku Ajar Penyakit THT.Jakarta:EGC
• Charlence, J. Reeves.2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: Salemba Medika
• Doenges, Marilynn E.2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta: EGC
• Smeltzer, suzanne C.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.Jakarta: EGC
• Thomson dan Cotton.1997.Catatan Kuliah Patologi Edisi 3.Jakarta: EGC

KOLESTEATOMA

DEFINISI DAN KLASIFIKASI KOLESTEATOMA
Kolesteatoma dapat digambarkan secara umum dengan adanya kantung epitel skuamosa yang terisi debris keratin dalam telinga tengah. Terdapat 2 tipe kolesteatoma yang dikenal :
a. Kolesteatoma kongenital:
Adalah kista epitel yang timbul didalam salah satu tulang kepala (biasanya tulang temporal) tanpa adanya kontak dengan dunia luar.Dapat tumbuh di tulang temporal bagian dalam atau skuama. Disebutkan jumlahnya meningkat dalam ruang mastoid atau atik.
b. Kolesteatoma didapat atau akuisita :
Kolesteatoma didapat primer. Jenis ini berkembang sebagai kelanjutan dari perforasi membran timpani pars flasida. Mula – mula mengisi ruang prussak, kemudian dapat membesar sehingga memenuhi atik, antrum mastoid dan sebagian telinga tengah.
Kolesteatoma didapat sekunder. Merupakan kelanjutan dari otitis atelektasis, bila terjadi retraksi membran yang atrofi mengakibatkan kantung berisi debris keratin disertai destruksi tulang yang lebih lanjut. Biasa dijumpai adanya granulasi pada tepi posterior superior tepat di lateral anulus. Bila penyakit telah mencapai tingkat ini, biasanya terjadi infeksi dengan cairan yang keluar terus menerus.

A. INSIDEN
Kolesteatoma akuisita frekuensinya lebih banyak daripada kolesteatoma kongenital. Laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Pada anak sebagian besar terjadi pada usia 3–14 tahun, dewasa rata-rata 30-39 tahun3.

B. ETIOLOGI
Masih banyak perbedaan pendapat mengenai etiologi kolesteatoma.
1. Bezold dan Wittmack, dengan teori retraksi, dimana oklusi tuba eustachii menyebabkan retraksi dari membrana shrapnell kedalam atik dan retraksi ini akan membentuk kantung yang menampung debris epidermal dan ini merupakan cikal bakal dari kolesteatoma.
2. Habberman (1888), berpendapat kolesteatoma mungkin terbentuk dari pertumbuhan kedalam epitel berkeratin dari kanalis eksterna yang terjadi melalui bagian atas dari suatu perforasi membrana timpani yang luas, setelah suatu penyakit otitis media kronik , ini disebut teori imigrasi. Pendapat ini didukung oleh Manasse (1917) dan Shambaugh (1959).
3. Morgenstein, menyusun teori etiologi kolesteatoma sebagai berikut :
a. kolesteatoma kongenital :
kolesteatoma terjadi karena sisa epitel embrional dari berbagai tulang kalvarium dan hal ini dapat terjadi diruang telinga tengah atau mastoid dengan membrana timpani yang utuh.
b. Metaplasia :
Infeksi akut berulang atau infeksi kronik dari ruang timpani, dapat menyebabkan pertumbuhan metaplasia skuamosa dari mukosa.
c. Retraksi membran shrapnell:
Bila terjadi tekanan negatif paada ruang telinga tengah pars flasida akan tertarik ke ruang prussak. Tekanan ini terjadi akibat obstruksi kronis dari tuba eustachii, selain menyebabkan otitis media sekretoria, juga menyebabkan retraksi yang dalam dari membrana shrapnell kedalam regio epitimpani, Jadi epitel skuamosa dari membran shrapnell juga tertarik kedalam. Jika lubang dari kantung ini cukup besar maka debris dari epitel skuamosa akan masuk kanalis eksternus, tetapi bila mengecil maka debris akna terperangkap didalm kantung dan akhirnya membentuk kolesteatom yang ekspansif.
d. Invasi melalui perforasi marginal
Perforasi didaerah marginal dari membrana timpani menyebabkan terjadinya hubungan langsung antara epitel skoamosa kanalis eksterna dengan mukosa telinga tengah. Karena kekuatan tumbuh epitel skuamosa lebih kuat maka epitel skuamosa akan masuk epitel tengah (mastoid) dalam bentuk lapisan dipermukaan mukosa telinga tengah (mastoid). Kolesteatoma atau lapisan ini tidak mudah menghilang begitu saja dan toidak mampu melepas debrisnya.
4. Bluestone ,dkk, membagi etiologi kolesteatoma dalam 3 bentuk :
a. Kongenital : kolesteatoma merupakan sisa jaringan epitel embrional, berwarna putih, struktur seperti kista, terletak medialdari membrana timpani yang utuh . Tidak ada riwayat radang telinga tengah dan disfungsi tuba eustachii.
b. Implantasi: kolesteatoma terjadi akibat iatrogenik dari pemasangan drain tube, atau merupakan sekuele dari perforasi membrana timpani oleh benda asing
c. Acquired: bentuk ini terjadi sebagai akibat kelanjutan perforasi membrana timpani karena obstruksi tuba eustachii.
5. Ewing : menyatakan kolesteatoma tumbuh sekunder sebagai akibat langsung dari masuknya epitel pada waktu trauma. Pendapat ini dapat menerangkan terjadi kolesteatoma pada hidung, sinus paranasal atau intrathecal setelah suatu operasi hidung, sinus atau injeksi streptomisdin intratechal pada tbc meningen.
6, Shambaugh : membagi etiologi kolesteatoma menjadi :
a. Kongenital kolesteatoma : merupakan sisa dari jaringan ektodermal
b. Kolesteatoma didapat primer, ditemukan pada daerah atik akibat retrakksi ke epitimpanum dari membran shrapnell karena adanya sumbatan pada tubaeustachii disebut juga “attic retraction cholesteatoma”.
c. Kolesteatoma didapat sekunder, terdapat adanya perforasi membran timpani didaerah marginal atau kwadran posterior atau superior dan melalui perforasi ini epitel skuamosa tumbuh kedalam atik, antrum dan mastoid. Jenis ini dapat juga terjadi pada perforasi sentral dari membran timpani .

C. PATOGENESIS
Bila kantong atau kista epitel skuamosa telah terbentuk dalam rongga telinga tengah, selanjutnya akan terbentuk lapisan – lapisan deskuamasi epitel dengan kristal kolesterin mengisi kantong tersebut. Matriks epitel yang mengelilinginya meluas kedalam ruang ruang yang ada di atik, telinga tengah dan mastoid. Perluasan proses ini diikuti kerusakan tulang dinding atik , tulang – tulang pendengaran dan septa mastoid untuk memberi tempat bagi kolesteatom yang bertambah besar.
Kerusakan atau erosi tulang disebabkan oleh enzim osteolitik atau kolagenase yang disekresi oleh jaringan ikat subepitel. Proses osteolitik ini disertai osteogenesis dalam mastoid dengan adanya sklerosis, sehingga membatasi ruangan yang tersedia bagi perluasan kolesteatoma. Proses sklerosis ini diperhebat oleh infeksi yang menyertainya. Kolesteatoma tanpa infeki tidak menggangu pneumatisasi sehingga timbul masalah yang sulit yaitu mastoid dengan pneumatisasi luas tetapi terisi oleh kolesteatoma , terutama pada kolesteatoma kongenital.
Infeksi pada kolesteatoma selain menyebabkan sklerosis mastoid yang cepat tetapi juga peningkatan proses osteolitik. Hal ini menimbulkan bahaya perluasan penyakit ke kanalis semisirkularis, kanalis fasialis atik dan tegmen mastoid serta lempeng sinus lateralis dan juga penghancuran tulang – tulang pendengaran.

D. DIAGNOSIS
Dari patofisiologi di atas terlihat bahwa perlu ditegakkan diagnosis yang tepat sebelum pengobatan dilaksanakan pada kolesteatoma. Diagnosis adanya kolesteatoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesa diagnosis kolesteatoma sulit ditegakkan secara dini terutama yang jenis kongenital dan akuisita primer. Hal ini disebabkan penderita tidak mengeluh sakit sebelum kolesteatoma meluas dan terjadi infeksi. Kolesteatoma sering dihubungkan dengan penyakit telinga kronik (OMK). Alloanamnesis atau autoanamnesis dapat berupa:
• keluar cairan dari telinga atau telinga berair (otorea) yang tidak kering-kering
• nyeri telinga dan atau nyeri kepala
• rasa penuh di telinga
• adanya komplikasi akibat perluasan penyakit misalnya facial paresis4,5,6.
• kurang pendengaran, pada kolestetoma kongenital terdapat riwayat ketulian yang progesif perlahan-lahan tanpa adanya infeksi sebelumnya4,5,6 .
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada:
• Kolestetoma kongenital.
Penonjolan keputih-putihan pada membran, kwadran postero-superior. Sebelum terjadi infeksi, membran timpani masih dalam keadaan intak atau belum terdapat perforasi.
• Kolesteatoma didapat primer.
Perforasi pars flacida disertai kerusakan dinding atik lateral dan daerah ini sering tertutup kista. Pada kasus lanjut didapatkan perforasi di daerah pars tensa .
• Kolesteatoma didapat sekunder.
Retraksi membran timpani yang atrofi mengakibatkan terjadinya kantong berisi debris keratin disertai destruksi tulang. Adanya granulasi posterosuperior tepat di lateral anulus. Cairan telinga keluar terus menerus.
Tidak jarang pada anak-anak sering ditemukan polip, jaringan granulasi 5,6.
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan antara lain:
1. Audiometri
 Perforasi biasanya menyebabkan tuli konduktif 15-20 dB.
 Kerusakan rangkaian tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif 30-50 dB bila disertai perforasi membran.
 Diskontinyuitas tulang pendengaran dengan membran utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
 Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tanpa melihat keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan koklea yang parah5,6.
2. Radiologi
Gambaran radiologik konvensional tampak massa kistik, tranlusen dengan tepi sklerotik dan terdapat erosi tulang. Pada CT scan adanya lesi dini dapat diketahui, juga lokasi dan perluasannya. Dengan pemeriksaan CT scan dapat membedakan kolestatoma dengan keganasan (glomus tumor), tetapi tidak bisa membedakan dengan kolesterol granuloma. Untuk membedakannya dengan melakukan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI), pemeriksaan laboratorium dan histologi7.

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kolesteatoma pada anak dan dewasa adalah sama yaitu dengan pengangkatan atau operasi segera setelah diagnosis ditegakkan. Perawatan awal kolesteatoma membersihkan telinga, pemberian antibiotik, dan tetes telinga dengan tujuan untuk menghentikan drainage di dalam telinga (pengendalian infeksi), serta evaluasi pertumbuhan kolesteatoma. Pendekatan yang digunakan pada garis besarnya digolongkan dalam Canal-Wall Up dan Canal-Wall down. Tujuan operasi adalah mengeliminer atau menghentikan proses penyakit dan mencegah kambuhnya kembali, yang diantaranya disebabkan oleh masih tertinggalnya kolesteatoma waktu pengangkatan. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah faktor-faktor kronik yang dapat mengganggu proses penyembuhan seperti adanya polip, jaringan granulasi, fungsi tuba yang jelek7.

II.1. DEFINISI
II.1.1 Otitis media adalah radang mukoperios rongga telinga tengah. (3)
II.1.2 Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan selule
mastoid. (4)
II.1.3 Otitis media adalah radang rongga telinga tengah tanpa melihat penyebab atau patogenesis. (1)

II.2. ANATOMI TELINGA TENGAH
Telinga tengah terdiri dari :
II.2.1 Membran timpani
Terdiri dari :
a. Pars flacida (Sharpnell’s membran) terdiri dari stratum korneum dan stratum mukosum.
b. Pars tensa terdiri dari stratum korneum, stratum mukosum dan stratum fibrosum.
II.2.2 Cavum timpani
a. Bentuk kubus ireguler dengan volume  0,25 cc
b. Berhubungan dengan nasofaring melalui tuba auditiva dengan antrum mastoidea melalui aditus ad antrum.
c. Pembagian : epitimpani, mesotimpani, hipotimpani
d. Isi cavum timpani (visera timpani)
1. Tulang pendgran makus, incus, stapes
2. Ligamen : malei lateral, malei superior, inkudis posterior
3. Tendo : tensor timpani, stapedius
4. Saraf : korda timpani cabang N VII, N. stapedius


II.2.3 Tuba Auditiva Eustachii
Merupakan penghubung antara cavum timpani dan nasofaring terdiri dari :
a. Pars osseus : 1/3 lateral (12 mm) dan selalu terbuka.
b. Pars kartilaginosa : 2/3 medial dan selalu tertutup.
II.2.4 Mastoid
Dibentuk oleh pars squamosa dan pars petrosus.

II.3. KLASIFIKASI OTITIS MEDIA
Klasifikasi Otitis Media dari berbagai referensi yang kami dapatkan, akan kami susun dalam bentuk diagram sebagai berikut :
Diagram 1. (3)


















Diagram 1
Dikutip dari (3)

Diagram 2. (4)









Diagram 2
Dikutip dari (4)


Diagram 3. (5)























Bagan 3
Dikutip dari (5)

Diagram 4. (6)

















Diagram 4
Dikutip dari (6)

BAB III
PEMBAHASAN

Dari keempat diagram di atas, kita dapat menganalisa bahwa para ahli telah melakukan klasifikasi otitis media berdasarkan pertimbangan beberapa faktor yang saling berhubungan dan mempengaruhi seperti faktor waktu, etiologi, ada / tidaknya cairan, jenis cairan, kelainan pada membran timpani, keadaan mukosa dan tulang, gambaran patologi dan sifat kelainan.
Klasifikasi tersebut disusun guna memudahkan dalam menegakkan diagnosis. Sebab dengan adanya klasifikasi ini kita dapat mendapatkan gejala dan tanda yang khas dari masing-masing jenis otitis media. Dengan diagnosis yang tepat, kita dapat melakukan terapi dengan tepat sehingga morbiditas dari otitis media dapat dicegah.
Pada diagram 1, klasifikasi otitis media diklasifikasikan berdasarkan atas faktor waktu, ada tidaknya cairan, dan utuh tidaknya membran tympani, sehingga didapatkan pembagian menjadi otitis media akut, otitis media kronik dan otitis media dengan efusi. Otitis media akut merupakan suatu radang mukoperios dari rongga telinga tengah karena infeksi. Pada otitis media akut ini biasanya berlangsung kurang dari 3 minggu dan didapatkan tanda-tanda akut seperti rubor, calon, dolor, tumor dan functiolesa. Otitis media kronik merupakan radang mukoperios rongga telinga tengah yang ditandai radang kronik dan berlangsung lebih dari 3 bulan. Otitis media dengan efusi adalah radang mukoperios rongga telinga tengah yang ditandai adanya cairan dan gendang telinga utuh. (3)
Klasifikasi pada diagram 2 berdasarkan atas faktor waktu memiliki ketentuan yang sama seperti pada diagram 1, sedangkan pembagian berdasarkan jenis cairan dibagi menjadi supuratif dan non supuratif. Jenis cairan pada otitis media supuratif berupa cairan eksudatif, purulen dan kental dan jenis cairan pada otitis media non supuratif bersifat serous dan encer. (4) Pembagian seperti ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain kita tidak dapat menentukan jenis otitis media yang tipe kering (dry ear) karena pada pembagian ini hanya berdasarkan pada jenis cairan sehingga untuk otitis media yang tidak mengeluarkan cairan tidak dapat ditentukan. Selain itu kita juga tidak dapat mengetahui jenis otitis media berdasarkan ada / tidaknya kelainan membran timpani misalnya pada otitis media dengan efusi dimana membran timpaninya masih utuh atau pada otitis media adhesiva dimana terjadi retraksi pada membran timpani.
Klasifikasi pada diagram 3, berdasarkan atas faktor waktu, etiologi dan gambaran patologi sehingga dibagi menjadi otitis media akut yang terdiri dari penyebab viral dan bakterial (80 % disebabkan oleh streptococcus pneumonia), otitis media efusi dan otitis media kronik yang dibagi lagi berdasarkan gambaran patologi menjadi spesifik dan non spesifik. (15) masing-masing pembagian tersebut memiliki gambaran laboratoris dan histopatologis yang khas, sehingga dapat dijadikan pertimbangan untuk penelitian, namun kurang praktis untuk diagnosis klinis. Pembagian seperti ini mempunyai keuntungan yaitu kita dapat menentukan diagnosis dengan tepat sesuai dengan jenis kuman penyebab dan gambaran histo patologis sehingga terapi yang diberikan dapat lebih tepat. Namun demikian kita membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologi sehingga klasifikasi seperti ini secara praktis kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan klasifikasi yang lain.
Klasifikasi pada diagram 4, berdasarkan atas faktor waktu, penyebab dan sifat kelainan, yaitu (1) otitis media viral akut, bakterial akut dan nekrotik akut; (2) otitis media kronik yang dibagi menjadi bentuk jinak, bentuk berbahaya dan bentuk jarang. (6) Pembagian seperti ini mempunyai kekurangan antara lain tidak mengklasifikasikan berdasarkan keadaan membran timpani sehingga kita tidak dapat mengetahui jenis otitis media yang membran timpaninya masih utuh (seperti pada otitis media dengan efusi) dan yang sudah perforasi. Selain itu dengan klasifikasi seperti ini membutuhkan waktu lebih lama dan biaya lebih banyak karena memerlukan pemeriksaan mikrobiologi. Kecuali itu pada klasifikasi ini tidak mencantumkan ada / tidaknya cairan sehingga kita kesulitan dalam menentukan otitis media yang aktif dan non aktif.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditarik garis besar bahwa masing-masing klasifikasi bertujuan untuk mengarahkan dokter pada diagnosis yang tepat, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat dan adekuat. Dengan begitu, komplikasi atau morbiditus (kurang pendengaran) yang mungkin terjadi pada penderita otitis media dapat dicegah sedini mungkin.


A. ANATOMI TELINGA TENGAH
Telinga tengah dapat dibagi berdasarkan anatomi dan fisiologinya. Secara anatomi telinga tengah terdiri dari :
1.Membran timpani
2.Kavum timpani
3.Tuba Eustachii
4.Mastoid dan Selulae
Berdasarkan fisiologis pembagian telinga tengah terdiri dari :
1.Timpani anterior, terdiri atas : Mesotimpani, Hipotimpani dan Tuba Eustachii
2.Timpani posterior, terdiri atas : Epitimpani dan Retrotimpani (Antrum dan Selulae)
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
- Batas luar : Membran Timpani
- Batas depan : Tuba Eustachius
- Batas bawah : Bulbus Jugularis
- Batas belakang : Aditus ad antrum, Fasialis pars Vertikalis
- Batas atas : Tegmen Timpani
- Batas dalam : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis tingkap lonjong, tingkap bundar dan promontorium.

A.1. MEMBRAN TIMPANI
Membran timpani berbentuk bulat dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Membran timpani terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas yang disebut pars flasida (membran shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa Pars flasida mempunyai dua lapisan, bagian luar adalah stratum kutaneum yang merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi stratum mukosum yang berasal dari mukosa kavum timpani. Pars tensa mempunyai tiga lapisan yaitu stratum kutaneum, stratum fibrosum yang merupakan lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastis yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam, serta stratum mukosum.
Batas antara pars flasida dan pars tensa adalah plika malearis anterior dan plika malearis posterior.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpami disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah bawah.
Membran timpani dibagi dalam empat kuadran dengan menarik garis searah dengan processus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, yaitu anteroposterior, anteroinferior, posteroinferior dan posterosuperior. Pembagian ini berguna untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.

A.2. KAVUM TIMPANI
Kavum timpani adalah rongga di dalam os temporal yang berbentuk kubus irreguler. Terletak antara liang telinga dan telinga dalam. Berhubungan dengan nasofaring melalui tuba auditiva, dengan antrum mastoidea melalui aditus ad antrum.
Adapun kavun timpani dibagi menjadi 3 bagian:
1. Epitimpani yaitu rongga telinga bagian atas yang berhubungan dengan antrum melalui aditus ad antrum.
2. mesotimpani yaitu rongga telinga bagian tengah
3. hipotimpani yaitu rongga telinga bagian bawah
Kavum timpani merupakan bagian dari telinga tengah dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Batas – batas dari kavum timpani yaitu:
- Batas luar : membran timpani
- Batas dalam : berturut – turut dari atas ke bawah canalis semi sirkularis horisontal, canalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window), promontorium.
- Batas depan : vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit di bagian tengah. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf fasialis. Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah pormontorium yang menutup lingkaran koklea yang pertama.
Isi kavum timpani adalah :
- Tulang pendengaran yang terdiri dari maleus, incus, dan stapes.
- Ligamen yang terdiri dari ligamen malei lateral, ligamen malei superior, ligamen incudis posteriror.
- Tendo otot yaitu tendo m. Tensor timpani, tendo m. Stapeidus.

A.3. TUBA EUSTACHIUS
Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang (pars osseus), sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Pars osseus merupakan bagian sepertiga bagian lateral yang panjangnya 12 mm dan selalu terbuka.Lubang awalnya yang disebut osteum timpanicum tuba eustachii merupakan bagian yang terlebar, kemudian makin menyempit dan berakhir pada sudut pertemuan pars petrosa dan pars skuamosa os temporale. Bagian akhir ini bergerigi untuk perlekatan pars cartilaginea tuba eustachii. Bagian pertemuan antara pars ossea dan pars kartilaginea merupakan bagian yang tersempit dan disebut istmus tuba eustachii. Pars kartilaginea merupakan duapertiga bagian medial, panjangnya 24 mm dan selalu tertutup. Bagian ini terbuka oleh karena kontraksi m. Tensor veli palatini dan m. Levaotr veli palatini yang masing – masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustachii berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani.

A.4. MASTOID
Terletak di belakang rongga telinga yang dihubungkan oleh antrum dengan aditus ad antrum. Dibentuk oleh pars squamosa dan pars petrosa. Di sini melekat m. Sternocleidomastoideus dan m. Digastrikus venter posterior. Mastoid mengandung rongga – rongga udara yang disebut selulae dan saling berhubungan dan juga berhubungan dengan antrum. Antrum sudah ada sejak lahir sedangkan selulae terbentuk sejak kehidupan tahun – tahun pertama sampai pada tahun kelima atau keenam yang penting untuk proses pneumatisasi.

B. FISIOLOGI TELINGA TENGAH
Telinga pada dasarnya berfungsi sebagai alat pendengaran, alat keseimbangan,dan juga sebagai alat kosmetik. Sebagai alat pendengaran telinga berfungsi sebagai alat penghantar gelombang suara dari luar (membran timpani) sampai ke telinga dalam (foramen ovale).Di telinga tengah gelombang suara dihantarkan melalui tulang pendengaran yang akan mengaplikasikan gelombang suara melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getaran yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong, sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antar membran basalis dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel – sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 – 40) di lobus temporalis.
Telinga tengah juga memberi (mensuplai) oksigen kepada telinga dalam dengan cara difusi ke dalam perilimfe, terutama melaui foramen rotundum. Dengan demikian maka bagian yang terpenting di dalam telinga tengah adalah foramen ovale dan foramen rotundum, baik sebagai penghantaran gelombang suara maupun sebagai pemberi oksigen kepada telinga dalam. Telinga tengah sendiri mendapat oksigen dari kapiler submukosa dan dari udara yang berada dalam kavum timpani dengan cara mengabsorbsi udara.untuk kedua fungsi ini maka udara dalam kavum timpani harus diatur keluar masuknya untuk menjaga keseimbangan dengan tekanan atmosfer udara luar, serta diatur pertukaran udaranya (pengudaraan,aerasi). Hal ini dilakukan oleh tuba Eustachii, dengan demikian pentingnya tuba adalah untuk mengatur pengudaraan pada telinga tengah. Selain pengatur tekanan udara, yang lebih penting lagi adalah pemberian udara segar (oksigen), yang disebut pengudaraan atau aerasi.
Kavum timpani dan visceranya dilapisi oleh mukosa yang membentuk lipatan – lipatan mukosa. Epitel kavum timpani ada 3 macam yaitu epitel gepeng (skuamous epitel), kuboid, dan kolumner yang terdiri dari kolumner bersilia, kolumner berkelenjar (sekretorik), kolumner biasa.Bila telinga tengah mengalami peradangan, maka akan dapat ditemukan sel kelenjar dan sel goblet. Epitel telinga tengah dapat mengalami tranformasi, metaplasia, maupun displasia. Proses ini terlihat jika epitel mengalami rangsangan yang kronik baik mekanik maupun kimia. Epitel kolumner bersilia dan berkelenjar lebih banyak terdapat di daerah dekat muara tuba dan promontorium (ruang mesotimpanum). Di daerah epitimpanum dan retrotimpanum banyak terdapat epitel gepeng karena udara disini bersifat statis, selain epitel kolumner bersilia dan berkelenjar yang jumlahnya sedikit, yang berfungsi untuk pembuangan dan pertahanan.
Adapun fungsi telinga tengah sendiri dapat dikelompokkan menjadi:
a.Kegiatan mukosa
- mengabsorbsi oksigen, cairan hasil metabolisme, dan hasil dari proses patologi.
- drainase (pembuangan) dengan sistem transport mukosilia.
- menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke dalam telinga tengah, di sekitar muara tuba
- alat proteksi yang terdiri atas: mekanik karena adanya lapisan lendir di atas epitel yang menahan kotoran dan kuman, kemudian oleh sel kolumner bersilia digerakkan ke tuba, Cairan yang dihasilkan oleh sel kolumner berkelenjar, meliputi enzim (lisosim, tripsin, kolagenase), zat imunoglobulin, dan seluler di submukosa meliputi fibrosit, fibroblast submukosa, sel limfosit, sel plasma.
b. Pengudaraan kavum timpani (aerasi), yang terbagi atas lintasan udara superior yaitu aliran udara dari tuba langsung ke relung foramen ovale melalui di atas promontorium, terus ke ruang epitimpanum melalui istmus timpani anterior, dan lintasan udara inferior yaitu dari tuba aliran udara dibelokkan oleh tendo m. Tensor timpani dengan lipatan maleolus tensoris untuk masuk ke saluran antara mesotimpanum dan hipotimpanum untuk masuk ke relung foramen rotundum, terus masuk istmus timpanum posterior dan mengudarai kantong Prussak terus ke epitimpanum.
c. tekan udara kavum timpani
tekanan udara kavum timpani selalu berubah, dan naik setelah menelan (tuba terbuka) dan pada posisi tiduran. Perubahan tekanan ini dapat diatur kembali oleh udara cadangan yang berada di retrotimpanum untuk menyeimbangkan dengan tekanan atmosfer luar dengan melalui istmus timpani. Dengan demikian maka makin sedikit udara cadangannya makin mudah terjadinya proses patologi di kavum timpani.
d. Pertukaran gas
seperti di dalam alat pernafasan, kavum timpani juga mengadaka pertukaran gas. Dengan adanya perbedaan tekanan antara gas – gas dalam telinga tengah dan dalam jaringan, maka terjadi absorbsi gas perlahan tetapi kontinyu oleh lapisan mukosa.
C. ETIOLOGI
Etiologi peradangan pada telinga tengah dapat di kelompokkan menjadi :
1. Peradangan pada telinga tengah yang disebabkan oleh adanya kelainan pada nasofaring,yaitu :
a. waktu pilek mukosa nasofaring mengalami peradangan dan mikroorganisme terdorong masuk melalui tuba eustachius waktu membuang ingus keras-keras.
b. adenoid meradang sehingga menyumbat muara tuba, akan menyebabkan terjadinya absorbsi udara dalam telinga dan di gantikan oleh mukous. Pada suatu saat mukous ini akan berubah menjadi mukopus.
c. mukopus dari proses peradangan akan mengalir ke rongga belakang hidung dan menyebabkan peradangan tuba.
Walaupun infeksi saluran nafas atas disebabkan oleh virus, sebagian besar OMA disebabkan oleh bakteri piogenik. Bakteri yang sering di temukan adalah streptokokus pneumonia, hemophilus influenza, streptokokus  hemolitikus. Sejauh ini streptokokus pneumonia merupakan organisme penyebab tersering pada semua kelompok umur, sedangkan hemophilus influenza adalah patogen yang sering ditemukan pada anak di bawah usia 5 tahun, meskipun juga merupakan patogen pada orang dewasa.
Adapun mikrorganisme penyebab OMA :
1. Sreptococcus pneumonia
2. Hemophilus influenza
3. Streptococcus grup A
4. Branhamella catarrhalis
5. Staphilococcus aureus
6. Staphilococcus epidermidis
7. Pada bayi : Chlamydia trachomatis, Escherchia coli, spesies Klebsiela.
2. Penyakit-penyakit umum seperti morbili atau scarlet fever dapat di ikuti OMA hebat dengan dekstruksi struktur telinga tengah.



C.FAKTOR PREDISPOSISI
1. infeksi kronis adenoid
2. tonsilitis
3. rhinitis
4. sinusitis
5. batuk rejan
6. morbili
7. pada anak : kondisi tuba yang pendek, lebar, horizontal

D.PATOGENESIS
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba kedalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachii enzim dan antibody
. Seperti yang diketahui bahwa OMA dapat terjadi karena infeksi saluran nafas atas yang menginvasi telinga tengah melalui tuba Eustachii. Pada bayi, makin sering bayi terserang infeksi saluran nafas atas makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar dan agak horizontal letaknya.
Pada OMA terjadi keadaan yang patologis di mukosa yang melapisi tuba Eustachii, telinga tengah, dan sel mastoid, di mana terkumpul sekret, terjadi proses supurasi, terjadi kerusakan silia sehingga tidak dapat mengalirkan sekret menuju tuba Eustachii. Adanya kumpulan mukopus dalam telinga tengah mengakibatkan tekanannya meningkat, membran timpani meradang dan menonjol. Tekanan yang tinggi akan mempengaruhi pembuluh darah dalam membran timpani. Selanjutnya timbul nekrosis iskemik pada membran timpani, sehinga terjadi perforasi dan keluar pus. Dengan adanya perforasi ini gejala klinis seperti sakit telinga dan demam akan berkurang. Proses yang terjadi di telinga tengah adalah akumulasi, dekomposisi, dan iritasi. Mukosa menjadi rusak, terjadi desintegrasi periosteum, terjadi trombosis arteri yang berakibat berkurangnya aliran darah ke mukosa periosteum dan tulang telinga. Pada OMA yang tidak diobati dengan baik dan adekuat, bisa terjadi otitis media perforata kronik, dapat meluas ke otak melalui tegmen timpani, terutama jika disertai denagn kerusakan mukosa, tulang dan jaringan sekitarnya.

E. DIAGNOSIS
Diagnosis OMA ditegakkan dengan ditemukannya gejala – gejala dan tanda klinik yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pada telinga tengah terutama membran timpani, serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan bakteriologik dan radiologik.
Dari anamnesis akan didapatkan gejala dari OMA antara lain berupa nyeri pada telinga, demam, malaise, dan kadang – kadang nyeri kepala disamping nyeri telinga. Gejala klinik yang tampak tergantung pada umur penderita dan stadium klinik dari OMA itu sendiri. Bila OMA didapatkan pada anak – anak, keluhan utama yang didapat adalah berupa rasa nyeri dalam telinga dengan adanya riwayat batuk dan pilek sebelumnya dan suhu tubuh penderita dapat meningkat. Khusus pada bayi dan anak kecil dapat terjadi anoreksia dan kadang – kadang mual dan muntah. Demam dapat tinggi pada bayi dan anak kecil sampai 39,5 oc (pada stadium supurasi), namun dapat pula tidak ditemukan pada 30% kasus. Anak bisa menjadi gelisah dan sukar tidur, tiba – tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang – kejang dan kadang – kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tertidur tenang. Seluruh atau sebagian membran timpani secara khas menjadi merah dan dan menonjol, dan pembuluh – pembuluh darah di atas membran timpani dan tangkai maleus berdilatasi dan menjadi menonjol.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, di samping rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Bila disertai perforasi, gejala klinik yang ada akan membaik. Pada anak – anak dapat dinyatakan dengan keluhan ibu penderita melihat bercak kuning pada bantal anaknya dan suhu tubuh dapat turun, serta anak dapat tidur dengan tenang.
Berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, stadium OMA dapat dibagi atas 5 stadium:
1. Stadium radang tuba Eustachii (salpingitis)
2. Stadium hiperemis (presupurasi)
3. Stadium supurasi
4. Stadium resolusi
Stadium radang tuba Eustachii (salpingitis)
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, karena adanya absorbsi udara. Kadang – kadang membran timpani sendiri tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi. Dari penderita sendiri biasanya mengeluh telinga terasa tersumbat (oklusi tuba), gemrebeg (tinnitus low frequence), kurang dengar, sepeti mendengar suara sendiri (otofoni) dan kadang – kadang penderita merasa pengeng tapi belum ada rasa otalgia.
Stadium Hiperemis (PreSupurasi)
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani. Mukosa cavum timpani mulai tampak hiperemis atau oedem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat. Pada stadium ini penderita merasakan otalgia karena kulit di membran timpani tampak meregang.
Stadium Supurasi
Oedem yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat yang purulen di cavum timpani, menyebabkan membran timpani menjadi menonjol (bulging) ke arah telinga luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pada anak - anak sering disertai kejang dan anak menjadi rewel. Apabila tekanan eksudat yang purulen di cavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemik akibat tekanan pada kapiler – kapiler, serta terjadi trombophlebitis pada vena – vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan, di tempat ini akan terjadi ruptur. Sehingga bila tidak dilakukan incisi membran timpani (miringitomi) maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan discharge keluar ke liang telinga luar. Dengan melakukan miringitomi luka incisi akan menutup kembali karena belum terjadi perforasi spontan dan belum terjadi nekrosis pada pembuluh darah, sedangkan bila terjadi ruptur maka lubang tempat ruptur (perforasi) tidak mudah menutup kembali.
Stadium Resolusi


Menutup Sikatrik
Sembuh
Membran timpani tidak Dry Ear
perforasi menutup
Stadium resolusi Tidak sembuh OMSK
Sembuh Normal
Membran timpani utuh
Tidak sembuh Glue Ear

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa pada stadium resolusi dapat terjadi dua kemungkinan, yaitu membran timpani utuh (tidak terjadi perforasi) dan membran timpani perforasi.
Pada membran timpani yang utuh, bila terjadi kesembuhan maka keadaan membran timpani perlahan – lahan akan normal kembali. Sedangkan pada membran timpani yang utuh tapi tidak terjadi kesembuhan, maka akan berlanjut menjadi Glue Ear. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan incisi pada membran timpani (miringitomi) untuk mencegah terjadinya perforasi spontan.
Pada membran timpani yang mengalami perforasi, bila terjadi kesembuhan dan menutup maka akan menjadi sikatrik, bila terjadi kesembuhan dan tidak menutup maka akan menjadi Dry ear (sekret berkurang dan akhirnya kering). Sedangkan bila tidak terjadi kesembuhan maka akan berlanjut menjadi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK), di mana sekret akan keluar terus – menerus atau hilang timbul.



F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya memberikan terapi medikamentosa. Pemberian terapi medikamentosa ini tergantung pada stadium penyakitnya.
Stadium oklusi
Pada stadium ini pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam laruitan fisiologis (anak 12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa. Disamping itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab infeksi adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
Stadium Presupurasi
Pada stadium ini antibiotika, obat tetes hidunng dan analgetika perlu diberikan. Bilamembran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau ampisilin. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin.
Pada anak ampisilin diberikan dengan dosis 50 – 100 mg/BB/hari, dibagi dalam 4 dosis, atau eritromisin 40 mg/BB/hari.
Stadium Supurasi
Diamping diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala – gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Pada stadium ini bila terjadi perforasi sering terlihat adanya sekret berupa purulen dan kadang terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 selam 3 – 5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari.

Stadium Resolusi
Pada stadium ini jika terjadi resolusi maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Tetapi bila tidak terjadi resolusi akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkina telah terjadi mastoiditis.
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu,maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret masih tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronik (OMSK).

G. KOMPLIKASI
Sebelum ada antibiotika, OMA dapat menimbulakn komplikasi.Baru setelah ada antibiotika, semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari OMSK. Bila pengobatan OMA tidak tepat dan adekuat, maka OMA bisa memberikan komplikasi atau perluasan ke mastoid.
Komplikasi OMA menurut Mawson 1978, Youwer 1983 dan Paparella 1988 dapat dibagi menjadi:
1. Komplikasi Intra temporal
- Otitis media supuratif kronik
Dapa terjadi karena penanganan OMA yang terlambat, penanganan yang tidak adekuat, daya tahantubuh yang lemah dan virulensi kuman yang tinggi. Secara klinis ada 2 stadium yaoitu stadium aktif dimana dijumpai sekret pada liang telingadan stadium nonaktif dimana tidak ditemukan sekret di liang telinga.
- Mastoiditis Akut
Adanya jumlah pus yang berlebihan akan masuk mendesak selulae mastoid dan terjadi nekrosis pada dinding selule dengan bentuk empiema, mastoidkapsul akan terisi sel peradangan sehingga bentuk anatomi akan hilang. Dan infeksi dapat melanjut menembus tulang korteks sehingga terjadi abses subperiosteal.
Pada beberapa kasus dimana drainase cukup baik akan terjadi keadaan kronik dimana didapat retensi pus di dalam selule mastoid yang disebut sebagai mastoid reservoir dengan gejala utama otore profus.
Klinis : panas tinggi, rasa sakit bertambah hebat, gangguan pendengaran bertambah, sekret bertambah, bengkak dan rasa sakit di daerah mastoid.
- Petrositis
Terjadi karena pneumotisasi di daerah os petrosus umumnya kurang baik. Walau demikian, petrositis jarang terjadi pada OMA.
- Fasial paralisis
Adanya pembengkakan pada selubung saraf di dalam kanalis falopian akan terjadi penekanan pada saraf fasial. Pada OMA jarang terjadi kecuali bial ada kelainan kongenital di mana terdapat hiatus pada kanal falopian.
Klinis : gejala pertama adalah klemahan pada sudut mulut yanng cenderung menjadi berat. Paralisis terjadi pada stadium hiperemi atau supurasi. Kelumpuhan ini akan sembuh sempurna bila otitis medianya sembuh.
- Labirintitis
Meskipun jarang terjadi perlu diketahui bahwa infeksi disini adalah kelanjutan dari petrositis atau karena masuknya kuman melaui foramen ovale dan rotundum. Peradangan ini dapat mengenai koklea, vestibulum dan kanalis semi sirkularis. Klinis : mual, tumpah, vertigo dan kurang pendengaran tipe sensorineural.
- Proses adhesi atau perlengketan
Dapat terjadi pada otitis media yanbg berlngsung  6 minggu. Sekret mukoid yang kental dapat menyebabkan kerusakan tulang pendengaran atau menyebabkan perleketan tulang pendengaran dengan dinding cavum timpani.
- Ketulian
2. Komplikasi Intrakranial
- Abses extradural
terjadi penimbunan pus antara duramater dan tegmen timpani. Seringkali tegmen timpani mengalami erosi dan kuman masuk ke dalam epitimpani, antrum, adn celulae mastoid. Penyebaran infeksi dapat pula melalui pembuluh darah kecil yang terdapat pada mukosa periosteum menuju bulbus jugularis, nervus facialis, dan labirin. Klinis : otalgia, sakit kepala, tampak lemah.
- Abses subdural
Jarang terjadi penimbunan pus di ruang antara duramater dan arachnoid. Penyebaran kuman melalui pembuluh darah. Klinis : sakit kepala, rangsang meningeal, kadang – kadang hemiplegi.
- Abses otak
Terjadi melalui trombophlebitis karena ada hubunganb antara vena – vena daerah mastoid dan vena – vena kecil sekitar duramater ke substansia alba.
Klinis : sakit kepala hebat, apatis, suhu tinggi, tumpah, kesadaran menurun, kejang, papil edema.
- Meningitis otogenik
Terjadi secara hematogen, erosi tulang atau melalui jalan anatomi yang telah ada. Pada anakkomplikasi ini sering terjadi karena pada anak jarak antara ruang telinga tengah dan fossa media relatif pendek dan dipisahkan oleh tegmen timpani yang tipis. Klinis : tampak sakit, gelisah, iritabel, panas tinggi, nyeri kepala, rangsang meningeal (+).
- Otitic Hodrocephalus
Jarang terjadi. Infeksi ini terjadi melalui patent sutura petrosquamosa. Klinis : sakit kepala terus – menerus, diplopia, paresis N VI sisi lesi, mual, tumpah, papil edem.

E. PROGNOSIS
Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis OMA adalah baik untuk pendengaran dan kesembuhan, khususnya bila dilakukan paasentesis sebelum terjadi perforasi spontan membran timpani.





BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1. Otitis media akut (OMA) peradangan akut mukoperiosteum telinga tengah yang disebabkan oleh kuman. Pada umumnya OMA merupakan komplikasi dari infeksi saluran nafas atas.infeksi melalui tuba eustachii, selanjutnya masuk ke telingan tengah. Sebagian besar OMA terjadi pada anak, karena infeksi saluran nafas atas banyak pada anak, dan bentuk tuba eustachii pada anak lebih pendek, lebar, dan mendatar.
2. Diagnosis OMA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, an pemeriksaaan penunjang. Dari anamnesis ditemukan rasa nyeri pada kepala atau teliga, demam, malaise. Pada anak – anak keluhan pertama adanya rasa nyeri di telinga disertai riwayat batuk dan pilek sebelumya, suhu meningkat. Pada dewasa keluhan terutama nyeri telinga disertai gangguan pendengaran, dan terasa penuh di telinga. Pada bayi gejala klinik berupa anak, gelisah, sukar tidur, tiba – tiba menjerit saat tidur, dan memegang telinganya yang sakit, suhu meningkat disertai diare, muntah, dan kejang. Pada stadium I membran timpai bisa normal, pada stadium II membran timpani tampak berwarna merah, sekret masih serous hingga sulit dilihat. Pada stadium III membran timpani menonjol ke CAE (bulging) dan terbentuk sekret purulen dalam cavum timpani. Pada stadium IV membran timpani bisa utuh dan bisa mengalami perforasi.
3. Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya adalah terapi medikamentosa yang diberikan tergantung dari stadium penyakitnya. Prinsipnya adalah pemberian antibiotika dan parasentesis untuk menghindari perforasi spontan.

SARAN
1. Perlunya mencegah terjadinya infeksi saluran pernafasan atas terutama pada bayi dan anak – anak. Karena Infeksi saluran nafas atas merupakan faktor utama penyebab terjadinya OMA pada bayi dan anak – anak disamping bentuk anatomi dari tuba Eustachii yang lebih lebar, pendek dan mendatar dibanding orang dewasa.
2. Perlunya dilakukan miringotomi pada stadium dua, terutama stadium tiga bila membran timpani masih utuh, untuk menghindari terjadinya perforasi spontan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rifki N, S Purnaman, Pandi, Mangunkusumo E. Penyakit Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1990.
2. AdamsG L, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1994 ; hal . 89 – 100.
3. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. Kapita Selekta Kedokteran Bagian THT FK UI. Penerbit : Media Aeusculapeus FK UI, Jakarta, 2001 ; hal. 79.
4. Bambang. Pelajaran Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Penerbit : BP FK UNDIP, Semarang, 1991; hal. 31.
5. Sudarwan. Konsep Baru dalam Diagnosis dan Terapi Otitis Media Akut. Medical Progress, Vol. 7. Penerbit : Bagian THT FK UNDIP/RSDK, Semarang, 1980 ; hal. 79 – 92.
6. Herry S. Fisiologi Telinga Tengah. Fakultas Kedokteran UNDIP, Semarang.
7. Riece H. Komplikasi Otitis Media Akuta. Kumpulan Karya Ilmiah.
8. Pracy R, Siegler J, Stell PM. Pelajaran Ringkas THT. Penerbit : PT. Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 26 – 9.
9. Ballenger WL, Ballenger HC. Disease of The Nose, Throat, and Ear. Medical and Surgical, ed. 8th. LEA and FEBIGER, Philadelpia, 1993 ; hal. 67 – 51.


PATOFISIOLOGI OMSK

Secara fisiologis terdapat mekanisme pertahanan terhadap masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim, dan antibodi. Adanya infeksi saluran nafas atas baik oleh kuman/virus menyebabkan pertahanan tubuh terganggu. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga dan terjadi peradangan. Hal tersebut dimungkinkan karena tuba eustachius merupakan saluran penghubung antara telinga tengah dengan rongga nasofaring. Akibat peradangan tersebut, timbul udem pada ostium tuba yang kemudian terjadi oklusi tuba eustachius. Akibat oklusi tuba eustachius terjadi peningkatan jumlah oksigen di cavum timpani, sehingga terjadi perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar cavum. Maka terjadilah proses absorbsi udara oleh mukosa cavum timpani agar terjadi keseimbangan tekanan. Akibat absorbsi udara maka terjadilah udematous pada pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi transudasi (keluarnya cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler). Adanya cairan dalam cavum timpani, merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, sehingga cairan di dalam cavum timpani menjadi lebih kental (supurasi). Cairan semakin lama semakin banyak dan mengumpul di bawah cavum, sehingga mendesak pembuluh-pembuluh darah di membrana timpani. Lalu terjadi iskemia, serta timbul trombophlebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat tersebut akan terjadi ruptur secara spontan (perforasi). Perforasi membrana timpani ini dapat terjadi pada bagian sentral atau sub total (tipe Tubo-timpani), maupun pada bagian marginal/atik (tipe Atiko-antral). Pada stadium perforasi ini, bila tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat atau tidak diobati disertai daya tahan menurun, virulensi kuman meningkat dan higiene yang buruk, akan berlanjut menjadi peradangan mukoperiosteum telinga tengah yang kronik yang ditandai discaj keluar terus menerus atau hilang timbul lebih dari dua bulan, penurunan pendengaran dan membran timpani perforasi.



Berdasarkan patologi yang terjadi di telinga tengah, maka Otitis media supuratif kronis dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1. OMSK tipe Benigna
Disebut juga mucosal, safe atau tubo-tympanical type. Pada tipe ini sering terjadi reinfeksi pada mukosa telinga tengah, baik secara eksogan akibat adanya perforasi pada membrana timpani maupun secara rinogen. Berulangnya infeksi dapat menyebabkan patologi yang irreversibel pada mukosa telinga tengah, yaitu dapat berupa penebalan mukosa, terbentuknya jaringan granulasi yang melapisi tampak rata tipis.
2. OMSK tipa Maligna
Disebut juga bony, dangerous atau attico-antral type. Pada tipe ini sering terjadi diikuti dengan terjadinya osteitis atau destruksi tulang yang sebagian besar disebabkan oleh kolesteatoma. Tipe ini mempunyai potensi untuk menimbulkan komplikasi yang serius dan membahayakan jiwa penderita.
Perbedaan OMSK tipe Benigna dan Maligna
Perbedaan Benigna
(Tubo timpanik) Maligna
(Atiko antral)
Penyebab Otitis media supuratif akut rekuren -Disfungsi kronik tuba eustachius dan terbentuk retraksi kantong/perforasi di atik
-Migrasi epitel abnormal
Otalgia Ringan Sedang
Otore Mukopurulen, tidak berbau, encer Mukopurulen kental abu-abu kekuningan, berbau
Kelainan khas di membrana timpani Perforasi sentral/sub total Perforasi marginal/atik,dengan atau tanpa adanya kolesteatom
Perubahan mukosa Udem/ hipertropi Degenerasi polip/ granulasi
Tulang pendengaran Biasanya utuh Biasanya terdapat osteoitis, destruksi/ nekrosis (incus oleh kolesteatom)
Kolesteatom Jarang ditemukan Sering ditemukan
X Foto Mastoid Perselubungan sklerotik Perselubungan, rongga berisi kolesteatom
Komplikasi Intra Kranial Jarang Sering
(abses intrakranial, meningitis, enchepalitis, labirintitis, trombosis sinus lateralis)



A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sinus paranasalis terdiri dari sinus maksilaris, sinus etmoidalis, sinus frontalis dan sinus sfenoidalis. Sinus paranasalis akan berkembang terus setelah lahir. Sinus etmoid terbentuk sempurna sejak lahir. Kelompok anterior berasal dari meatus medius sedangkan kelompok posterior berasal dari berasal dari meatus superior. Sinus maksilaris sudah terbentuk pada watu lahir tetapi belum berkembang dengan sempurna, sinus maksilaris terus berkembang sampai usia pubertas. Dasar sinus maksilaris akan turun bersamaan terjadinya erupsi gigi, pada usia sekitar 8 tahun dasar sinus setinggi dasar hidung. Dasar sinus akan terus berkembang kebawah mencapai puncak pertumbuhan pada usia 15-18 tahun. Kelainan gigi jarang menyebabkan sinusitis maksilaris pada anak karena adanya jarak gigi yang erupsi dengan dasar sinus maksilaris. Sinus sfenoid belum berkembang sempurna sampai usia 12-18 tahun. Sinus frontalis biasanya baru terbentuk sekitar tahun kedua kehidupan, umumnya kurang berkembang, dapat tidak terbentuk atau sangat asimetris (4).
Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning), untuk keseimbangan kepala, untuk menjaga suhu udara inspirasi dan untuk resonansi suara (5).
Sinus yang sehat akan berisi udara serta kuman aerob dan anaerob. Fungsi sinus yang normal dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu fungsi silia normal, sekresi kelenjar yang adekuat, serta patensi ostium sinus. Kelainan pada salah satu fungsi tersebut akan mengarah pada sinusitis (5).
Sekresi sel goblet dan kelenjar pada mukosa sinus akan membentuk lendir yang menutupi permukaan epitel, disebut mukus blanket yang berfungsi sebagai drainase, pertahanan, serta memberi kelembaban udara yang akan masuk ke sinus. Jika terdapat partikel, benda asing, atau kuman yang masuk bersama dengan udara akan melekat pada mukus membran, kemudian akan terdapat sel lekosit PMN, sel mast, eosinofil, lisozym, dan imunoglobulin G di sekitarnya. Karena gerakan silia maka mukus membran akan bergerak secara alamiah ke arah ostium sinus menuju hidung (5).
Aliran mukus membran di sinus maksila mulai dari dasar ke arah dinding depan, medial, posterolateral, dan atap sinus kemudian ke ostium sinus maksila. Semua mukus membran yang keluar dari ostium sinus akan mengalir ke nasofaring kemudian menuju arah orofaring, laringofaring dan selanjutnya mengalir ke dalam esofagus ikut dalam proses menelan (5).

B. PATOGENESIS
Kompleks osteomeatal (KOM) adalah struktur anatomis yang penting pada patofisiologi sinusitis dan telah terbentuk lengkap pada bayi yang baru lahir walaupun belum seukuran dewasa. Terletak dibawah meatus medius, KOM terdiri dari prosesus uncinatus, infundibulum ethmoidalis, hiatus semilunaris, bula ethmoidalis dan resesus frontalis (1).
Pergerakan normal mukus menuju ostia dari sinus dan selanjutnya ke nasofaring dapat terganggu karena peradangan pada mukosa yang mengakibatkan edema mukosa menimbulkan obstruksi ostia sinus (6). Suatu obstruksi ostia sinus menurunkan tekanan O2 dalam sinus, akibatnya terjadi lingkungan yang hipoksik dalam rongga sinus. Obstruksi ostia juga menyebabkan tertumpuknya sekret sinus yang bersifat asam, yang mempengaruhi metabolisme dan multiplikasi bakteri. Selain itu fungsi lokal silia, mukosa sinus, dan fungsi bakterid menjadi lemah. Terdapatnya bakteri aerob dan anaerob dalam sinus yang sehat mendukung pendapat bahwa bakteri flora normal dapat berkembang biak jika terjadi obstruksi ostium tanpa inokulasi bakteri dari luar (1).
Peradangan pada sinus paling sering terjadi karena infeksi saluran nafas atas karena virus atau alergi. Faktor mekanis seperti hipertrofi adenoid, benda asing, septum deviasi, atresia koana dan stenosis dapat cukup mempengaruhi fisiologi jalan nafas yang buruk dan bendungan sekret. Selain itu ada faktor-faktor yang menjadi predisposisi untuk menjadi kronik antara lain rinitis alergi, gastroesophageal refluks (GER), defisiensi imun, dan kelainan pada fungsi silia 1.

C. DIAGNOSIS
Secara klinis sinusitis dapat diketegorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronik bila berlangsung lebih dari 3 bulan(5). Seperti pada kebanyakan penyakit lainnya, diagnosis sinusitis pada anak juga ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Untuk menegakan diagnosis sinusitis pada anak diperlukan anamnesis yang cermat baik pada anaknya maupun terhadap orangtuanya, mengingat anak tidak dapat mengemukakan keluhannya secara tepat dan gejalanya sering tumpang tindih dengan penyakit lain seperti rinitis alergi maupun infeksi saluran nafas atas karena virus dewasa (3).

D. GEJALA DAN TANDA
Gejala khas sinusitis pada anak ialah adanya sekret hidung kronik dari satu atau kedua sisi hidung. Sekret sangat banyak pada sisi yang terkena, bisa mukoid, mukopurulen, atau purulen (3). Gejala lain yang ada dapat berupa: batuk lama, sepanjang hari dan akan memberat pada malam hari, nyeri dalam telinga, sumbatan menetap atau hilang timbul pada sisi hidung yang terkena, sakit kepala yang bisa dikeluhkan oleh anak umur diatas lima tahun atau gejala iritabel pada anak yang lebih kecil, nyeri rahang atas atau gigi yang meningkat intensitasnya pada sore hari terutama pada kasus sinusitis maksila (3,2). Anak sering mengalami malnutrisi dan berat badan berkurang, kurang perhatian disekolahnya dan dapat menjadi bodoh (3).
Secara klinis sinusitis dapat diketegorikan sebagai sinusitis akut, sub akut dan kronis. Pada sinusitis akut, gejala dan tandanya bisa menetap sampai 3-4 minggu dengan gejala utama batuk dan rhinorea. Gejala lain bisa berupa hidung tersumbat, demam (tidak tinggi), otitis media, iritabel dan sakit kepala. Pada infeksi yang berat rhinoreanya menjadi purulen, demam tinggi (>39°C), dan terjadi edema periorbita. Pada subakut gejalanya mulai mereda tapi bisa menetap sampai tiga bulan. Pada sinusitis kronis gejala yang timbul lebih ringan dan menetap lebih dari tiga bulan.

E. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Sekret mukopurulen pada meatus media bila yang terkena sinus ethmoidalis atau maksilaris, karena saat itu sinus frontalis belum berkembang sempurna dan jarang terkena. Sekret yang keluar dari atas konka media sebelum umur tiga tahun menunjukan etmoiditis posterior, kerena sinus sphenoid belum berkembang sempurna dan tidak sering terkena sebelum umur ini. Sekret hidung sangat banyak di sisi yang terkena dapat mukoid, mukopurulen atau purulen. Pada rhinoskopi posterior akan tampak adanya post nasal drip tetapi pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada anak yang lebih besar(3,6).
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiografi
Evaluasi hasil pemeriksan radiografi pada anak dengan kecurigaan sinusitis harus hati-hati, sebab sering pada sinus normalpun bisa memberikan gambaran seperti sinusitis. Sering kali pemeriksaan ini tidak akurat, bahkan bila dibandingkan dengan CT-Scan yang merupakan alat diagnostik yang lebih canggih, 75% pemeriksaan dapat lebih rendah atau lebih tinggi. Gambaran radiologis pada sinsusitis tampak adanya kesuraman pada sinus, densitas yang bertambah, gambaran kesan penebalan mukosa, serta adanya gambaran batas permukaan cairan dengan udara (8).
b. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan standar yang harus dilakukan dalam mengevaluasi inflamasi mukosa dan abnormalitas tulang-tulang sinus paranasal. CT Scan memberikan gambaran yang dapat diandalkan untuk mengetahui keadaan komplek osteomeatal (8).
c. Pemeriksaan endoskopi
Dengan endoskopi dapat mengetahui kedaan rongga hidung , meatus medius dan merupakan alat yang memberikan gambaran komplek osteomeatal yang paling baik (1).
d. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksan ini berguna untuk identifikasi kuman dan kepekaannya terhadap antibiotik. Material diambil dengan cara melakukan pungsi sinus. Sinusitis anak biasanya ditemukan adanya bakteri H. Influensa, Pneumokokus, Straphilokokus, dan Streptokokus. Selain itu kadang-kadang juga bisa ditemukan bakteri anaerob, adanya kuman ini pada sinusitis harus diwaspadai adanya komplikasi intrakranial berupa abses otak (1).

F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan sinusitis pada anak pada prinsipnya sama dengan orang dewasa, yaitu secara konservatif dan operatif. Pengobatan konservatif meliputi tirah baring, analgetik, anti biotik dan dekongestan. Prosedur operatif hanya dilakukan pada sinusitis yang non akut, itupun jarang sekali dilakukan pada anak(3).
Pada sinusitis akut Amoxicillin merupakan antibiotik pilihan utama, terutama pada infeksi tanpa komplikasi dan gejalanya ringan hingga berat dan pada pasien yang dalam satu bulan terakhir tidak pernah diterapi antibiotik. Amoxicillin diberikan dengan dosis 45 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis selama 14-21 hari. Pada keadaan resistensi, dosis amoxicillin dapat dinaikan menjadi 80-90 mg/kgbb/hari dalam dua dosis, amoxicillin 45 mg/kgBB/hari ditambah amoxicillin–clavulonat 45 mg/kgBB/hari, cefuroxime, atau cefpodoxime. Evaluasi hasil terapi secara kinis harus dilakukan diantaranya gejala demam menjadi hilang, pengurangan jumlah discharge hidung dan flu yang bermakna dalam 48-72 jam. Jika memburuk dalam jangka waktu ini maka harus reevaluasi kinik. Jika diagnosa tetap, maka aspirasi sinus dapat dilakukan untuk mengetahui lebih jelas etiologinya (9) .
Terapi Medikamentosa tambahan pada sinusitis akut bisa berupa: irigasi larutan salin pada sinus yang terbukti efektif dalam menangani sinusitis akut maupun kronis. Yaitu dengan meningkatkan fungsi aliran mukosiliar dan membantu terjadinya vasokonstriksi. Secara mekanis menghilangkan adanya sekret, alergen dan bahan iritan, serta menurunkan jumlah bakteri. Steroid nasal dan antihistamin penting diberikan terutama pada pasien yang disertai rinitis alergi. Nasal dekongestan belum bisa dipastikan efektif walaupun sering dapat memperbaiki tingkat kenyamanan pasien. Pembatasan penggunaan nasal dekongestan sebagai terapi medikamentosa pada 4-5 hari pertama paling baik untuk mencegah terjadinya rebound vasodilatation. Demikian juga pemberian mukolitik belum bisa dipastikan efektif. Tidak ada penelitian yang menunjukkan tingkat efektifitasnya (1) .
Pada pasien dengan sinusitis kronik, diberikan beta laktamase spektrum luas sekurang-kurangnya 4 minggu. Pertimbangkan untuk mengganti antibiotik dilakukan jika pemberian selama 1 minggu tidak ada respon yang signifikan. Pemeriksaan kultur mungkin diperlukan untuk pedoman pemberian antibiotik yang sesuai. Pemberian terapi tambahan seperti pada kasus akut, seperti steroid nasal dan irigasi dengan larutan salin dapat juga dilakukan(1,7).
Tindakan operatif pada anak jarang diindiasikan. Kalaupun terpaksa dilakukan harus dengan trauma yang seminimal mungkin. Yang paling penting adalah mengadakan ventilasi dan drainase. Tindakan pembedahan tidak dianjurkan pada fase akut kecuali ada ancaman komplikasi intra kranial dan ke mata (3,4).
Tindakan operasi pada sinusitis dikelompokan menjadi dua yaitu prosedur langsung (direct) dan tak langsung (indirect). Contoh prosedur direct adalah septoplasty, adenoidektomi, antral lavage, nasal antral window. Antral lavage mungkin merupakan metode direct yang paling sering dilakukan, yaitu melalui meatus inferior dan bisa dilakukan aspirasi untuk melakukan kultur atau tes sensitifitas. Sedangkan operasi Caldwell-Luc merupakan kontra indikasi pada anak karena mengakibatkan kerusakan mukosa sinus (7).
UCSD MEDICAL GROUP
Pediatric Sinusitis



















This guideline is to be used to assist in clinical efficiency, but is not a substitute for clinical judgement
Gambar. Alur Terapi Medikamentosa pada Rhinosinusitis Anak

G. KOMPLIKASI
Komplikasi Orbita
Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Terdapat lima tahapan (6):
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan.
2. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses sub periosteal. Pus tekumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan protopsis dan kemosis.
4. Abses orbita. Pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
5. Trombosis sinus kavernosa. Akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk tromboflebitis septik.
Terapi dengan pemberian antibiotik dosis tinggi dan tindakan bedah untuk mengeluarkan pus dari rongga abses.

Komplikasi Intra Kranial
Keterlibatan intrakranial biasanya merupakan proses kelanjutan dari penyebaran penyakit yang terjadi pada sinus sphenoid atau sinus frontalis. Komplikasi yang terjadi dapat berupa meningitis, abses dura, abses otak dan abses sub periosteal. Terapi dengan pemberian antibiotik intravena dengan penetrasi yang baik terhadap LCS, seperti misalnya cephalosporin golongan ketiga. Selain itu juga dilakukan konsultasi dengan bagian saraf

A. ANATOMI
Telinga tengah terdiri dari empat bagian yaitu cavum timpani, tuba eustachii membrana timpani, anthrum mastoideum beserta sellule mastoidea. Mukosa cavum timpani dan mastoid merupakan satu kesatuan, hal ini mempunyai arti klinis yaitu bila terjadi radang dalam kavum timpani dapat terjadi pula pada antrum mastoideum adan sellule mastoidea.1

Gambar 1. Anatomi telinga tengah5 Gambar 2. Anatomi mastoid5
● Kavum Timpani
Kavum timpani berisi viscera timpani dan mesenterium atau lipatan mukosa. Viscera timpani terdiri atas tulang pendengaran, ligamenti, tendo otot dan syaraf. Tulang pendengaran dan lipatan mukosa membentuk diafragma timpani yang membagi telinga tengah menjadi dua bagian yaitu bagian timpani posterior dan timpani anterior. Timpani posterior terdiri atas ruang epitimpani dan retrotimpani, sedangkan timpani anterior terdiri atas mesotimpani, hipotimpani dan tuba eustachii. Antara kedua bagian itu dihubungkan dengan lubang kecil pada diafragma timpani yaitu isthmus timpani anterior dan isthmus timpani posterior. Dengan adanya lipatan mukosa, kavum timpani terdiri atas ruangan-ruangan kecil sehingga membentuk pembatas penyebaran suatu penyakit dan menghindarkan dari penularan penyakit.1,4
● Anthrum mastoidium dan sellule mastoidea.
Anthrum mastoidium dihubungkan oleh aditus ad anthrum dengan epitimpani
yang terletak di bagian atas dinding posterior kavum timpani. Pada mastoidea terdapat banyak udara, dikenal dengan istilah pneumatisasi. Pneumatisasi yaitu adanya sel-sel berisi udara dalam os mastoid dan sekitarnya. Pengertian pneumatisasi berdasarkan4 :
a. Proses terbentuknya
Pada waktu prenatal sudah terdapat mukosa yang melapisi kavum timpani, aditus ad anthrum dan anthrum mastoideum. Setelah lahir terjadilah proses pneumatisasi dengan cara kerusakan tulang sekitar mukosa anthrum mastoideum sehingga terbentuklah kantung didalam marrow space yang kemudian dilapisi oleh mukosa yang kontinu dengan mukosa kavum timpani dan aditus ad anthrum. Cell adalah suatu kantong yang menonjol kedalam bone marrow space. Mukosa ini membentuk banyak kantong, tiap kantong pertama membentuk kantong kedua yang lain dan seterusnya. Tiap kantong masih dilapisi dengan mukosa seperti diatas.
Anthrum mastoideum berisi udara sehingga sellule mastoidea juga berisi udara. Sebagai akibatnya terbentuk sebuah cell di dalam os mastoideus. Sellule tersebut saling berhubungan satu sama lain dan juga berhubungan dengan kavum timpani.
b. Derajat pneumatisasi
Berdasarkan derajat pneumatisasi terjadi tiga tipe :
• Mastoid sellule yaitu tulang mastoid yang mengalami pneumatisasi normal.
• Mastoid “diploic” / “infantile” yaitu tulang mastoid dimana sellule hanya terbentuk sebagian karena terhenti pada proses pneumatisasi.
• Mastoid “sclerotic” yaitu proses pneumatisasi tidak terbentuk, tulang sclerotic, biasanya karena proses peradangan dan gangguan pada tuba eustachii.

B. KLASIFIKASI MASTOIDITIS
Menurut waktu timbulnya gejala dapat dibagi mastoiditis akut dan mastoiditis kronis.
Mastoiditis akut
Mastoiditis akut dapat merupakan komplikasi otitis media akut yang menyerang sellule mastoid dan tidak mendapat pengobatan yang efektif. Otitis media yang banyak memberikan komplikasi terutama dari jenis supuratif. Mastoiditis akut dapat merupakan komplikasi otitis tipe atiko antral yang mengalami eksaserbasi akut.4,6,7


Mastoiditis kronis
Mastoiditis kronis dibedakan menjadi mastoiditis kronis aktif dan mastoiditis kronis inaktif.5
Proses aktif berkaitan dengan adanya infeksi dengan drainase telinga yang terinfeksi atau otorrhe yang disebabkan suatu perubahan patologi yang mendasari seperti kolesteatom atau granulasi jaringan. Berdasarkan proses terjadinya, kolesteatom ada 2 jenis, yaitu kolesteatom kongenital dan kolesteatom akuisita. Kolesteatom kongenital merupakan sisa-sisa sel embrional ektoderm, maka disebut juga primary epidermoid tumor. Pada tipe ini, sebelumnya tidak didapatkan obstruksi tuba maupun otitis media, jadi membrana timpaninya masih utuh. Sedangkan kolesteatoma tipe akuisita ada 2 macam, yaitu primer dan sekunder. Teori terjadinya kolesteatom akuisita primer adalah teori invaginasi, yaitu adanya obstruksi tuba eustachii kronik, yang mengakibatkan tekanan negatif sehingga terjadi retraksi membrana Sharpnell dan terbentuklah kantong di epitimpani yang membentuk kolesteatom. Sedangkan pada kolesteatom akuisita sekunder, terdapat 2 teori, yaitu teori metaplasia dan teori migrasi. Teori metaplasia menerangkan bahwa adanya peradangan yang terus-menerus mengakibatkan epithel kavum timpani, mengalami metaplasia, dari sel kolumner menjadi sel kuboid dan akhirnya menjadi sel skuamosa. Sedangkan teori migrasi menerangkan bahwa perforasi marginal di membrana timpani mengakibatkan epithel kulit kanalis auditorius eksternus yang sifatnya tumbuh ke dalam masuk ke kavum timpani, dan membentuk kolestetoma.
Proses inaktif berkaitan dengan sekuelle dari proses aktif sebelumnya. Perforasi bisa disebabkan dari komplikasi episode otitis media berulang yang hebat atau episode tunggal yang sangat hebat, atau perforasi traumatik yang tidak diobati. Seing terdapat cacat tulang pendengaran. Bila tidak mendapat terapi telinga yang rentan ini dapat berlanjut menjadi aktif.4

C. PATOGENESIS

Pada cavum timpani terdapat ossiculae yaitu maleus, incus dan stapes. Ossiculea ini diikat oleh ligamenta disekitarnya. Selain itu juga terdapat tendo musculus tensor timpani. Seluruh struktur ini dilapisi oleh mukosa. Mula-mula terjadi radang di dalam kavum timpani yang mengenai mukosanya. Mukosa menjadi edema dan hiperemi kemudian setelah beberapa waktu terjadi eksudasi. Radang tersebut meluas ke epitimpani yang berisi ossiculae. Oleh karena epitimpani adalah suatu ruangan yang sempit yang terbagi dalam beberapa kotak kecil maka dengan adanya radang akan terjadi obstruksi penyaluran sekret ke mesotimpani sehingga sekret mengalir ke belakang menuju aditus ad anthrum dan akhirnya ke cellule. Maka terjadilah hiperemi dan edema mukoperiosteum cellule mastoidea yang kemudian akan terjadi kongesti pembuluh darah. Karena terjadi kongesti maka terbentuk trombus. Bila trombus yang terbentuk besar dapat mengakibatkan nekrosis mukosa dan tulang sellule mastoidea, sehingga terjadi sekuesterisasi. Hal inilah yang disebut mastoiditis tipe koalesen. Kemungkinan lain, bila trombus yang besar tadi pecah, akan timbul perdarahan, dan terjadilah mastoiditis tipe hemoragik. Namun apabila terjadi peradangan pada trombus tadi, terjadilah mastoiditis tipe thrombphlebitis.

D. FAKTOR-FAKTOR PREDISPOSISI
Predisposisi mastoiditis hampir serupa dengan predisposisi otitis media 1,2,3 :
● Umur
Mastoiditis hampir selalu disebabkan oleh otitis media. Otitis media lebih sering mengenai anak-anak, karena secara anatomis tuba eustachii pada anak-anak lebih pendek, lebih lebar, dan lebih horizontal. Sehingga bila terkena ISPA, anak-anak akan lebih mudah terkena otitis media. Karena Otitis media kronik sering dimulai masa childhood (anak-anak).
● Sosial ekonomi
Sosial ekonomi yang rendah, gizi kurang, hygiene dan pemeliharaan kesehatan kurang (kebodohan atau tidak adanya perhatian) dan kepadatan penduduk (kawasan pemukiman yang kumuh) merupakan hal yang menunjang terjadinya mastoiditis.
● Musim
Perubahan musim memudahkan berjangkitnya penyakit saluran nafas. Pada bulan-bulan dingin insiden otitis media cenderung meningkat.
● Infeksi dan radang saluran nafas atas.
Infeksi saluran nafas atas seperti influenza, sinusitis dan rinitis kronik dapat merupakan faktor predisposisi.
E. DIAGNOSIS
Diagnosis mastoiditis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis.
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Mastoiditis akut 1,4,8
1.1. Anamnesis
Penderita biasanya mengeluh otorhe, nyeri, sensasi tekanan dalam telinga, penebalan sekitar prosesus mastoideus, kurang pendengaran, demam dan symptom konsitusi lain seperti sakit kepala, anoreksia dan malaise.
1.2. Pemeriksaan :
a. Bulging membrana timpani atau perforasi membrana timpani.
b. Sekret purulen dari perforasi membrana timpani, yang dapat diikuti gerakan pulsatil.
c. Kurang pendenganran tipe konduktif pada sisi yang sakit.
d. Edema retroarikular.
e. Perlunakan mastoid.
f. Nyeri tekan dan ketok mastoid.
g. Perforasi membrana timpani di sentral bila berlanjut dapat menjadi subtotal atau total.
h. X foto mastoid : cellulae yang rusak tidak tampak dan cellulae kabur sampai hilang.
i. Reservoir sign (+).

Gambar 3. erythema di sekitar tulang Gambar 4. Bengkak dan erythema
mastoid 8 yang disebabkan oleh
mastoiditis 8
Mastoiditis kronik 1,4,8
2.1. Anamnesis
Penderita mengeluh tuli, keluar nanah dari telinga dan berbau busuk, telinga tidak pernah sembuh, pernah sakit di belakang telinga dan nyeri apabila sudah terjadi komplikasi.
2.2. Pemeriksaan :
a) Discharge profus, mukopurulen berwarna kuning, kental dan berbau.
b) Perforasi gendang telinga di membrana Sharpnell (attik) atau marginal atau sentral
c) Liang teling di pars osseus di supero posterior bengkak (gele abses).
d) Bezold abses
e) Mourette abses
f) Kurang pendengaran tipe konduktif atau campuran.
g) X foto mastoid, nampak rusaknya cellulae mastoidea dapat berupa :
1. Kesuraman
2. Bila banyak membentuk tulang baru maka mastoid mengalami sclerosis sehingga pada foto tampak keputihan. Kadang-kadang ditemukan suatu rongga (cavity) yang menunjukkan adanya kolesteatom.
h) Reservoir sign (+).

F. KOMPLIKASI
Komplikasi mastoiditis terbagi atas4,9 :
Telinga tengah :
Perforasi persisten.
Paresis nervus facialis.
Erosi ossiculae dengan gangguan pendengaran.
Telinga dalam :
Fistula dengan vertigo dan gangguan pendengaran tipe sensorineural.
Labirinitis supuratif.
Gangguan pendengaran tipe sensorineural.
Ekstraadural :
Abses ekstradural.
Sinus trombosis lateralis
Sistim saraf pusat :
Meningitis.
Abses otak.
Otitis hidrosefalus.

G. PENGOBATAN
Pengobatan mastoiditis dilakukan dengan beberapa cara :
Medikamentosa
Terapi dengan menggunakan obat-obatan antibiotik yaitu amoksilin, ampislin, sefuroksin, tetrasiklin, khloramfenikol.1,4,6
Operasi
Dilakukan tindakan operasi mastoidektomi, ada tiga cara1,4,6 :
2.1. Radikal mastoidektomi
Dengan operasi ini yang diutamakan adalah eradikasi penyakit sebaik- baiknya. Pada cara ini seluruh dinding kanalis auditoris eksternus diruntuhkan sehingga terdapat hubungan langsung antara kavum mastoid, kavum timpani dan liang telinga. Dengan perkataan lain kavum mastoid, antrhum, aditus ad anthrum, kavum timpani dan kanalis auditorius eksterna dijadikan satu ruangan. Cara radikal ini terutama untuk mastoidektomi dengan kolesteatom luas.

2.2. Mastoidektomi Simpel
Dinding posterior kanalis auditerius eksterna tetap dipertahankan.
2.3. Radikal Modifikasi
Indikasi cara ini adalah kolesteatom atik dengan periferasi atik dan membrana tympani dengan pars tensa masih utuh dengan pendengaran masih baik. Pada operasi ini, dinding postero superior dibuka lebar, jadi memenuhi syarat-syarat mastoidektomi radikal tetapi fungsi pendengaran dipertahankan baik.


Gambar 5. Anatomi Processus Mastoideus 8

Gambar 6. Mastoditis 8

Gambar 7. Mastoidektomi simpel 8

H. PROGNOSIS
Bila mastoiditis sudah terdeteksi sejak awal, dan dengan terapi adekuat maka prognosisnya sangat bagus. Tetapi pengobatannya memang sulit dan besar resiko kekambuhannya.8















DAFTAR PUSTAKA


1. Djaafar ZA, Kelainan Telinga Tengah-Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, ed; Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001: 49-62
2. Sakit Telinga, 2000 Oktober, Available at URL:
http://www.infokes.com
3. Young T, Mastoiditis, 2001 October, Available at URL:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic306htm
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC, Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Dalam: Adams GL, Boies LR, Higher PA, ed; Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997: 88-118
5. Diseases of the Middle Ear and Mastoid. Available at URL:
http://entlink.net/education/curiculum/mid_ear_dis.cfm
6. Kamerer DB, Middle Ear and Temporal Bone Trauma. In: Kohut RI, Vrabec JT, ed; Head and Neck Surgery-Otolaryngology, New York: Lippincott-Raven Desktop Division, 1998: 2027-41
7. Parker JL. Acute Mastoiditis, 1994 February. Available at URL:
http://www.bcm.edu/oto/grand/2394.html
8. Medical Encyclopedia: Mastoiditis, 2003 July. Available at URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001034.htm
9. Helmi, Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, ed; Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2001: 63-73

I.Patogenesis biomolekuler reaksi inflamasi alergi
Rinitis alaergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. (Kay,1987)Keluhan reaksi alergi pada hidung ditandai oleh tiga gejala yaitu hidung beringus,bersin-bersin dan hidung tersumbat(Kay,1987). Awal terjadinya reaksi alergi tersebut sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan oleh sel makrofag (Brown dkk,1991) dan atau sel dendritik (Mc William,1996) seperti dilukiskan Creticos(gambar 1).
Sel APC yang berada di epitel saluran nafas berperan sebagai sel penyaji terhadap allergen yang menempel ke mukosa hidung. Dalam 2 jenis sel APC tersebut, terbentuk fragmen peptide imunogenik (Creticos 1998). Fragmen pendek ini bergabung dengan MHC kelas II yang berada di permukaan sel APC dan dipresentasikan kepada sel T spesifik. Apabila sinyal kostimulator yang cukup memadai diinduksi, terjadi aktivasi sel T dengan sitokin tipe TH2 yang memiliki efek langsung terhadap sel-sel inflamasi dan sel B produsen antibody untuk selanjunya mempengaruhi interaksi seluler, produksi IgE dan respon inflamasi.
IL1 yang dilepas oleh sel APC akan mempengaruhi sel T CD4 sehingga melepas IL4. IL4 ini akan menstimulasi sel TH1 melepas IFN-  sedangkan sel TH2 distimulasinya sehingga melepas IL3,IL4,IL5,IL13(Creticos 1998).
IL4 akan mempengaruhi sel B memproduksi Ig E. IL13 dapat memacu sel B memproduksi Ig E dalam keadaan kadar IL4 rendah (Naclerio dkk,1985; Geha, 1988). Dengan demikian produksi Ig E akan melimpah yang dapat ditemukan pada sirkulasi darah perifer.
IgE yang melimpah ini akan menempel pada reseptor FCe yang berada pada permukaan mastosit. Apabila allergen menempel pada kedua lengan pendek IgE mastosit tersebut, maka mastosit akan mengalami degranulasi sehingga akan melepas mediator-mediator histamine, triptase, PGD2,LTS dan sitokin-sitokin. Mediator yang dilepas tersebut menyebabkan terjadinya reaksi alergi fase segera (RAFS) yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan allergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Reaksi alergi akan berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian (Kaliner, 1987;Lichtenstein,1988).
Tanda khas RAFL adalah terlihatnya akumulasi sel-sel inflamasi di jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konsisten bertambah banyak adalah eosinofil. (Baskom,dkk,1988;Bentleydkk,1989;Sumarman,1996). Disamping itu yang bertambah adalah limfosit, basofil, neutrofil monosit dan makrofag tetapi jumlahnya tidak konsisten.
Sepanjang RAFL terdapat beberapa fenomena penting (Creticos,1998). Pertama, sitokin IL5 bersama IL3 mempengaruhi eosinofil menjadi aktif dan melepas berbagai protein yaitu Mayor Basic Protein (MBP) yang memiliki daya destruksi terhadap epitel mukosa, dan Eosinofil Cationic Protein (ECP) yang menstimulasi kelenjar-kelenjar mukosa, submukosa, dan sel goblet sehingga terjadilah hipersekresi. Kedua, eosinofil teraktifkan berinteraksi dengan epitel mukosa hidung menghasilkan IL8, RANTES (regulated upon activation normal T cell expressed dan secreted) dan GM-CSF (Granulocyte macrophage colony stimulating factor). Ketiga, IL3 bersma IL4 akan mengaktivasi basofil melepas histamine, leukotrien dan siokin-sitokin. Keempat, telah lama diketahui juga sel-sel mononuclear yang berakumulasi akan melepas histamine releasing factor (HRFs) yang mampu memacu mastosit, lebih lagi basofil melepas histamine lebih banyak lagi (Grant dkk,1991).
II. Peran sitokin pada rhinitis alergi
Sejak ditemukan oleh Mosmann dkk (1986) sitokin mendapat perhatian para ahli. Sel TH (CD4) cenderung memproduksi 2 jenis sitokin yang berbeda. Sel TH1 menghasilkan IFN dan IL2. Sel TH2 menghasilkan IL4.IL5,IL9,IL13.
IFN dianggap sebagai prototip sitokin Th1 sedangkan IL4 merupakan prototip sitokin Th2 karena disamping berpengaruh penting pada sel-sel lain, kedua sitokin tersebut dapat meningkatkan diferensiasi sel Th0 menjadi efektor Th1 dan Th2 (33).
IL4 pada manusia merupakan glokoprotein yang diproduksi oleh sel T, sel mast dan sel basofil. Produksi IL4 cepat dan bersifat transient, dapat dideteksi dalam 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. Efek IL4 yang paling penting adalah perkembangan sel T dan mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan Ig G4 seperti diketahui IG E merupakan pusat untuk terjadinya penyakit atopi (34).
IFN dikenal mempunyai efek antivirus dan diproduksi oleh sel NK, sel Th1 yang teraktifasi dan sel T sitotoksik jika terdapat pemicu. Sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah rekasi silang kompleks reseptor sel T, sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF  dan IL12 serta IFN  sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsang antigen aktifasi sel Th ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikro sitokin yang ada. IFN  dan IL12 terlibat dalam keputusan untuk menjadi fenotipe Th1 sedangkan IL4 mengarah menjadi fenotipe Th2 (35)
IL12 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel dendrite, neutrofil dan makrofag. Sitokin IL12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas seluler yang mengaktifkan asel NK, merupakan mediator esensial utama untuk diferensiasi sel Th0 ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan monosit oleh sl IFN sehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu jalur feed back positif. Gangguan kerja IL12 mengakibatkan tidak ada respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL4,IL10 yang merupakan produk sel TH2 (35).
Selain berpengaruh pada deferensiasi Th0 ke Th1 dilaporkan bahwa IL12 berpengaruh pada eosinofilia yang terinduksi oleh allergen melalui sedikitnya dua mekanisme yaitu eosinofilopoesis di sum-sum tulang dan kemotaksis eosinofil pada jaringan saluran nafas(44).

Patofisiologi Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. Gejala klinik rinitis alergi yaitu adanya keluhan hidung gatal, bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluarnya ingus yang cair. Gejala tersebut timbul akibat kerja mediator-mediator yang dilepaskan ketika terjadi paparan ulangan alergen spesifik pada mukosa hidung penderita yang telah mengalami sensitisasi (Kay, 1987) Patofisiologis rinitis alergi, mulai dari pemaparan pertama alergen pada tubuh hingga timbulnya manifestasi klinik dapat dibagi atas tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor.

2.1.1. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi rinitis alergi dimulai dari terpaparnya tubuh atau mukosa hidung oleh alergen untuk pertama kalinya hingga terbentuknya IgE spesifik dan menempati reseptor-reseptornya pada permukaan sel mast ataupun basofil. Peristiwa ini membutuhkan waktu antara 8 hingga 15 hari. (vonBubnoff) Untuk lebih jelasnya maka pembahasan fase sensitisasi dibagi dalam beberapa tahap seperti berikut ini.
Penangkapan, degradasi dan ekspresi antigen oleh APC
Kulit dan mukosa tubuh acapkali terpapar oleh berbagai antigen asing. Antigen tersebut akan ditangkap dan diproses oleh sel-sel penyaji antigen (antigen presenting cell; APC) seperti sel-sel dendritik, makrofag dan limfosit B. Di antara ketiga jenis sel-sel APC tersebut yang dikatakan sebagai APC profesional adalah sel dendritik (dendritic cell; DC). Sel dendritik menempati epitel kulit dalam fase immatur. Perkiraan jumlah sel tersebut sebesar 1-3% dari jumlah sel-sel epidermal. Namun karena sel-sel tersebut memiliki prosesus (dendrit) maka sel tersebut dapat meliputi 25-30% dari seluruh permukaan kulit. Prosesus tersebut menyebar di antara sel-sel keratinosit. Keadaan yang sama juga terjadi pada mukosa mulut, hidung, saluran nafas lainnya, saluran pencernaan dan saluran genitourinarius. Antigen-antigen asing ditangkap oleh sel-sel dendritik dengan berbagai cara sesuai dengan jenis antigennya. (Lambrecht) Setelah antigen tersebut ditangkap sel dendritik segera melakukan migrasi melalui duktus aferen limfe menuju kelenjar limfe regional untuk bertemu dengan sel-sel limfosit. Sepanjang perjalanannya sel dendritik mengalami proses maturasi.
Di dalam tubuh sel dendritik antigen ditempatkan dalam fagosom. Fagosom yang mengandung antigen tersebut kemudian berfusi dengan lisosom yang mengandung enzim-enzim protease, membentuk fagolisosom. Oleh enzim-enzim protease antigen didegradasi menjadi potongan-potongan pendek peptida (7-14 asam amino). Sementara di dalam retikulum endoplasma dibentuk molekul-molekul major histocompatibility complex (MHC). Oleh karena antigen pada proses sensitisasi rinitis alergi sebagai antigen eksogenous maka MHC yang dibentuk adalah MHC klas II. Molekul-molekul MHC-II tersebut kemudian ditransfer ke dalam kompleks Golgi dan ditempatkan dalam vesikel-vesikel. Vesikel-vesikel yang mengandung molekul-molekul MHC-II tersebut kemudian mengadakan fusi dengan endosome yang mengandung potongan-potongan peptida. Peptida-peptida tersebut kemudian berikatan pada lekukan molekul-molekul MHC-II. Kompleks MHC-II/peptida tersebut kemudian diekspresikan ke permukaan sel dendritik.(Lambrecht, catccmd)

Polarisasi Th0 menjadi Th2
Selama masa perkembangannya masing-masing limfosit T diprogram secara genetik melalui translokasi gen untuk membentuk reseptor terhadap antigen yang disebut T cell-receptor (TcR) dengan suatu keunikannya. Sebagian membentuk TcR yang disertai molekul-molekul CD4, memiliki kemampuan untuk mengenali peptida dari antigen eksogenous yang diekspresikan bersama molekul-molekul MHC-II oleh sel-sel APC. Limfosit T jenis ini disebut limfosit T-CD4+ atau Limfosit T4. Sebagian lagi membentuk TcR yang disertai dengan molekul-molekul CD8, memiliki kemampuan untuk mengenali peptida dari antigen endogenous yang diekspresikan bersama molekul-molekul MHC-I oleh sel-sel berinti. Limfosit T jenis ini disebut limfosit T-CD8+ atau limfosit T8. (Abbas, Lambrecht, catccmd, Kapsenberg) Walaupun di antara kedua jenis limfosit T tersebut saling bekerja sama dalam upaya mengeliminasi antigen, namun sehubungan dengan fase sensitisasi rinitis alergi maka yang paling berperan dan dibahas dalam tulisan ini adalah limfosit T-CD4+.
Seperti yang telah disebutkan di atas, peptida antigen yang diekspresikan bersama dengan molekul MHC-II oleh sel dendritik akan dapat dikenali oleh sel limfosit T-CD4+ naif. Sel-sel limfosit T-CD4+ naif ini sering disebut sebagai sel Th0. Peptida antigen akan berikatan dengan TcR, sementara molekul MHC-II berikatan dengan molekul CD4 yang terdapat pada permukaan sel T-CD4+. Ikatan ini menimbulkan sinyal yang akan mengaktifkan sel Th0. Sel Th yang telah aktif akan memproduksi dan mensekresikan sitokin-sitokin. Berdasarkan jenis sitokin yang disekresikan maka dibedakan dua jenis sel Th aktif yaitu Th1 dan Th2. Th1 memproduksi sitokin-sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), interferon-γ (IFN-γ) dan tumor necrosis factor-β (TNF-β). Sedangkan sel Th2 memproduksi sitokin-sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 dan Il-13. (catccmd) Polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau menjadi sel Th2 dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang paling menentukan adalah genetik. Pada individu atopi, karena pengaruh faktor genetik, sel Th0 cenderung terpolarisasi menjadi sel Th2. Faktor lain yang ikut menentukan di antaranya: dosis dan karakteristik antigen, faktor ajufan, interaksi MHC-TcR, costimulatory molecules, karakteristik sel dendritik, produksi sitokin. (Abbas, Lambrecht, Kapsenberg)
Sitokin Th1 menghambat produksi sitokin Th2, sebaliknya sitokin Th2 menghambat produksi sitokin Th1. Selain berdiferensiasi menjadi sel Th1 atau Th2, sel Th0 juga berdiferensiasi menjadi sel T-memori. Namun profil sitokin sel T-memori ini dapat berubah-ubah. Sel-sel memori Th2 spesifik-antigen akan memproduksi sitokin Th1 bila teraktivasi dalam kehadiran IL-12, suatu protein penginduksi IFN-γ yang ampuh. Akan tetapi bila IL-12 diberikan dalam dosis besar, secara paradoksal akan meningkatkan sintesis IL-4. (Umetsu)

Pembentukan IgE
Telah disebutkan di atas bahwa sel Th2 melepaskan beberapa jenis sitokin yaitu interleukin-4 (IL-4), IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan berikatan dengan reseptornya yang terdapat pada permukaan sel B. Ikatan ini akan menimbulkan sinyal untuk terjadinya mekanisme isotype switching membentuk IgE dalam tubuh sel B (DeFranco et al., 1999). Maka dari itu IL-4 sering disebut sebagai “IgE switch factor”. Ada pendapat yang menyatakan bahwa sel Th2 pada individu atopi mampu memproduksi dan mensekresikan IL-4 dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan individu non-atopi. Kerja IL-4 dapat dihambat oleh interferon-γ (IFN-γ). Substansi ini dihasilkan oleh sel Th1 (Prussin dan Metcalfe, 2003).
Selain sel dendritik, limfosit B (sel-B) juga dapat berperan sebagai APC. Sel-B mengekspresikan sIgM spesifik pada permukaan selnya yang berperan sebagai reseptor antigen/alergen (B-cell receptor; BcR). Berbeda dengan TcR yang mengikat epitop antigen bila diekspresikan bersama-sama dengan molekul MHC oleh APC ataupun sel-sel berinti, BcR dapat secara langsung mengikat epitop antigen. Bila sel-B tersebut mengikat alergen melalui imunoglobulin permukaan tadi maka alergen tersebut akan ditelannya melalui proses endositosis. Alergen tersebut akan diolahnya dan kemudian akan diekspresikan ke permukaan bersama-sama dengan molekul MHC kelas II. Penyajian ini ditujukan untuk sel Th0. Kompleks alergen-MHC II tersebut akan berikatan dengan kompleks TcR-CD4+ yang terdapat pada permukaan sel Th0. Ikatan ini akan mempercepat ekspresi CD40 ligand (CD40L) oleh sel Th0. CD40L akan berikatan dengan reseptornya yaitu CD40 yang terdapat pada permukaan sel-B. Ikatan ini akan menyebabkan diekspresikannya molekul B7 oleh sel-B. Molekul B7 ini akan berikatan dengan molekul CD28 yang ada pada permukaan sel Th0. Ikatan ini akan menginduksi sel Th0 untuk mensekresikan IL-4. Karena IL-4 merupakan profil sitokin sel Th2, maka sekarang sel Th0 dikatakan telah terpolarisasi menjadi sel TH2. Sitokin IL-4 ini akan berikatan dengan reseptor IL-4 (IL-4R) yang terdapat pada permukaan sel-B. Sinyal yang ditimbulkan oleh ikatan ini mencetuskan proses transkripsi pada germline ε, sementara cross-linking CD40/CD40L akan mengaktifkan rekombinasi DNA dengan sasaran regio switch ε. Hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya IgE (Monticelli et al., 1998)
2.1.2.Fase Aktivasi
Fase aktifasi pada rinitis alergi dimulai dari pengikatan alergen spesifik (pada paparan ulang) oleh IgE yang ada pada permukaan sel mast atau basofil hingga dilepaskannya mediator-mediator oleh sel mast ataupun basofil. Pada permukaan sel mast dan basofil terdapat reseptor untuk fragmen Fc IgE dengan afinitas tinggi yang disebut reseptor FcεRI Apabila IgE yang terikat pada reseptor FcεRI tersebut terpapar oleh alergen spesifik, maka alergen tersebut akan diikat oleh dua molekul IgE yang bersebelahan sedemikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk jembatan antara dua molekul IgE. Keadaan ini menimbulkan cross-linking molekul FcεRI. Crosslinking merupakan mekanisme awal dalam proses degranulasi mastosit atau basofil.(16) Cross-linking FcεRI menyebabkan aktifnya suatu protein G yang selanjutnya mengaktifkan enzim phospholipase-C yang terikat pada membran sel mast. Enzim ini mengkatalisis phosphatidyl inositol bisphosphate (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacylglycerol (DAG). IP3 berikatan dengan reseptor pada membran retikulum endoplasma. Ikatan ini menyebabkan terbukanya saluran ion pada membran retikulum endoplasma sehingga ion-ion Ca++ yang terdapat dalam retikulum endoplasma terbebas dan menyebar pada sitoplasma. Ion-ion Ca++ secara langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospholipase-A, berikatan dengan calmodulin dan berikatan dengan DAG. Kompleks calcium-calmodulin mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Enzim ini akan mengubah myosin light chain menjadi myosin light chain phosphate yang menyebabkan terjadinya eksositosis. Kompleks calcium-DAG-phospholipid membran akan mengaktifkan protein-kinase-C, yang mana substansi ini juga akan meningkatkan eksositosis (Abbas et al., 1991). Eksositosis juga disebut degranulasi oleh karena pada peristiwa ini terjadi pengeluaran mediator-mediator kimiawi yang terkandung dalam granula-granula mastosit ataupun basofil.
Phospholipase-A2 yang telah aktif akan mengkatalisis phosphatidyl choline menjadi lyso-PC dan arachidonic acid. Arachidonic acid oleh kerja enzim cyclooxygenase akan diubah menjadi prostaglandin PGD2, sementara oleh enzim 5-Lipoxygenase akan diubah menjadi leukotrin LTC4. Baik PGD2 maupun LTC4 akan disekresikan oleh mastosit. Hal ini tidak dibahas secara rinci dalam tulisan ini.
Kejadian lain juga terjadi dalam fase aktifasi. Cross-linking FcεRI akan mengaktifkan enzim adenylate cyclase melalui protein G yang lain. Selanjutnya oleh kerja enzim adenylate cyclase menyebabkan peningkatkan kadar cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang akan mengaktifkan protein-kinase-A. Protein-kinase-A menghambat degranulasi. Jadi jalur ini merupakan jalur negative feedback (Abbas et al., 1991).
Telah diketahui bahwa sel mast juga memproduksi IL-4 sebagai respon terhadap cross-linking IgE yang terikat pada reseptor FcεRI sel mast. Dengan demikian paparan alergen dan kemudian aktivasi sel mast yang diperantarai IgE dapat memicu sirkulus positive-feedback yang menyebabkan peningkatan sekresi IL-4 serta peningkatan sintesis IgE (Abbas et al., 1991).

2.1.1 Fase Efektor
Mediator-mediator kimiawi yang dilepaskan baik secara eksositosis (degranulasi) maupun melalui sekresi oleh sel-sel mast maupun basofil akan berikatan pada reseptor-reseptornya yang terdapat pada ujung-ujung saraf sensorik, dinding-dinding vaskuler serta kelenjar-kelenjar di sekitarnya. Sebagian dari mediator-mediator tersebut berperan sebagai faktor kemotaktik yang menarik sel-sel radang ke daerah tersebut.Hasil akhir dari proses ini adalah manifestasi gejala klinik berupa hidung gatal, bersin-bersin, rinorea dan obstruksi hidung (Abbas et al., 1991).

III. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik (ITS) adalah pemberian penyuntikan alaergen spesifik kepada subjek alergi dengan dosis meningkat bertahap dan interval waktu penyuntikan bertahap diperpanjang dengan tujuan menghilangkan gejala yang selalu timbul apabila berkontak dengan allergen spesifik tertentu. (Bousquet dkk,1998)
ITS pertama-tama diperkenalkan oleh Noon dan Freeman pada than 1911. Selama 80 tahun ITS digunakan untuk mengobati penderita penyakit alergi yang disebabkan allergen hirup dan Hymenoptera venom (Bousquet dkk,1998)
Cara pemberian ITS subkutan merupakan cara yang lazim. ITS suntikan ada beberapa cara yaitu cara lambat (konvensional), cepat (rush methode) cluster (mirip rush methode) dan modifikasinya. Jadwal penyuntikan terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial (eskalasi) dosis vaksin allergen diberikan secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal dengan interval waktu dua kali seminggu atau satu kali seminggu. Fase maintenance (pemeliharaan) dosis vaksin yang maksimal dipertahankan dengan interval waktu dua minggu sampai satu bulan sekali. Begitu ITS dimulai, pasien harus datang secara berkala untuk mendapatkan suntikan dan dimonitor. Jika sudah tercapai perbaikan klinis maka menurut kesepakatan para ahli alergi, ITS harus dilanjutkan dengan dosis terapi selama 3-5 tahun untuk mendapatkan efek yang bertahan lama.
Efek imunologis ITS terlihat dengan ditemukannya peningkatan Ig G bloking antibody , penurunan Ig E, berkurangnya sel eosinofil mukosa dan penglepasan mediator. Pada ITS dapat terjadi penurunan produksi IL 4 dan IL 5 oleh sel Th 2 juga terjadi pergeseran ke arah produksi IFN γ . Pada dosis eskalasi ITS terjadi kenaikan rasio IL4/IFN γ yang kemudian turun setelah mendapat dosis terapi. Rasio tersebut hanya terlihat pada allergen spesifik yang diberikan selama ITS, sedangkan pada allergen yang tidak diberikan ITS, rasio tersebut tidak berkurang.
Selama dosis eskalasi terdapat peningkatan bertahap pada antibody Ig G1 dan Ig G4 . (25,27,29,30,36) Walaupun peningkatan Ig G1 predominan lebih dahulu daripada Ig G4, setelah dosis optimal imunoterapi tercapai. Peningkatan Ig G4 sementara juga berhubungan dengan perbaikan gejala klinis, diukur dengan skor gejala klinis (64) Seiring dengan tidak dilanjutkannya imunoterapi, Ig G4 juga menurun (67)
Selama 2-3 bulan pertama imunoterapi , Ig E meningkat diatas level pretreatment, biasanya 2 kali lipat. Lalu setelah 18-24 bulan kemudian level Ig E menurun dibawah level pretreatment (19,41,42,69). Tidak seperti Ig G blocking antibody, penurunan Ig E tidak parallel dan tidak berhubungan dengan perbaikan gejala klinis. Penurunan Ig E berlawanan denga peningkatan Ig G b
locking antibody (Zhikang Peng , MD, 1992)

DEFINISI
1. POLIP HIDUNG
Polip hidung merupakan massa yang lunak, bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung 1. Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang berisi banyak cairan interseluler dan kemudian terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip hidung biasanya tumbuh pada daerah konka inferior, konka media, septum dan dapat juga daerah sinus paranasal dan seringkali bilateral 3.
Secara mikroskopis tampak submukosa hipertrofi dan sembab. Sel tidak bertambah banyak dan terutama terdiri dari sel eosinofil, limfosit, dan sel plasma sedangkan letaknya berjauhan dipisahkan oleh cairan interseluler. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip ini dilapisi oleh epitel berlapis semu 1.
2. RINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah penyakit hipersensitif yang diperantarai oleh IgE dari membran mukosa hidung yang ditandai dengan rasa gatal, bersin, beringus encer dan hidung tersumbat. Berdasarkan waktu berlangsungnya rinitis alergi dibedakan dalam dua macam yaitu rinitis alergi sepanjang tahun ( perenial ) dan rinitis alergi musiman 1,5,6.

ANATOMI HIDUNG
Hidung dibagi menjadi dua bagian 3,7:
6. Bagian luar (nasalis eksternus)
Bagian yang tampak dari luar dan berbentuk seperti piramid.
7. Bagian dalam (nasalis internus)
Nasalis internus atau kavum nasi dibagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh septum nasi.
Beberapa struktur di dalam kavum nasi yang perlu diketahui yaitu :
a. Konka
Di dalam ruang hidung terdapat tiga konka yang mempunyai fungsi aerodinamik yaitu konka atas, tengah dan bawah. Dari ketiga konka ini yang terpenting adalah konka bawah karena mempunyai membran mukosa tebal yang bersilia dan mengandung pleksus venosus yang merupakan jaringan kaverne yang erektil.
b. Vaskularisasi rongga hidung
Vaskularisasi dari rongga hidung berasal dari tiga sumber yang merupakan cabang-cabang arteri karotis interna dan eksterna.
Pembuluh-pembuluh darah untuk kavum nasi adalah sebagai berikut :
• Arteri ethmoidalis anterior, arteri ini adalah cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna
• Arteri ethmoidalis posterior sebagai cabang dari aretri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna
• Arteri sfenopalatina (cabang terminal dari arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna) bercabang menjadi arteri septalis posterior dan arteri nasalis lateralis posterior.
Pembagian dari daerah vaskularisasi adalah sebagai berikut :
• Daerah antero-superior septum nasi dan dinding lateral rongga hidung mendapat aliran darah dari arteri ethmoidalis anterior.
• Daerah postero-superior merupakan bagian kecil dari septum nasi mendapat aliran darah dari arteri ethmoidalis posterior.
• Daerah lateral rongga hidung mendapat aliran darah dari arteri nasalis lateralis poaterior.
• Daerah septum nasi mendapat aliran darah terutama dari arteri nasalis lateralis posterior yang menyebar ke seluruh septum.
• Pada daerah antero-inferior septum nasi terdapat anastomose atau anyaman pembuluh darah kapiler yang membentuk “pleksus Kieselbach” yang terdiri dari cabang labio-superior dari arteri nasalis posterior septi yang mengalir ke septum nasi dan dengan arteri palatina mayor.
c. Persarafan mukosa kavum nasi
• Impuls afferen
Impuls afferen yang datang dari mukosa disalurkan melalui serabut sensorik ke pusat susunan saraf. Sensasi ini akan menyebabkan bersin-bersin, kenaikan sekresi dan perubahan-perubahan di dalam aliran maupun volume darah.
Impuls afferen ini disalurkan melalui:
 serabut-serabut otonom yang berupa serabut sekretomotor dan vasomotor
 serabut vasomotor berupa serabut simpatis dan parasimpatis
 serabut sekretomotor berupa serabut parasimpatis
• Pleksus olfaktorius
Terletak di bagian atas dari septum nasi dan dinding lateral kavum nasi, dibentuk oleh 20 atau lebih rami nervi olfaktorii yang menembus lamina cribriformis dan bulbus olfaktorius.

ETIOLOGI POLIP HIDUNG
1. Faktor Alergi
Etiologi polip hidung menurut sebagian besar peneliti terutama disebabkan oleh alergi yang dibuktikan dengan ditemukannya penimbunan eosinofil dalam jumlah besar dari jaringan polip atau dalam sekret hidung. Polip hidung yang disebabkan oleh alergi seringkali dialami penderita asma dan rinitis alergi 2.
2. Faktor Infeksi
Infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu penyebab dari polip hidung. Pada polip hidung yang disebabkan oleh infeksi ditemukan infiltrasi sel-sel neutrofil, sedangkan sel eosinofil tidak ditemukan. Adanya sekret hidung yang mukoid sampai purulen dan tidak terpengaruh oleh pemberian kortikosteroid 2.

3. Faktor Deviasi Septum
Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip hidung 8. Septum deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan penyempitan pada salah satu sisi hidung sehingga mengganggu fungsi hidung 1.

PATOGENESIS RINITIS ALERGI
Rinitis alergi merupakan suatu reaksi meditor Ig-E hipersensitif tipe -1 dari membran mukosa hidung 9. Interaksi yang terjadi antara alergen dengan IgE segera mensekresi mediator-meditor aktif yang akhirnya menimbulkan manifestasi klinis dari reaksi hipersensitif tipe cepat. Rinitis alergi diduga melibatkan antibodi reagenik, basofil, sel mast dan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis 3. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan mengadakan reaksi Ag-Ab, yaitu berikatan dengan paling sedikit dua molekul IgE pada permukaan mastosit. Ikatan alergen-IgE pada permukaan mastosit mengakibatkan terjadinya hambatan produksi AMP-siklik, sehingga menyebabkan penurunan kadar AMP-siklik yang kemudian menghasilkan peningkatan perakitan mikrotubulus. Dengan adanya influks ion Kalsium dan ATP sebagai sumber tenaga maka terjadi pelepasan mediator-mediator. Perubahan yang disebabkan mediator-mediator di atas dapat terjadi dalam hitungan menit dan disebut reaksi cepat. Sedang respon lambat yang muncul pada saat 6-12 jam setelah terpapar alergen tergantung dosis alergen serta sensitifitas individu terhadap alergen. Pada respon lambat gejala-gejala yang mungkin dijumpai adalah sumbatan nasal, penciuman berkurang atau hilang serta hiper-reaktifitas nasal 6,7.

PATOGENESIS POLIP HIDUNG
Polip hidung adalah bukan tumor yang sebenarnya, tetapi akibat reaksi peradangan yang menimbulkan adanya cairan serous di celah-celah jaringan, tertimbun dan menimbulkan edema, selanjutnya terbentuk tangkai dari mukosa dan submukosa 10.
Pada keadaan alergi dan infeksi akan terjadi rangsangan atau denervasi dari ujung-ujung saraf kolinergik dan adrenergik. Rangsangan ini akan menyebabkan terbentuknya asetil kolin dan adrenergik, sehingga terjadi vasokonstriksi dan meningkatya permeabilitas pembuluh darah kapiler. Akibat dari kejadian ini terjadi transudasi cairan ke dalam jaringan yang menimbulkan edema 11. Rangsangan-rangsangan yang cukup lama akan menyebabkan proses ini berlanjut. Keadaan alergi juga menyebabkan dilepaskan histamin dalam jumlah besar sebagai akibat terjadinya degranulasi dari sel mast 12. Pengaruh histamin adalah terhadap sistem vaskuler dan kelenjar mukosa hidung, dimana akan terjadi peningkatan permeabilitas dan hipersekresi. Selain itu histamin juga merangsang reseptor sensoris dan ini mengakibatkan terbentuknya asetil kolin dan adrenalin yang mempengaruhi pembuluh darah kapiler, yaitu meningkatnya permeabilitas sehingga terjadi transudasi cairan ke dalam jaringan dan terbentuknya edema 11.
Pendapat lain mengatakan polip hidung terjadi akibat rinitis alergi yang berulang dan lama, sehingga timbul edema mukosa yang makin lama makin berat. Kemudian karena pengaruh gaya gravitasi, akumulasi cairan edema ini menyebabkan prolaps mukosa. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya tangkai polip. Polip hidung sering terbentuk pada permukaan konka media, sekitar ostea, hiatus semiluner, infundibulum di dalam mukosa sinus ethmoid dan sinus maksila yang tumbuh keluar mengisi rongga hidung 13.
Menurut Ogawa dari hasil penelitiannya pada penderita polip hidung disertai deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga hidung dengan septum yang cekung. Deviasi septum hidung akan menyebabkan aliran udara pada bagian rongga hidung dengan septum yang cekung, akan lebih cepat dari bagian cembung di rongga hidung sisi lain. Percepatan ini terjadi pada rongga hidung bagian atas dan menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini merupakan rangsangan bagi mukosa hidung sehingga meradang dan terjadi edema 8.
Semua kejadian di atas akan saling memperkuat sehingga pada akhirnya akan terbentuk polip 8.

RINITIS ALERGI SEBAGAI FAKTOR RESIKO POLIP HIDUNG
Peranan mekanisme alergi dalam perkembangan polip hidung diduga karena adanya degranulasi sel mast di mukosa hidung akibat dilepaskannya histamin yang akan menaikkan permeabilitas vaskuler, menimbulkan ekstravasasi plasma dan edema 4. Dasar-dasar untuk mengetahui rinitis alergi sebagai faktor resiko terjadinya polip hidung tersebut yaitu:


1. Anamnesis
Prinsip anamnesa disini akan mencari keterangan apakah penderita polip hidung ini mempunyai riwayat alergi. Anamnesa disini meliputi:
- Umur penderita
- Permulaan/lamanya timbul
- Adanya manifestasi alergi lain
- Berapa kali polip ini timbul
- Riwayat keluarga yang menderita penyakit alergi
Menurut Delaney polip hidung ini jarang ditemukan pada anak-anak. Polip hidung pada anak-anak yang disebabkan alergi, biasanya terdapat bersama-sama dengan kistik fibrosis dan asma 4. Riwayat polip yang berulang-ulang, seringkali oleh karena rinitis alergi sebagai faktor yang mendasari timbulnya kembali polip hidung.
2. Pemeriksaan fisik
Disini adanya polip hidung bilateral, multipel terdapat pada atap rongga hidung, biasanya berasal sinus ethmoid, sering kali predileksi ini terjadi akibat adanya rinitis alergi dan biasanya kambuh-kambuh. Polip hidung dimana pada pemeriksaan ditemukan mukosa hidung yang pucat, basah dengan sekret yang encer, membrana basalis yang menebal serta pada pemeriksaan sitologi ditemukan banyak sel esinofil, menunjukkan bahwa rinitia alergi sebagai faktor penyokong timbulnya polip hidung. Sebaliknya pada penderita polip hidung dimana ditemukan adanya mukosa hidung yang berwarna kemerahan, sekret yang kental/purulen, banyak sel limfosit, sel PMN lakosit tanpa penebalan tunika propria membrana basalis mengingatkan bahwa penyebab primernya adalah infeksi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang ini sangat diperlukan untuk mengetahui faktor yang mendasari terbentuknya polip hidung. Pemeriksaan laboratorium. X-foto sinus paranasal, pemeriksaan histologi, biokimia, histokimia adalah alat pembantu diagnosa yang dapat memberikan gambaran dengan pasti, apakah rinitis alergi merupakan faktor resiko terjadinya polip hidung. Pada polip hidung ditemukan IgE yang terdapat dalam jaringan polip lebih besar daripada yang ditemukan pada mukosa hidung yang normal, hal ini sesuai dengan penderita rinitis alergi 4. Selain itu ditemukannya histamin dalam konsentrasi yang tinggi pada jaringan polip dibanding mukosa hidung yang normal 2. Hasil ini sama seperti yang ditemukan pada penderita rinitis alergi. Ditemukannya sel mast yang banyak pada penderita polip hidung menggambarkan kemungkinan rinitis alergi sebagai faktor yang mendasari terbentuknya polip hidung, karena ini sesuai seperti yang biasa ditemukan pada penderita rinitis alergi 2.

SINUSITIS : KONSEP DAN PENANGANAN TERKINI

A. Daniel Pinheiro, George W.Facer, Eugene B. Kern

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada mukosa sinus. Inflamasi yang paling banyak ditemukan pada sinus paranasal dan hidung adalah common cold. Berbagai aspek mengenai sinusitis bakterialis akut, subakut dan kronik didiskusikan pada bab ini, termasuk faktor predisposisi, diagnosis diferensial, penanganan medis dan komplikasi.
Sinusitis adalah keluhan kesehatan yang paling sering di Amerika Serikat. Mengenai hampir 31 juta orang setiap tahunnya. Warga Amerika membelanjakan hampir 150 juta dollar pada tahun 1989 untuk menebus resep yang diberikan oleh dokter untuk mengobati sinusitis. Sinusitis akut jarang terbatas pada satu sinus sebab terdapat konsep bahwa penyakit sinus yang melibatkan sinus maksilaris dikarenakan keterlibatan osteomeatal kompleks.Diagnosis sinusitis akut biasanya tidak begitu sulit; tetapi diagnosis sinusitis kronik lebih menantang karena ada kondisi yang menutupi gejala. Dokter keluarga, dokter anak, ahli alergi dan dokter THT harus lebih waspada pada kemungkinan adanya sinusitis terutama pada anak. Dengan perkembangan CT-Scan dan endoskopi hidung, pengertian tentang diagnosis sinusitis meningkat dengan pesat.
Tujuan pada bab ini untuk menampilkan ringkasan dan pandangan terkini mengenai diagnosis dan penanganan sinusitis.
ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS
Fungsi utama dari empat pasang sinus paranasal belum begitu diketahui. Ada pendapat fungsi pernafasan sinonasal, pernafasan naso maksilaris, telah didemonstrasikan oleh Cottle. Fungsi sinus termasuk mengurangi tekanan intranasal yang meningkat secara mendadak, resonansi suara, berpartisipasi pada penciuman, dan humidifikasi udara inspirasi dan meringankan berat kepala. Sinus maksilaris dan etmoid sudah ada sejak lahir, sedangkan sinus sphenoid dan frontalis muncul pada tahun kedua dan ketiga kehidupan. Perkembangan sempurna sinus biasanya pada usia 18 tahun.
Sinus frontalis bervariasi pada ukuran dan bentuk. Aliran duktus nasofrontal melalui resesus frontoetmoid yang berlokasi pada meatus medius. Sepuluh persen dari 12 persen orang dewasa menunjukkan sebuah sinus frontalis yang rudimenter atau berkurangnya pneumatisasi tulang frontalis.
Sinus etmoid adalah sinus yang paling berkembang pada saat lahir. Ruangan-ruangan pada dinding medial orbita pada orang dewasa sangat bervariasi pada jumlah dan ukuran. Sinus etmoid dipisahkan dari orbita oleh selapis tulang tipis, disebut lamina papyrasea; sehingga infeksi yang menghancurkan tulang tipis ini, mengakibatkan komplikasi ke orbita. Sel-sel etmoid anterior dan medial mengalir menuju meatus medius, sedangkan etmoid posterior mengalir menuju meatus superior. Diameter ostia sinus etmoid sekitar 1 sampai 2 mm.
Sinus maksilaris biasanya sudah ada pada saat lahir. Perkembangan sempurna sinus maksilaris membentuk sebuah pyramid. Ostiumnya pada meatus medius. Diameter sekitar 2,5 mm dengan potongan melintang sekitar 5 sampai 6 mm2 . Kadang-kadang satu atau lebih ostia tambahan berlokasi di meatus media anterior. Ostia tambahan, jika ada, berlokasi di infundibulum atau daerah membrane dinding sinus medial.
Sinus sphenoid mulai berkembang pada tahun kedua atau ketiga kehidupan dan biasanya berkembang sempurna pada usia 17 – 18 tahun. Aliran sinus sphenoid menuju resesus sphenoethmoid.
Anatomi meatus medius sangat penting untuk memahami konsep sinusitis. Sekarang diketahui bahwa sinusitis maksilaris adalah kasus kedua tersering pada penyakit di daerah osteomeatal kompleks. Penebalan mukosa dan sumbatan pada daerah ini dapat menghasilkan gangguan yang berarti pada fisiologi sinus, yang dapat menyebabkan perkembangan penyakit dan gejala yang berarti.
(Gambar 33-1)
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit sinus berhubungan dengan 3 faktor yaitu : patensi dari ostia, fungsi dari silia, dan kualitas dari sekresi nasal (Tabel 33-1). Gangguan salah satu dari faktor-faktor ini, sendiri atau kombinasi, merubah fisiologi dan menyebabkan sinusitis.

Tabel 33-1 Patofisiologi penyakit sinus
Patensi ostium Fungsi silia Mukus
Edema Penurunan frekuensi beat silia Perubahan kuantitas
Alergen siliotoksin (viral/bakterial) Alergen
Infeksi (viral/bakterial) udara dingin Iritan/polutan udara
Polip Hilangnya koordinasi metakronos metaplasia sel goblet
Atopi jaringan parut, sinekia Perubahan kualitas
Kistik fibrosis Hilangnya sel silia transport air elektrolit abn
Infeksi kronik iritan/polutan udara dehidrasi
Faktor struktural Peningkatan airflow nasal kistik fibrosis
Septum deviasi
Sel Haller
Konka bulosa
Instrumentasi
Tampon hidung
NGT

Hilangnya patensi ostium sinus mencegah drainase sinus yang adekuat. Kenyataannya, sekarang telah diketahui bahwa aliran mukus yang diberikan oleh ciliary clearance menuju ke ostium natural, obstruksi ostium dapat menghasilkan akumulasi cairan di dalam sinus walaupun telah dibuat saluran pada posisi sinus (misalnya inferior meatal nasoantral window). Biasanya pada sinus maksilaris, mukus dialirkan melawan grafitasi menuju ostium natural. Faktor-faktor yang menyebabkan obstruksi ostia akan menyebabkan penyakit sinus. Obstruksi ostia dapat menyebabkan edema, polip nasi, dan faktor struktural lain seperti konka bulosa prominen, adanya sel Haller, septum deviasi, dan sinekia pos operatif. Polip nasi (pada atopi atau kistik fibrosis) dan edema yang disebabkan oleh allergen atau infeksi (viral atau bakterial) akan menyebabkan obstruksi ostia. Sekali ostium tersumbat, hipoksia lokal akan berkembang di dalam ruang sinus. Hipooksigenasi dan obstruksi ostium menyebabkan akumulasi sekret didalam sinus, sehingga menyebabkan media kultur yang ideal untuk bakteri (Gambar 33-2).
Silia membutuhkan medium cairan untuk berfungsi secara normal; sehingga sekresi sinus dan hidung sangat penting untuk fungsi normal. Lingkungan silia normal terdiri dari dua lapis mukus; lapisan gel viscid superficial dan lapisan serous atau sol dibawahnya.Seperti pada semua saluran nafas atas, mukus hidung dihasilkan oleh sel goblet yang ada di sel kolumner bersilia pada epitel hidung dan oleh kelenjar submukosa yang menghasilkan mukus. Perubahan pada komposisi mukus (penurunan elastisitas dan atau peningkatan viskositas) akan mempengaruhi efektifitas silia dalam membersihkan mukus intranasal atau intrasinus. Ruangan sinus dipercaya hampir steril pada orang normal.Pengumpulan cairan dan bakteri dapat menyebabkan penyakit. Komposisi mukus dapat menyebabkan perubahan pada transport cairan dan elektrolit, seperti pada dehidrasi berat dan kistik fibrosis. Faktor penting lain yang meningkatkan produksi mukus, disebabkan oleh iritasi jalan nafas atau polutan atau dipicu oleh allergen atau paparan udara dingin. Jika angka produksi mukus melebihi angka bersihan, mukus akan terakumulasi dan menyediakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman.






Gambar 33-2. Sumbatan ostium sinus menghasilkan hipoksia, disfungsi silia dan retensi sekresi.

O2


Vasodilatasi Disfungsi silia Disfungsi kelenjar mukus


Transudasi Stagnasi Cairan kental


Sekresi tebal tertahan


Gangguan fungsi silia juga akan menyebabkan akumulasi cairan dan bakteri di dalam sinus. Bersihan silia yang tidak efektif dapat memperlambat gerakan silia, dengan hilangnya koordinasi metakronos diantara silia, atau oleh hilangnya sel silia dari epitel hidung. Lambatnya gerakan silia dapat disebabkan oleh berbagai macam hal termasuk udara dingin, siliotoksin viral dan bakterial, sitokin dan mediator inflamasi lain. Gangguan bersihan silia dapat kongenital pada kasus diskinesia silier primer ( Contoh Sindroma Kartagener). Bersihan mukus normal tergantung pada aktifitas koordinasi seluruh populasi silia. Gangguan aktifitas metakronos sel silia menghasilkan gangguan bersihan. Pita fibrosa atau jaringan parut pada epitel hidung dapat mencegah gerakan efektif mukus blanket sepanjang epitel hidung. Akhirnya, hilangnya sel silia dapat disebabkan oleh perlukaan pada epitel hidung karena iritan jalan nafas atau polutan, operasi (penipisan mukosa, jaringan parut), penyakit kronik, kematian sel yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Aliran abnormal intranasal juga menyebabkan hilangnya sel silia dari epitel hidung.
Penelitian eksperimental sinusitis pada binatang menunjukkan bahwa pada sinusitis akut terjadi gangguan pada morfologi ultrastruktur sel silia. Respon inflamasi awal mempunyai ciri predominansi lekosit pada jaringan. Respon dari mediator yang bekerjasama dengan lekosit , metaplasia skuamosa dan fibrosis serta involusi kelenjar mengikuti awal fase akut. Gangguan pada bersihan silia mukus dan bakteria, obstruksi ostium, dan gangguan rheologi pada mukus menyebabkan timbulnya infeksi. Semua faktor ini mengganggu homeostasis sinus normal dan menyebabkan penyakit sinus.
PENYEBAB LOKAL, REGIONAL, DAN SISTEMIK SINUSITIS
Predisposisi lokal menyebabkan invasi bakteri sekunder ke dalam sinus berhubungan dengan gangguan fungsi transport mukosilia. Inspirasi dari udara dingin atau kering dapat menyebabkan gangguan fungsi transport mukosilia dan menyebabkan infeksi sinus. Obat-obatan juga dapat mengganggu transport mukosilia.
Penyebab utama regional dari sinusitis supuratif adalah infeksi gigi apikal. Penyebab lokal, seperti trauma wajah atau hidung, yang dapat mengubah anatomi osteomeatal kompleks. Obstruksi mekanik sekunder karena kelainan septum , atresia koana yang menggangu drainase hidung, dapat menjadi faktor predisposisi. Edema sekunder pada infeksi saluran nafas atas dapat menyumbat ostium sinus, dan bakteri dapat masuk ke dalam sinus menghasilkan sinusitis supuratif. Barotrauma (perubahan tekanan) selama perjalanan udara atau berenang dan menyelam dapat menghasilkan edema pada ostium sinus. Berenang pada air yang terkontaminasi dapat menyebabkan bakteri di hidung dan sinus memproduksi sinusitis supuratif. Polip hidung, benda asing atau tampon hidung dapat mengganggu ventilasi sinus dan menyebabkan sinusitis. Tumor hidung juga bisa sebagai faktor predisposisi pada sinusitis bakterial. Sindrom silia imotil atau diskinesia silier, sebuah kelainan kongenital yang melibatkan disorientasi silia dan abnormalitas lengan dna, dapat mengakibatkan sinusitis dan bronchitis karena hilangnya bersihan mukosilia.
Faktor predisposisi Sinusitis
Faktor predisposisi sistemik pada rinosinusitis adalah debilitas, malnutrisi, penggunaan steroid jangka lama, diabetes tak terkontrol, diskrasia darah, kemoterapi, dan faktor lain yang berperan pada gangguan metabolik. Untuk alasan ini, nosokomial sinusitis dapat muncul pada pasien yang dirawat di ICU. Pasien sakit mempunyai beberapa faktor resiko yang menjadi faktor predisposisi penyakit sinus. Penyebab regional dari obstruksi disebabkan oleh tube nasotrakeal atau tube nasogastrik, muncul sebagai faktor predisposisi infeksi sinus. Hipermetabolisme, debilisasi, disfungsi multi organ, dan kolonisasi bakteri gram negatif di saluran cerna atas dan saluran nafas juga sebagai faktor predisposisi. Pada lingkungan ICU, terdapat kemungkinan progresifitas penyakit sinus yang dimulai dengan akumulasi cairan pada sinus, diikuti oleh kolonisasi bakteri pada saluran nafas atas termasuk sinus, potensial menjadi sinusitis. Pada kondisi ini, sinusitis mungkin merefleksikan infeksi yang sedang berjalan di lain tempat. Jika tidak ada gambaran radiologik atau bukti klinik yang menunjang sepsis intrakranial, sepertinya sinusitis berperan sebagai penyebab utama atau tunggal dari sepsis pada pasien gawat.
Sinusitis juga dapat sebagai manifestasi penyakit defisiensi imun seperti defisiensi IgG. Defisiensi dapat berperan pada seluruh kasus infeksi sinus rekuren. Sinusitis juga dapat muncul sebagai manifestasi infeksi HIV. Dilaporkan bahwa sekurangnya 80% dari pasien AIDS mempunyai gejala sinusitis. Pasien-pasien ini dapat menderita rinosinusitis awal karena lambatnya transport mukosilia. Pada pasien yang terinfeksi HIV tanpa gejala AIDS, organisme yang sama dapat menyebabkan penyakit. Pseudomonas, memegang peranan penting sebagai penyebab penyakit. Seiring dengan progresifitas penyakit, organisme yang terlibat dalam sinusitis seringkali sebagai penyebab penyakit dilain tempat pada penderita imunokompromis: Microsporidium, Cytomegalovirus, Aspergillus, Histoplasma, Cryptococcus, dan mycobakteria atipik. Limfoma Non Hodgkin seperti sinusitis pada pasien HIV sebagai diagnosis diferensial dari populasi pasien sinusitis kronik.
Pasien yang sedang menjalani transplantasi sumsum tulang sebagai contoh pasien imunokompromis yang sering terkena infeksi sinus. Pada pasien ini sinusitis karena Aspergillus dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
KLASIFIKASI SINUSITIS
Klasifikasi sinusitis harus dilakukan menggunakan 5 aksis : (i) tampilan klinik (akut, subakut, kronik), (ii) letak anatomis (etmoid, maksila, frontal, sphenoid), (iii) organisme yang bertanggungjawab (viral, bakterial, fungal), (iv) keterlibatan ekstrasinus (berkomplikasi atau tidak berkomplikasi) dan (v) faktor modifying atau faktor aggravating (atopi, imunosupresi, obstruksi ostiomeatal). Contoh : kronik (i), frontal (ii), bakterial (iii), sinusitis komplikasi osteomielitis tulang frontal (iv) dan diaggravasi oleh imunosupresi karena diabetes mellitus (v). Penanganan medik dan bedah dari penyakit sinus tergantung pada pengetahuan yang akurat mengenai faktor-faktor ini.
Secara klinik, sinusitis akut adalah proses di dalam sinus yang berlangsung sejak 1 hari sampai 4 minggu. Pengobatan sinusitis akut adalah secara medikal, dan intervensi bedah bila perlu. Drainase pada sinus yang terinfeksi pada fase akut diindikasikan jika terdapat ancaman komplikasi orbital atai intracranial.
Sinusitis subakut adalah infeksi sinus yang berlangsung sejak 4 minggu sampai 3 bulan. Pada sinusitis subakut, proses inflamasi biasanya masih reversibel. Penanganan medik diindikasikan dan penanganan bedah jarang digunakan pada fase subakut selain untuk mengoreksi faktor predisposisi.
Sinusitis kronik adalah istilah yang digunakan jika sinusitis berlangsung lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik adalah hasil dari pengobatan sinusitis akut yang tidak diterapi atau tidak diterapi dengan adekuat. Pada saat ini, keadaan proses inflamasi begitu menghancurkan mekanisme alami drainase sinus sehingga prosesnya menjadi irreversibel tanpa interfensi bedah. Patensi ostia harus diperbaiki secara pembedahan supaya mukopus dapat dibersihkan dan keluar dari sinus. Ventilasi sinus dan drainase harus dilakukan untuk perbaikan gejala sinusitis kronik.
Sinusitis viral seringkali mengikuti rinitis viral. Jarang sekali membutuhkan terapi kecuali pada individu dengan imunosupresi yang menderita infeksi patogen seperti sitomegalovirus. Rinosinusitis viral dapat merusak silia (akibat viral siliotoksin) dan menjadi faktor predisposisi untuk bakterial sinusitis.
Fungal sinusitis dibagi menjadi invasif dan non invasif. Bentuk non invasif termasuk mycetoma (sebuah bola jamur yang berkembang didalam ruang sinus) dan sinusitis fungal alergik. Bentuk invasif termasuk sinusitis fungal fulminan, yang dapat berakibat fatal bagi orang-orang dengan imunokompromis, dan sinusitis fungal indolen, yang dapat mengenai orang-orang imunokompeten dan mempunyai tampilan kronik.
Klasifikasi sinusitis dapat juga berdasarkan komplikasinya, melibatkan proses di orbita atau intrakranial. Faktor modifying yang dapat menjadi faktor predisposisi adalah atopi, imunosupresi, diskinesia silier, obstruksi mekanik dan lain sebagainya.
Sebuah klasifikasi sinusitis yang sempurna penting untuk merencanakan pengobatan. Sinusitis akut dan kronik ditangani secara berbeda. Begitu juga sinusitis frontalis ditangani berbeda dengan sinusitis maksilaris. Sinusitis fungal juga ditangani berbeda dengan sinusitis bakterialis, dan komplikasi infeksi sinus harus ditangani dengan baik.
SINUSITIS FUNGAL ALERGIK
Sinusitis fungal alergik (SFA) adalah bentuk sinusitis kronik dengan karakteristik obstruksi hidung, nyeri sinus, rinorea, dan gejala orbita (biasanya proptosis). Gejala lain termasuk dizzines, anosmia, dan eksaserbasi asma. Buildup mukus pada SFA seringkali menyebabkan erosi tulang dinding sinus dan perluasan ke orbita dan intrakranial telah dilaporkan sebagai karakteristik fungal invasif pada panyakit ini.
Pada waktu lalu, SFA didiagnosis setelah pasien menjalani prosedur bedah berulang kali dengan munculnya gejala sesudah keadaan bebas gejala yang singkat. Pada saat operasi, sebuah mukus yang tebal, kental, coklat kehijauan seperti selai kacang- biasanya ditemukan. Gambaran histopatologik “mukus alergik” mengandung eosinofil, kristal Charcot-Leyden, dan hifa jamur tetapi tidak didalam jaringan ikat (tidak invasif). Karena jamur pada SFA tidak invasif, kultur dari biposi dinding sinus tidak menumbuhkan koloni organisme sinus; kultur dari mukus alergik dari sinus atau cucian hidung dapat lebih menumbuhkan organisme penyebab. Berdasarkan patofisiologi, SFA disebabkan oleh reaksi alergi (Gell dan Coombs tipe I dan tipe III) terhadap koloni jamur di ruang sinus. Reaksi inflamasi tersusun secara predominan oleh eosinofil yang mengeluarkan mediator (seperti MBPdan ECP) yang merusak kemampuan silia untuk membersihkan mukus keluar menuju hidung.Aturan IgG dan aktifasi komplemen pada SFA belum diketahui. Pembentukan polip biasanya berhubungan dengan inflamasi kronik SFA, mempengaruhi bersihan mukus oleh sumbatan mekanik ostia.
Pasien dengan SFA kadang melibatkan unilateral dengan satu atau dua sinus terkena. Pada CT Scanning, terdapat daerah hiperdens pada ruang sinus yang opak. Erosi dari dinding tulang sinus seringkali menutupi gambaran CT Scan, teori terkini menyatakan bahwa erosi tulang ini dapat berasal dari : (a) faktor osteolitik yang dikeluarkan oleh jamur itu sendiri, (b) aktifasi osteoklas yang dimediasi sitokin, dan/atau (c) hasil dari tekanan yang lama pada dinding sinus.
Kriteria diagnostik berikut ini diadaptasi dari Bent dan Kuhn untuk diagnosis SFA: (a) testing atau riwayat positif atopi fungal, (B) nasal poliposis , (c) CT Scan menunjukkan material hiperdens pada rongga sinus dan kemungkinan bukti erosi dinding sinus, (d) mukus alergik dengan gambaran histologik eosinofilik, (e) identifikasi jamur (dengan pewarnaan, kultur, ELISA, atau reaksi rantai polimerase) pada mukus rongga sinus, dan (f) tidak ada bukti histologik invasi jaringan oleh koloni jamur. Karakteristik lain dari penyakit ini adalah eosinofilia perifer, peningkatan total IgE dan IgE alergen spesifik.
Penanganan berupa etmoidektomi dan antrostomi meatus medius dengan ekstirpasi mukus fungal dan polipektomi, diikuti dengan penyemprotan steroid post operasi dan irigasi hidung dengan garam faal. Beberapa orang menganjurkan selama operasi diberikan steroid sistemik untuk semua pasien SFA. Pasien dengan penyakit rekalsitrat membutuhkan etmoidektomi revisi dan kemungkinan nasoantral window meatus inferior untuk irigasi dan membersihkan sinus maksila. Antifungal sistemik tidak bermanfaat dalam menangani SFA sebab jamurnya tidak invasif dan walaupun obat antifungal tersebut dimasukkan ke rongga sinus tidak akan memberikan efek pada koloni jamur di rongga sinus. Pada teori, antifungal dengan spektrum memadai melawan jamur dematiaseus yang terlibat pada SFA dapat memberikan manfaat klinik jika dioleskan intranasal. Sebuah spray topikal antifungal dapat digunakan untuk mengurangi koloni jamur, sehingga tercapai eliminasi atau pengurangan.
Petunjuk masa depan pada penelitian SFA bertujuan mengidentifikasikan antigen penting untuk bermacam jamur yang terlibat pada SFA. Antigen ini dapat digunakan untuk imunoterapi dan untuk perkembangan antibodi sehingga memungkinkan deteksi spesies menggunakan ELISA dan RAST. Di lain pihak, terdapat ikatan silang antara antigen fungal divergen. Hal ini mengimplikasikan bahwa desensitisasi dengan satu set antigen dapat mencakup imunoproteksi melawan seluruh jamur yang terlibat dalam SFA.
Penelitian masa depan berusaha membuktikan bahwa antifungal topikal dapat berperan dalam terapi SFA. Pengaturan imunoterapi harus diteliti lebih jauh dengan percobaan double blind. Agen lain seperti leukotrien dan sitokin antagonis harus dikembangkan dan dicobakan untuk membuktikan kemampuan mereka mengurangi inflamasi dan mengurangi gejala klinik. Sementara itu, steroid sistemik juga dilanjutkan sampai kita menemukan terapi yang sama efektifnya tetapi tanpa potensi efek samping karena penggunaan steroid yang lama.
GEJALA-GEJALA
Gejala-gejala dari sinusitis bakterialis berhubungan dengan lokasi dan waktu (akut, subakut, kronik) sinus yang terlibat. Gejala yang paling umum dari sinusitis supuratif akut adalah nyeri. Dapat berupa nyeri hidung, nyeri wajah atau nyeri kepala. Bagaimanapun banyak pasien dengan nyeri kepala sinus tidak ada kelainan patologi di sinus, penyebab lain dari nyeri wajah harus termasuk dalam diagnosis diferensial, terutama jika pasien kekurangan tanda fisik dari penyakit sinus supuratif.
Pada sinusitis akut, terdapat gejala flu yang termasuk sumbatan hidung dan rinorea. Gejala sistemik yang berhubungan berupa demam, malaise dan letargi. Perbedaan antara gejala sinusitis akut dan kronik tercantum dalam tabel 33-2.
Pada sinusitis akut, nyeri biasa muncul diatas sinus yang terinfeksi, terlokalisir pada masing-masing daerah sinus frontalis, ethmoidalis, atau maksilaris. Nyeri etmoid termasuk nyeri pada bagian medial hidung atau daerah retroorbita. Sinusitis sphenoid dapat muncul pada vertek atau sakit kepala bitemporal.

Tabel 33-2. Perbandingan gejala sinusitis supuratif akut dengan kronik
Gejala Akut Kronik

Nyeri 4+ -
Sumbatan hidung 4+ 2+
Cairan hidung 4+ 2+
Gejala sistemik 4+ -

4+, berat; 2+ sedang; - tidak ada.

Pada sinusitis supuratif akut, biasanya berupa nasal disjad mukopurulen berwarna kuning kehijauan yang dapat mengenai hidung unilateral atau bilateral. Dengan riwayat sebelumnya infeksi saluran nafas bagian atas sebagai faktor predisposisi, kedua sisi dapat terkena dan gejala sistemik biasa terjadi,berupa panas, letargi dan malaise. Pada sinusitis kronik, disjad biasanya mukopurulen dan gejala sumbatan hidung sedang, tanpa nyeri dan gejala sistemik. Pasien biasanya tidak panas dan tidak mengeluh sakit kepala atau nyeri wajah.
Harus diingat bahwa sinusitis supuratif akut dapat tertutupi oleh infeksi sinusitis kronik. Pada sinusitis maksilaris akut, terdapat juga keluhan sakit gigi, obstruksi jalan nafas, dan nasal disjad. Karena lokasi ostium dari sinus maksilaris, etmoidalis dan frontalis dekat meatus medius pada ostiomeatal kompleks, infeksi dapat menyebar dari satu sinus ke sinus lain. Proses inflamasi melibatkan seluruh sinus disebut juga pansinusitis. Pasien yang terkena dapat mempunyai gejala dari semua sinus yang terkena.
Edema periorbital dapat muncul jika sinus etmoid, frontalis, dan maksilaris terkena karena letak sinus tersebut dekat mata. Mata dilingkupi oleh ketiga sinus tersebut; sehingga mata dapat terlibat pada penyakit sinus, terutama karena komplikasi dapat menyebar secara sekunder . Dapat muncul kebutaan pada mata. (Gambar 33-3)
Sinusitis sphenoid dan etmoid dapat menghasilkan nyeri pada oksipital, vertek, atau parietal, hidung dan retroorbita, dan nyeri dapat menyebar ke leher dan pundak.
Penampakan sinusitis akut pada nak-anak berbeda pada dewasa. Anak-anak kurang melaporkan nyeri sinus. Biasanya berupa flu lebih dari 7-10 hari, batuk siang hari dengan eksaserbasi malam hari, disjad hisung mukopurulen, nafas bau dan demam tidak tinggi.
Sinusitis akut supuratif berulang adalah kondisi istimewa dan membutuhkan pemeriksaan yang teliti mengenai faktor predisposisi, termasuk lokal, regional atau sistemik atau kombinasi dari semuanya.


PEMERIKSAAN FISIK
Diagnosis sinusitis dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dan dikonfirmasikan dengan temuan radiologik dan kultur bila diindikasikan. Temuan fisik pada pemeriksaan hidung harus benar-benar dicatat. Rinoskopi anterior dengan transiluminasi yang baik penting untuk mempelajari anatomi dan mukosa. Edema mukosa dan eritema dapat timbul atau keluarnya disjad mukopurulen. Catat daerah disjad, dapat menolong menentukan sinus mana yang terlibat. Sakit pada wajah dan lokasinya harus dicatat. Palpasi dan perkusi pada daerah sinus frontalis, daerah medial orbita (etmoid) dan wajah depan dan sulkus ginggivobukalis (sinus maksilaris). Lihat edema periorbital terutama pada anak-anak , terutama nafas berbau. Nasofaring membutuhkan pemeriksaan yang lebih hati-hati untuk obstruksi adenoid, tumor, atresia koana dan disjad purulen pos nasal. Pemeriksaan menyeluruh telinga, hidung dan tenggorokan harus dilakukan sebab otitis media atau otitis media serosa dapat muncul bersamaan dengan sinusitis.
Transiluminasi dapat dilakukan walaupun pada pengalaman kita hal ini tidak dapat dipercaya. Hanya pada sinus frontalis dan sinus maksilaris yang dapat dilakukan transiluminasi. Penurunan transiluminasi dapat memberikan impresi yang salah pada pemeriksa yang menunjukkan sinus tertutup oleh sekresi atau pus, jika penurunan ini dikarenakan frontal hipoplastik atau sinus maksilaris yang kontraksi.
Penanganan pasien dengan sinusitis lebih jauh menggunakan endoskopi hidung dapat menentukan sinus mana yang terlibat dan faktor lokal yang berhubungan sebagai etiologi dari sinusitis. Endoskopi dapat dilakukan dengan endoskopik fiber optik rigid maupun fleksibel. Pemeriksaan hidung dilakukan sebelum dan sesudah dekongestan topikal (1% Neo Synephrine) untuk memungkinkan pemeriksa mengeavaluasi deformitas septum dan melihat meatus medius dan konka medial dan inferior untuk mengetahui penemuan polip atau tumor. Sesudah dekongestan, topikal anestetik (4% lidokain atau 5% kokaine) dapat digunakan. Pada prakteknya kami menggunakan lidokain 4% dengan penyemprot hidung diikuti endoskopi hidung untuk semua pasien dengan keluhan hidung dan sinus. (Gambar 33-4 sampai 33-7).
Sinuskopi dengan kultur, biopsi atau lavase dapat dilakukan melalui pungsi maksilaris anterior sesudah anestesi lokal infiltrasi (1% lidokain, 2 ml) atau dengan memasukkan endoskop melalui pungsi meatus inferior atau melalui naso antral window.
Ultrasonografi dapat menolong mengikuti resolusi sinusitis supuratif akut disamping radiografi. Penelitian radiografi menolong untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Foto polos sinus sangat menolong pada sinusitis supuratif akut (lebih jauh untuk sinus maksilaris dibanding sinus etmoid); bagaimanapun CT Scan secara dramatik meningkatkan kemampuan klinisi untuk mengevaluasi anatomi dan abnormalitas osteomeatal kompleks sejauh perluasan keterlibatan sinus. Gambaran radiografi pada sinusitis supuratif akut adalah penebalan membran sinus mukosa, air fluid level, atau opasifikasi dari sinus atau sinus-sinus yang terlibat. Polip hidung dapat berhubungan dengan sinusitis, atau diskret polipoid yang terlibat pada sinus, terutama etmoid dan maksilaris. (Gambar 33-8 ampai 33-11). Gambaran radiografi sinus seperti CT Scan menolong untuk mengkonfirmasikan diagnosis sinusitis supuratif akut atau kronik, tetapi informasi utama melalui meraba dan melihat dengan endoskopi hidung (Tabel 33-3).
Tabel 33-3. Diagnosis sinusitis supuratif akut

Gejala-gejala/tanda-tanda
Nyeri hidung atau wajah, sakit kepala, sakit gigi
Obstruksi hidung/edema mukosa
Cairan hidung/nanah di hidung
Demam, lemah,lesu
Edema periorbita
Endoskopi hidung
Nanah di meatus media
Foto rontgen, CT, MRI
Opasifikasi sinus
Air fluid level sinus

MIKROBIOLOGI SINUSITIS
Mikrobiologi dari sinusitis pada dewasa dan anak-anak telah diteliti dalam beberapa tahun .Kultur dari sinus lebih akurat dibandingkan kultur yang diambil dari hidung, nasofaring dan orofaring. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat sedikit hubungan antara kultur yang diambil secara random dari hidung dan nasofaring dan yang diambil dari aspirasi sinus. Material kultur dapat diambil langsung dari sinus oleh pungsi sinus dan lavase melalui eksplorasi bedah.Sebab kultur intra nasal tidak secara adekuat merefleksikan organisme yang terlibat dalam sinus, pemberian antibiotik untuk sinusitis akut biasanya berdasarkan empirik dan penelitian terdahulu. Bukti terkini mengatakan lebih banyak korelasi akurat antara kultur langsung secara endoskopi dari meatus media dan bakteri yang terlibat dalam sinus maksilaris.
Tabel 33-4 Mikrobiologi sinusitis
Dewasa Anak-anak Immunocompromis
Akut (didapat dikomunitas)
Streptococcus pneumoniae S.pneumoniae Organisme biasanya
Haemophilus influenzae H.influenzae Pseudomonas
Moraxella catarrhalis M. Catarrhalis Staphylococcus aureus
Streptokokus lain Streptokokus lain Listeria monocytogenes
Bakteri anaerob Bakteri anaerob Legionella
Peptostreptococcus Peptostreptococcus Cytomegalovirus
Fusobacterium Jamur : aspergillus, Candida,
Bacteroides mucor
Mikobakteria atipik Microsporidia
Cryptococcus
Akut (nosokomial)
Pseudomonas aeruginosa Sama seperti dewasa
Baksil gram (-) enterikus
Escherichia coli, Klebsiella,
Serratia, Proteus,
Enterobacter
S.aureus
Candida
Streptococci
Bakteri anaerob

Sinusitis Kronik
Bakteri anaerob Bakteri anaerob
Alpha streptococci Alpha streptococci
H.influenzae S.aureus
S.aureus Beta streptococci
S.pneumoniae H.influenzae
M. catarrhalis Pseudomonas

Organisme yang biasanya bertanggung jawab untuk sinusitis supuratif akut sama antara dewasa dan anak-anak. (Tabel 33-4). Kebanyakan infeksi disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarralis, sebagaimana spesies streptokokus. Bakteri anaerob biasanya dapat diisolasi dari sinus maksilaris selama infeksi akut.
Sinusitis kronik pada dewasa dan anak-anak biasanya lebih banyak tumbuh bakteri anaerob dibandingkan sinusitis akut. Sebagai tambahan, streptokokus hemolitikus alfa, Staphylococcus aureus dan H. Influenza juga merupakan patogen yang biasa didapatkan. Tipe organisme yang didapatkan dari sinusitis kronik tergantung dari tipe antimikroba yang telah diberikan terlebih dahulu. Sinusitis supuratif kronik sebagai akibat dari penanganan antibiotik sebelumnya.
Pada pasien imunokompromis, termasuk penderita AIDS, punya kemungkinan menderita sinusitis. Mereka terkena organisme yang sama yang menyebabkan penyakit pada individu imunokompeten. Dengan peningkatan level imunosupresi, lebih banyak patogen atipikal yang ditemukan. (Tabel 33-4)
Sinusitis nosokomial lebih sering polimikrobial dan biasanya disebabkan oleh organisme yang banyak terdapat pada institusi tersebut. Tidak biasanya mereka adalah organisme yang sama yang berkoloni pada gastrointestinal atas dan saluran nafas atas pada pasien sakit. Sekali lagi organisme dan antimikrobial merefleksikan pengobatan yang telah diterima oleh pasien terdahulu.
Jika pasien benar-benar sakit, ditemukan gejala sistemik, atau jika pasien menderita nyeri hebat,dapat dilakukan kultur langsung dari sinus yang terlibat. Sebagai tambahan, jika pasien gagal merespon pemberian antibiotik empirik pada sinusitis supuratif,kultur sinus harus dipertimbangkan. Aspirasi sinus dan kultur harus dipertimbangkan pada pasien dengan imunokompromis yang gagal merespon antibiotik spektrum luas yang biasa mengatasi organisme biasa.
PENATALAKSANAAN
Antibiotik adalah kunci penanganan medikal pada sinusitis supuratif akut. Amoksilin adalah sebuah pilihan lini pertama secara empirik dan bertujuan mencakup organisme gram positif dan negatif. Obat ini mencakup H. Influenzae dan M. Catarrhalis kecuali strain yang mempunyai enzim  laktamase. Obat ini juga mencakup S. Pneumoniae (pneumococcus) kecuali strain yang resisten dengan penicillin dengan membentuk ikatan protein penicillin. Berbagai macam strain pneumococcus banyak yang resisten jika di tes secara in vitro, tetapi kuman tersebut masih bisa diterapi dengan amoxcillin karena kadar obat dalam darah melewati konsentrasi minimum yang dapat menghambat organisme secara in vitro. S. Pneumoniae yang resisten masih jarang di Amerika Serikat, tetapi jika jumlahnya meningkat kemungkinan ada problem resistensi, maka hanya vancomycin yang dapat melingkupi isolat yang resisten. Pilihan lain yang mungkin dan tidak mahal sebagai terapi lini pertama adalah kombinasi eritromisin dan sulfonamid (erythromycin-sulfisoxazole untuk anak-anak, erythromycin dan trimethoprim-sulfamethoxazole untuk dewasa) atau cephalexin dan sulfonamid. Antibiotik penicillin sintetik dengan inhibitor  lactamase (misalnya amoxicillin-clavulanate, ampicillin-sulbactam) mempunyai spektrum luas melawan strain penghasil  lactamase seperti H. Influenzae dan M. Catarrhalis, tetapi obat tersebut tidak efektif melawan pneumococcus yang resisten dengan penicillin. Cephalosporin generasi kedua juga mencakup organisme yang memproduksi  lactamase.
Pada individu yang gagal dengan terapi awal atau dengan riwayat episode berulang rekalsitrat terhadap pengobatan amoksilin, antibiotik dengan spektrum luas harus dipilih. Amoksillin-klavulanat adalah pilihan yang rasional. Insiden diare dengan amoksilin klavulanat dapat dikurangi dengan menggunakan dosis dua kali sehari dan dengan meresepkan yogurt selama terapi antibiotik. Pilihan lain adalah clarithromycin dan cephalosporin generasi kedua (misalnya cefpodoxime, loracarbef, cefuroxime, cefprozil). Quinolones (misalnya ciprofloxacin) dapat digunakan untuk mengobati sinusitis pada dewasa. Penggunaan pada anak-anak dan wanita hamil harus hati-hati karena dapat menghambat pertumbuhan tulang.
Antibiotik parenteral harus digunakan pada individu dengan komplikasi infeksi, seperti perluasan sinusitis ke orbita atau intrakranial. Dibutuhkan obat antibiotik yang dapat menembus sawar darah otak. Ceftriaxone adalah pilihan yang baik sebab dapat mencakup semua organisme , mempunyai kemampuan menembus sawar darah otak. Antibiotik parenteral lain lain adalah ampicillin-sulbactam dan agen yang sama. Bakteri anaerob dapat dicakup oleh metronidazol , tidak seperti clindamycin, memiliki penetrasi yang baik ke cairan serebrospinal.
Sinusitis nosokomial harus diterapi dengan antibiotik parenteral pilihan berdasarkan kultur spesifik dan data sensitifitas. Seperti biasa, agen-agen dengan spektrum tersempit harus dipilih untuk mencegah resistensi. Bagaimanapun, sebelum kultur dan sensitifitas data ada, harus diberikan antibiotik terpilih yang dapat mencakup gram negatif dan gram positif termasuk Pseudomonas dan bakteri anaerob. Pilihan yang disetujui adalah metronidazol ditambah dengan ampicillin ditambah ceftazidime atau cefotaxime atau ciprofloksasin. Imipenem dan piperacillin-tazobactam dapat digunakan sebagai agen tunggal pada beberapa kondisi, karena mencakup organisme gram positif, gram negatif dan anaerob. Jika terdapat S.aureus yang resisten methicillin, vancomycin dapat digunakan. Untuk mencegah resistensi terhadap vancomycin, vancomycin harus dihentikan sesegera mungkin sensitifitas menunjukkan bahwa organisme yang dicurigaidapat diberikan antistaphylococcal penicillins (misalnya oxacillin). Pengobatan Pseudomonas biasanya menggunakan dua agen yang bekerja sinergis untuk mencegah resistensi. Jadi, aminoglycoside seperti gentamicin atau tobramycin dapat ditambahkan pada antipseudomonal penicillin (seperti piperacillin) atau antipseudomonal cephalosporin (seperti ceftazidime).
Perbaikan klinik biasanya muncul antara 48 sampai 72 jam sesudah terapi antibiotik. Pasien yang panas pada awalnya dapat menjadi afebris. Disjad yang keluar menurun atau berkurang, batuk juga membaik terutama pada anak-anak.
Terapi antibiotik harus diteruskan minimum selama 7 hari sesudah gejala menghilang. Lama terapi rata-rata minimum 10 hari, dan kadang-kadang sampai 3 minggu atau lebih. Pengobatan yang terlalu singkat dapat menyebabkan relaps, atau penyakit berkembang menjadi sinusitis kronik. Sebagai tambahan untuk menghancurkan organisme yang terlibat, sangat penting untuk mengurangi edema sekitar ostia untuk memfasilitasi drainase dan memungkinkan oksigenasi sinus. Dekongestan topikal dan sistemik bermanfaat dan pengurangan edema ostia memungkinkan drainase dan oksigenase yang lebih baik. Penggunaan dekongestan topikal, drop, atau spray dianjurkan tidak melebihi 3 hari.
Kami tidak menganjurkan penggunaan antihistamin sebab dapat menghasilkan sekresi lebih jauh dan berhubungan dengan efek samping. Antihistamin dipertimbangkan pada pasien yang alergi sebagai faktor predisposisi dan etiologi dari sinusitisnya. Beberapa pasien lebih menguntungkan mendapatkan imunoterapi melawan alergen yang menyebabkan inflamasi kronik mukosa dan edema.
Analgetik penting untuk mengontrol nyeri dan tidak boleh dilupakan. Humidifikasi berguna terutama pada saat tidur, dan dapat menggunakan bentuk uap atau udara dingin. Mukolitik/ekspektoran seperti guaifenesin sangat menolong pada beberapa pasien, terutama jika sekret yang kental sebagai masalah. Irigasi garam faali menolong pada kebanyakan pasien yang terjadi peningkatan sekret nasal. Metode Proetz dapat digunakan untuk drainase, bagaimanapun kami lebih suka dekongestan dan suction nasal sinus sesudah aplikasi mild protein silver (Argyrol) mengandung 50% solusio Argyrol. Terutama berguna 7 hari sesudah infeksi akut. Pack Argyrol tidak nyeri dan efektif untuk mengangkat pus dari sinus dan memungkinkan oksigen memasuki saluran nafas. (Tabel 33-5).
Tabel 33-5. Pengobatan sinusitis akut didapat
Antibiotik
Lini pertama:
Amoxicillin
Erythromycin-sulfisoxazole
Cephalexin + trimethoprim-sulfamethoxazole
Lini kedua :
Amoxicillin + clavulanate
Clarithromycin atau azithromycin
Cephalosporin
Quinolones
Analgetik : acetaminophen + anti inflamasi non steroid
Mukolitik : guaifenesin
Irigasi garam faal
Dekongestan : topikal atau dan sistemik
Argyrol
Bedah


Bagian penting lain dari penanganan medik sinusitis supuratif akut adalah penyuluhan pasien tentang alamiah dari penyakit dan perencanaan penanganan. Pasien harus mengerti bahwa penanganan medik hanya sebagai bagian dari penanganan yang mungkin membutuhkan pembedahan. Pasien harus mengerti bahwa dokter yang bertanggung jawab akan menentukan faktor etiologi termasuk dengan cara radiografi, tes darah, bahkan operasi untuk diagnosis pasti atau operasi untuk memperbaiki faktor predisposisi sinusitis.
PENANGANAN BEDAH
Penanganan bedah dipertimbangkan untuk drainase sinus. Dapat segera dilakukan jika sudah terdapat komplikasi, jika nyeri hebat membutuhkan penanganan segera, atau jika pasien tidak berespon dengan obat-obatan.
Indikasi utama untuk irigasi sinus maksila adalah pus mukopurulen pada pasien imunosupresan atau pada pasien dengan kecurigaan sinusitis maksilaris subakut atau kronik atau sinusitis akut yang gagal dengan antibiotik. Keuntungan utama irigasi sinus maksila adalah mengangkat material mukopurulen pada sinus yang terlibat dan menolong menyediakan ventilasi (oksigenasi) pada sinus. Jika sebuah sinus maksilaris diirigasi, aspirat harus dikultur untuk mengetahui bakteria, jamur, baksil tahan asam, dan bakteri anaerob. Sangat jarang, pemeriksaan sitologik digunakan untuk keganasan pada opasifikasi sinus unilateral yang tidak dapat dijelaskan. Pada kasus ini irigasi sinus dapat sebagai terapi juga menolong menegakkan diagnosis.
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat muncul pada pasien dengan sinusitis akut, subakut atau kronik. Untungnya, angka komplikasi jarang, walaupun insidensi pasti belum ada. Komplikasi biasanya berhubungan dengan lokasi sinus yang terlibat.
Karena mata berlokasi disekitar tiga sinus, ekspansi bakteri yang melibatkan orbita dapat muncul. Komplikasi orbita dan periorbita dapat menjadi selulitis orbita dan abses subperiosteal dan abses orbita dan jika tidak diterapi dapat berkembang ke apeks orbita dan menyebabkan kebutaan. Penyakit etmoid akut, terutama pada anak-anak dan infeksi sinus frontalis pada dewasa dapat melibatkan mata pada fase akut. Sebagai tambahan, sinus sphenoid dapat menghasilkan perubahan visual disebabkan hubungannya pada sinus kavernosus, melalui nervus okulomotorius (N III), nervus troklearis (N IV) dan nervus abdusen (N VI).
Osteomielitis dapat melibatkan tulang frontalis atau maksilaris; bagaimanapun pada terapi awal, hal ini merupakan komplikasi yang jarang . Fistula oroantral dapat muncul sebagai hasil masalah gigi dan penanganan patologi gigi.
Komplikasi intrakranial sangat jarang tetapi dapat mengakibatkan abses epidural dan subdural, meningitis, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Pasien harus aktif dan agresif diterapi jika komplikasi ditakutkan terjadi. Insisi yang tepat dan drainase harus dipikirkan awal pada kondisi ini. Perlu konsultasi dengan dokter mata dan dokter syaraf jika sinusitisnya virulen, pasien debil dan kemungkinan komplikasi.
Pasien harus diinformasikan bahwa banyak langkah penanganan sinusitis akut, subakut dan kronik. Penanganan medik diindikasikan terutama untuk sinusitis akut dan subakut. Jika perlu pasca sinusitis subakut dilakukan penanganan bedah. Pada sinusitis kronik, terapi bedah diindikasikan untuk penanganan penyakit dan oksigenasi pada sinus yang terinfeksi.
Pembedahan pada sinusitis maksilaris akut dapat diindikasikan jika terdapat nyeri yang menetap lebih dari 24 sampai 48 jam telah diterapi dengan antibiotik yang sesuai atau jika terdapat komplikasi mata dan syaraf. (Tabel 33-6)
Tabel 33-6 Komplikasi sinusitis supuratif akut
Ophthalmologik
Selulitis orbita, abses, proptosis
Penyakit visual, gangguan gerakan pada mata, peningkatan tekanan intraokular
Konsultasi awal dan intervensi bedah
Neurologik
Abses subdural dan epidural
Meningitis, abses otak
Konsultasi awal dan intervensi bedah

KEGAWAT-DARURATAN
Sebuah situasi gawat darurat dapat muncul pada kondisi akut dan subakut sinusitis dan jarang pada sinusitis kronik. Intervensi bedah dibutuhkan untuk kondisi nyeri hebat atau untuk mencegah komplikasi. Komplikasi yang umum terjadi adalah komplikasi mata karena letaknya yang berdekatan. Komplikasi mata biasanya membutuhkan pembedahan termasuk drainase abses pada sinus. Sinus etmoid adalah sinus yang paling berperan dalam komplikasi mata. Selanjutnya sinus frontal dan sphenoid juga dapat menimbulkan gejala mata. Jika pasien mendapat komplikasi mata termasuk selulitis orbita, abses subperiosteal dan abses orbita dapat mengakibatkan kebutaan. Dibutuhkan pertimbangan pembedahan darurat untuk mencegah komplikasi serius pada mata. Paresis nervus tiga dapat terjadi karena sinusitis sphenoidalis dan membutuhkan drainase segera.
Seorang pasien yang mendapat selulitis orbita harus diikuti dengan ketat oleh dokter mata dan dokter THT. Jika terdapat perubahan pada gerakan ekstraokuler pada mata atau penurunan tajam penglihatan, intervensi bedah awal harus dilakukan.
Sinusitis etmoid akut dengan komplikasi orbita yang membutuhkan intervensi bedah harus ditangani melalui pendekatan etmoidektomi eksternal. Jika tidak terdapat komplikasi, sangat beralasan untuk melakukan pendekatan drainase abses etmoid melalui intranasal dengan endoskopi.
Terdapat juga komplikasi intrakranial seperti abses epidural dan abses subdural, meningitis, abses otak, dan trombosis sinus kavernosis. Jika terdapat komplikasi, berkembang kondisi darurat dan pasien ini harus segera diterapi bedah untuk drainase sinus yang bertanggungjawab terhadap perkembangan komplikasi.
Pasien harus dievaluasi dan diikuti oleh dokter mata dan dokter bedah saraf jika terdapat perkembangan komplikasi kearah mata dan neurologik.
Tabel 33-7 Kegawatdaruratan sinusitis

Ophtalmologik : selulitis orbita/abses
Antibiotik intravena, drainase bedah, konsultasi dokter mata awal jika terdapat :
Perubahan visual
Perubahan gerakan mata
Perubahan tekanan mata
Proptosis
Neurologik : abses (epidural/subdural/intraparenkim), meningitis, trombosis sinus kavernosus
Antibiotik travena, drainase bedah, konsultasi dokter syaraf awal jika terdapat :
Keterlibatan nervi kraniales (II, III, IV, VI)
Papiledema
Gangguan kesadaran
Kekakuan leher


TONSILEKTOMI

A. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI
Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris atau abses peritonsilaris. Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris. Paling sering, mereka mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi penyerta. Beberapa episode mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri.
Indikasi absolut. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini :
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Indikasi relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif antara lain :
1. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan penatalaksanaan medis yang adekuat).
2. Tonsilitis yang berhubungan dengan gerakan streptokokus menetap dan patogenik (keadaan karier).
3. Hiper plasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan).
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mono nukleosis (biasanya pada dewasa muda).
5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan tonsilotus rekuriens kronis dan pengendalian anti biotik yang buruk.
6. radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas oro fasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.
8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.
Kontra indikasi. Non indikasi dan kontra indikasi untuk tonsilektomi adalah di bawah ini:
1. Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemik atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi
5. Rinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis.

B. PERSIAPAN OPERASI
Untuk menekan kemungkinan komplikasi seminimal mungkin diperlukan persiapan operasi yang baik.
Usaha pencegahan komplikasi tonsilektomi dengan :
1. Operator harus mengetahui apakah ada kemungkinan penderita mempunyai tendensi gangguan perdarahan. Pemeriksaan darah rutin dan khusus dikerjakan untuk menseleksi kalau kemungkinan gangguan perdarahan.
Operasi sedapat mungkin dihindari selama dalam keadaan akut untuk menghindari perdarahan kapiler dan bakteriemi karena manipulasi. Penderita dengan infeksi akut saluran napas bagian atas waktu melaksanakan tonsilektomi dengan anestesi membawa resiko perdarahan. Tonsilektomi dianjurkan minimal 2 minggu setelah infeksi akut berakhir.
2. Penguasaan teknik operasi, memegang peraturan septik dan aspetik serta kerja teliti merupakan syarat yang utama untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Sebelum operasi harus diperiksa ulang instrumen-instrumen yang akan dipakai untuk operasi dan disiapkan alat untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul terutama terjadinya perdarahan.
3. Dipertimbangkan penggunaan obat-obatan yang diminum dalam jangka waktu lama sebelum operasi. Penggunaan golongan obat anti biotika, golongan sulfonamid dan asetosalisilat dalam jangka waktu lama dapat mempengaruhi proses pembekuan darah.
4. Untuk mengurangi perdarahan dapat juga diberikan hemostatika sebelum dan sesudah tonsilektomi.
Tonsilektomi adalah tindakan bedah paling sering dilakukan dibagian THT. Ada dua cara tindakan bedah tonsilektomi, yaitu : tonsilektomi guilotin / tonsilektomi sludder, melepas tonsil dari fosanya dengan memakai guilotin / tonsilotom. Tonsilektomi diseksi pelepasan tonsilnya tahap demi tahap, jadi cara ini secara ’a view’.


C. KOMPLIKASI
1. Komplikasi perdarahan
Perdarahan adalah komplikasi paling sering dari tonsilektomi. Komplikasi perdarahan pasca tonsilektomi dibedakan menjadi : perdarahan primer yaitu perdarahan yang terjadi dua puluh empat jam pertama pasca tonsilektomi. Perdarahan ini sering terjadi. Penyebab perdarahan ini adalah adanya sisa jaringan limfoid yang tidak terangkat hingga mengganggu kotraksi pembuluh darah, juga teknik operasi yang kurang baik dapat memotong pembuluh darah agak besar terutama pada metode deseksi kemudian tidak dilakukan ligasi atau ligasi tidak kuat.
2. Komplikasi trauma instrumen
Komplikasi trauma instrumen dapat terjadi baik instrumen anestesi maupun instrumen untuk operasi.
Trauma instrumen dapat berupa laserasi : bibir, mulut, faring atau laring. Trauma gigi sering pada anak atau orang tua, dapat lepas atau patah menjadi benda asing saluran cerna atau saluran napas. Tonsilektomi yang tergesa-gesa menyebabkan trauma faring, palatum atau uvula. Penggunaan pompa isap yang berlebihan menyebabkan udem sesudah operasi.
3. Komplikasi anestesi
Telah menjadi kebiasaan untuk memberikan anestesi umum pada waktu melakukan tonsilektomi. Tindakan ini sangat menolong penderita untuk mengurangi rasa sakit maupun ketakutannya, dan operator dapat bekerja lebih tenang.
Komplikasi anestesi dapat terjadi sebagai akibat obat-obatan anestesi dan trauma dari alat anestesi yang digunakan. ”Endotracheal tube” dapat menyebabkan udem subglotik sesudah ekstubasi, dengan keluhan sebagai obstruksi jalan napas bagian atas. Aritmia kardial terjadi karena rangsangan vagal akibat instrumen.
4. Komplikasi neuromuskuler
Problema penelanan sering terjadi pada penderita sesudah tonsilektomi. Kadang-kadang problem ini berat sehingga diperlukan analgesi dan terapi cairan melaui infus. Penyebabnya dapat akibat trauma otot-otot penelanan selama opersi, atau akibat kurangnya gerak otot setempat menimbulkan kekakuan otot, terutama penderita yang menolak makan atau minum.
5. Bakteriemia
Bakteriemia dapat terjadi waktu berlangsung dan sesudah tonsilektomi. Van Eyk mendapatkan bakteriemia yang sifatnya sementara saja, tanpa menimbulkan gejala-gejala klinis dan berlangsung tidak lebih dari satu jam pada penderita sesudah tonsilektomi.
Bila penderita tetap panas sesudah tonsilektomi dipikirkan adanya bakteriemia, diperlukan kultur darah dan pemebrian antibiotika. Perlu dipertimbangkan pemberian antibiotika sesudah tonsilektomi sebagai perlindungan adanya infeksi pada kasus-kasus tertentu.
6. Telinga
Nyeri telinga sering dialami penderita sesudah tonsilektomi akibat penjalaran sakit dari fosa tonsiler.
7. Komplikasi paru
Komplikasi paru dapat berupa : atelektase, bronkopneumoni, bronkitis dan abses paru. Keadaan ini dapat terjadi akibat aspirasi gumpalan darah. Dengan teknik anestesi dan operasi yang lebih baik komplikasi dapat dihindari.

D. PERAWATAN PASCA OPERASI
1. Perawatan pasca tonsilektorni tanpa komplikasi.
Perawatan ini dikerjakan segera setelah operasi selesai. Penderita dipindahkan dari kamar operasi ke brankart dengan posisi kepala miring dengan tujuan bila ada darah atau sekret akan keluar lewat mulut hingga tidak terisap penderita. Kemudian dibawa kekamar pemulihan sambil diberi oksigen lewat masker oksigen.
a. Perawatan di ruang pemulihan
Penderita dibaringkan dengan posisi miring setengah tengkurap. Keuntungan posisi ini adalah bila ada perdarahan walaupun ringan / sedikit dapat diketahui secara dini. Penderita diawasi dengan ketat tekanan darahnya, nadi serta frekwensi pernapasannya tiap sepuluh menit pada satu jam pertama , kemudian dilanjutkan tiap duapuluh menit. Posisi penderita berbaring diubah tiap satu jam. Penderita harus dijaga sampai kesadaran pulih dan timbul reflek batuk hingga penderita dapat melindungi sendiri jalan napasnya. Pada saat yang sama dilakukan pengamanan jalan napas dengan memasang jalan napas buatan dimulut, menarik mandibula kedepan hingga pangkal lidah menjauhi dinding belakang faring, serta mempersiapkan a¬lat-alat untuk membersihkan jalan napas buatan yaitu a¬lat pengisap listrik dengan ujung kateter. Penderita dirawat diruang pemulihan sadar, reflek-reflek sudah timbul,serta tekanan darah sudah stabil, hal ini butuh waktu paling tidak satu sampai dua jam. Kemudian penderita dapat dikembalikan ke bangsal.
b. Perawatan di bangsal.
Bila penderita gelisah pasca tonsilektomi dapat diberikan sedatif, pada anak dapat diberikan naphente dan pada dewasa dapaat diberi morfin. Pemberian sedatip tak dapat diulang bila belum dipastikan bahwa tak ada perdarahan karena kegelisahan yang menetap dapat disebabkan oleh perdarahan. Penulis lain menganjurkan pemberian demeral sebagai sedatif dan analgesik segera setelah sadar Penulis lain menganjurkan pemberian sedatif pada malam sesudah operasi , dan berpendapat obat-obatan seperti kodein dan aspirin lebih baik daripada hipnotik lain, tetapi bila nyeri hebat dapat diberikan petidin. Walaupun tekanan darah sudah stabil tetapi vital sign tetap diawasi tiap jam pada jam-jam pertama, seterusnya tiap empat jam. Frekwensi pengawasan vital sign sangat tergantung keadaan penderita. Pengawasan terhadap perdarahan juga tetap dilakukan. Beberapa jam setelah operasi penderita tidak boleh diberikan apa-apa lewat mulut, tetapi setelah empat sampai lima jam pasca tonsilektomi dimana saat resiko terjadinya perdarahan sudah lewat penderita dianjurkan untuk makan diet cair, hal ini bertujuan untuk mencegah kekakuan otot2 tenggorok dan kekurangan cairan setelah operasi. Pada saat ini perlu diterangkan pada penderita atau keluarga yang menunggu, bila penderita tidak. mau makan diit cair, akan terjadi kekurangan cairan ditubuh dan otot-otot tenggorok jadi kering serta kaku yang menyebabkan nyeri hebat pada waktu menelan. Bila penderita menolak makan diit cair, maka dapat diberikan satu cangkir air hangat diminum tiap jam. Penderita dapat diberi antibiotik. Mulut dan tenggorok harus selalu bersih dengan sering-sering kumur, juga gigi-gigi harus dihersihkan sesudah makan. Besok pagi sudah dapat dipulangkan bila sudah tidak panas, tidak ada perdarahan, keadaan umum baik. Penulis lain menganjurkan penderita dapat pulang pada hari ketiga atau keempat dimana anak-anak sudah dapat makan makanan biasa.
Tentang diet penderita selama perawatan, ada penulis yang berpendapat, pagi hari setelah operasi dapat mulai diit biasa. Tetapi penulis lain berpendapat, hari berikut setelah operasi penderita disuruh makan padat lunak, es cream ditambah diit cair. Diit penuh diberikan hari ketiga atau keempat.
c. Perawatan di.rumah.
Pada hari pertama dirumah penderita harus istirahat di tempat tidur. Penderita dapat mengadakan aktifitas yang ringan, misalnya bermain di tempat tidur, menonton televisi, mendengarkan radio, membaca, aktifitas ringan ini di lakukan sampai hari kesepuluh. Biasanya anak sudah makan diit biasa pada hari kedua dirumah tetapi pada anak yang lebih besar, dan orang dewasa masih makan diit lunak. Dengan menganjurkan anak secepatnya makan dan minum, ternyata tahap nyeri dapat dilewati lebih cepat. Untuk membantu hal tersebut diatas dapat diberikan aspirin yang dilarutkan dalam air hangat diminum beberapa menit sebelum makan ternyata sangat bermanfaat. Dolowitz menganjurkan pada anak-anak diberikan satu sampai setengah tablet aspirin, dilarutkan dalam air dan diberikan duapuluh menit sampai tigapuluh menit sebelum makan. Sari buah yang masam dihindari karena dapat menyebabkan rasa nyeri. Pada anak yang lebih besar dapat dianjurkan berkumur satu sendok teh sodium perborat (flavored) dalam satu gelas air hangat setelah makan, hal ini dikerjakan sampai hari kesepuluh.
Pemeriksaan ulang pasca tonsilektorni dilakukan pada hari keempat sampai hari kesebelas dimana saat pemeriksaan manipulasi seringan mungkin. Pada pemeriksaan ini diperiksa faring, keadaan umum apakah ada tanda-tanda dehidrasi atau tanda kurang makan.
2. Perawatan pasca tonsilektomi dengan komplikasi
Perawatan ini juga dibedakan jadi tiga tahap, yaitu : perawatan diruang pemulihan, perawatan dibangsal dan perawatan dirumah.

a. Perawatan diruang pernulihan.
Komplikasi pada saat penderita dirawat di ruang pemulihan yaitu obstruksi jalan napas dan perdarahan , yang merupakan komplikasi serius dan memerlukan penanganan segera.
Obstruksi jalan napas dapat menyebabkan sianosis, hal ini dapat ditanggulangi dengan cara sebagai berikut : mernbetulkan kedudukan jalan napas dengan menarik mandibula kedepan, bila gagal kita memakai laringoskop untuk me ngisap bekuan darah, mukus atau material lain dari laring karena material-material ini dapat menyebabkan spasme laring. Bila gagal, dapat diberikan suxamethonium (10 mg tiap lima sampai enam kilogram berat badan), lalu diintubasi dan diberikan pernapasan buatan.
Bila ada kecurigaan terjadi perdarahan, misalnya nadi cepat dan lemah, extremitas basah, dingin, pusat dan gelisah, maka fosa tonsilaris harus dilihat dengan memakai lampu kepala dan penekan lidah Bila tidak nampak karena ada jendalan darah maka jendalan darah dibersihkan dengan Luc’s forsep yang akan berakibat jaringan dasar fosa tonsilaris retraksi hingga perdarahan herhenti apontan. Kalau masih berdarah, fosa tonsilaris di tekan dengan gaas depper memakai Birkett forsep, bila gagal dapat dilakukan pengikatan pembuluh darah.
Dasar fosa tonsilaris relatif tidak peka pada beberapa jam pasca tonsilektomi, maka tindakan tersebut dapat dilakukan pada penderita yang kooperatif. Perdarahan yang ringan tidak perlu dilakukan tindakan seperti diatas dan dapat dihentikan dengan menyuruh minum es.
Bila tindakan diatas tidak berhasil menghentikan perdarahan, maka penderita dibawa kekamar bedah untuk dilakukan pengikatan dengan narkose umum. Bila tidak dapat ditentukan titik berdarahannya ataupun perdarahannya tak dapat diatasi dengan pengikatan, maka dapat dilakukan gaas depper dimasukkan dalam fosa tonsilaris kemudian ke dua pilar depan dan balakang dijahit satu sama lain. Jahitan dan depper diambil setelah duapuluh empat jam. Kalau tindakan tersebut gagal, dilakukan pengikatan a karotis eksterna dan cabang-cabangnya.
Akibat perdarahan keadaan umum penderita dapat menjadi jelek (anemis) maka transfusi darah harus segera dilakukan. Untuk menentukan kapan penderita perlu transfusi darah, dapat diperkirakan bila jumlah darah yang hilang mencapai 15% dari volume darah total. Volume total darah anak ialah hasil perkalian berat badan dalam kilogram dengan tujuhpuluh sampai delapan puluh cc.
b. Perawatan dibangsal.
Komplikasi yang sering terjadi pada saat penderita dirawat dibangsal adalah perdarahan dan infeksi. Perawatan komplikasi perdarahan sesuai dengan perawatan komplikasi perdarahan diruang pemulihan.
Perawatan komplikasi pasca tonsilektomi komplikasi infeksi dengan penanganan lokal maupun sistemik, Penanganan infeksi secara lokal dengan menyemprot antiseptik ringan pada fosa tonsilaris, misalnya dengan phenol gargel atau kumur H2O2 yang diencerkan dengan air bersih. Secara sistemik dengan pemberian antibiotika sitemik peroral. Untuk mencegah terjadinya infeksi pasca tonsilektomi ada yang menganjurkan pemberian antibiotika sebagai perlindungan.
c. Perawatan dirumah.
Perawatan pasca tonsilektomi dengan kornplikasi perdarahan dan infeksi di rumah tidak banyak berbeda dengan perawatan di bangsal.
Perlu diingat disini, bila perdarahan terjadi setelah lima hari pasca tonsilektomi maka pengikatan pembuluh darah sulit karena adanya infeksi dan granulasi.



ANATOMI SALURAN PERNAFASAN
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernafasan dari hidung sampai dengan bronkiolus dilapisi membrane mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi lapisan mucus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel halus akan terjerat ke dalam lapisan mucus. Gerakan silia mendorong lapisan mucus ke arah posterior di dalam rongga hidung, dan ke superior di dalam system pernafasan bagian bawah menuju ke faring. Di sini lapisan mucus akan tertelan dan di batukkan keluar. Air untuk kelembaban diberikan olehlapisan mucus, sedangkan panas yang disuplai ke udara inspirasi berasal dari jaringan di bawahnya yang kaya pembuluh darah. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga bila udara mencapai faring hamper bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya mencapai 100%.
Bronkus sebagai salah satu bagian saluran pernafasan dipercabangkan oleh trakea setinggi bidang antara mediastinum superior dan inferior (Setinggi Vertebra Thoracalis IV) menjadi Bronkus Principalis Dextra dan Sinistra. Tempat dimana trakea bercabang menjadi Bronkus Principalis Dextra dan Sinistra dikenal sebagai Karina. Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan Bronkospasme dan batuk yang kuat apabila dirangsang.
Bronkus Principalis Dextra dan Sinistra masing-masing descenderen masuk hilus pulmonis kanan dan kiri di belakang vasa pulmonales setinggi corpus vertebra V dan VI.. Bronkus Principalis Dextra dan Sinistra tidak simetris. Bronkus prinsipalis dextra lebih pendek, lebih lebar dan arahnya hamper vertical masuk ke pulmo setinggi Vertebra thoracalis V, sedangkan Bronkus Principalis Sinistra lebih panjang dan lebih sempit yang merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang tajam masuk ke pulmo setinggi Vertebra thoracalis VI. Bentuk anatomis yang khusus ini mempunyai implikasi klinis yang penting. Antara lain dapat kita mengerti bahwa ada tendensi lebih besar benda asing masuk ke bronkus kanan daripada bronkus kiri serta arah Bronkus prinsipalis dextra yang hamper vertical tersebut memudahkan masuknya kateter untuk melakukan penghisapan yang dalam. Namun demikian selang endotrakea yang telah dipasang untuk menjamin patensi jalan udara akan mudah meluncur ke bawah ke Bronkus prinsipalis dextra jika selang tidak tertahan dengan baik pada mulut atau hidung.
Cabang utama Bronkus dextra dan Sinistra bercabang lagi menjadi Bronkus lobaris dan kemudian menjadi Bronkus segmentalis. Bronkus prinsipalis dextra bercabang menjadi 3 bronkus lobaris yaitu bronkus lobaris superior dextra, bronkus lobaris medius dan bronkus lobaris inferior dextra. Bronkus lobaris superior dextra disebut Bronkus Aperterial karena dipercabangkan di atas arteri pulmonalis dextra. Sedangkan Bronkus Principalis Sinistra bercabang menjadi 2 bronkus lobaris yaitu bronkus lobaris superior sinistra dan bronkus lobaris inferior sinistra.
Bronkus lobaris akan bercabang lagi menjadi Bronkus segmentalis, dimana tiap-tiap bronkus segmentalis bersama dengan sebagian lobus yang mendapat suplay daripadanya disebut sebagai segmen Bronkopulmonair. Pada umumnya terdapat 10 bronkus segmentalis dextra dan 8 bronkus segmentalis sinistra. Bronkus segmentalis ini masih bercabang lagi menjadi bronkus yang ukurannya semakin mengecil sampai akhirnya menjadi Bronkiolus Terminalis yaitu Saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang dari 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran kebawah sampai dengan tingkat bronkiolus terimnalis disebut sebagai saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.

B. BRONKITIS AKUTA
B.1 DEFINISI
Bronkitis Akuta merupakan proses radang akut yang mengenai bronkus dan cabang-cabangnya (Cabang besar). Biasanya proses radang akut ini sifatnya terbatas (terlokalisasi) dan dapat sembuh sempurna (tidak meninggalkan bekas).

B.2 ETIOLOGI
Bronkitis akuta dapat disebabkan oleh beberapa macam penyebab antara lain :
a. Virus (merupakan penyebab paling banyak)
Virus yang dapat menyebabkan bronkitis akuta antara lain virus influenza, virus morbili, virus pneumoni, virus variola dan sebagainya. Infeksi virus yang menyebabkan bronkitis akuta dapat merupakan infeksi primer pada bronkus satu atau dapat merupakan komplikasi / lanjutan dari penyakit-penyakit virus lainnya sebagai berikut :
• Common Cold (hanya mengenai saluran nafas atas)
• Influenza
b. Infeksi Bakterial
Beberapa kuman penyebab bronkitis akuta antara lain : Stafilokokus, Streptokokus, Pneumokokus, dan Haemophylus Influenza. Pneumokokus dan Haemophylus Influenza merupakan kuman penyebab paling penting dan paling sering ditemukan. Infeksi bacterial ini selain sebagai infeksi primer pada bronkus, dapat pula sebagai infeksi sekunder terhadap infeksi pertama yang mendahuluinya, misalnya infeksi virus yang mengenai bronkus (bronkitis akuta seperti yang tersebut diatas). Bronkitis akuta dapat pula merupakan superinfeksi terhadap kelainan paru yang sebelumnya sudah ada, misalnya pada : Bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema paru dan sebagainya.
c. Infeksi Jamur
d. Iritasi bahan kimia atau gas
Bahan kimia atau gas yang ikut udara inspirasi (inhalasi) dapat memberi iritasi pada bronkus dan menyebabkan bronkitis akuta, misalnya :gas-gas beracun, NO2, SO2, Klor dan sebagainya.
e. Asap
Dapat berupa asap rokok, asap pabrik, asap dapur atau akibat dari polusi udara (Air Polution).
f. Alergi
Bronkitis akuta dapat timbul atas dasar proses alergi disebut bronkitis alergika.

B.3 KEKERAPAN PENYAKIT
Bronkitis akuta sering dijumpai di masyarakat. Penyakit ini sering berjangkit pada tiap-tiap perubahan musim, terutama pada perubahan musim kemarau ke musim penghujan. Selain dari factor iklim diatas, system perumahan yang kurang memadai (memenuhi syarat kesehatan) juga ikut memudahkan timbulnya penyakit ini. Suatu contoh, bronchitis akuta angka kekerapannya levih tinggi pada kelompok masyarakat yang menempati komplek perumahan yang berjubel (kumuh).

B.4 PERUBAHAN PATOLOGI ANATOMI
Pada bronkus penderita bronkitis akuta terdapat proses inflamasi, yang berat ringannya bervariasi.
a. Pada pemeriksaan makroskopik ditemukan :
 Pada permulaan proses inflamasi, mukosa bronkus yang terkena tampak edema dan hiperemi
 Pada lumen bronkus banyak secret mukopurulen
 Pada penyakit yang berat atau mengalami inflamasi yang berat bias ditemukan nekrosis ulcerasi mukosa bronkus setempat
 Pembengkakan kelenjar limfe regional
b. Pada pemeriksaan mikroskopik akan ditemukan :
 Permukaan mukosa bronkus dilapisi mucus (lendir) dan beberapa sel lekosit
 Infiltrasi dinding bronkus oleh sel-sel radang
 Deskuamasi (pengelupasan) sel-sel epitel silindris (sel mukosa bronkus)
 Pembengkakan kelenjar bronkus yang berisi mucus
 Apabila secret mucus banyak sekali dapat menyumbat lumen bronkus yang bersangkutan



B.5 PEMBAGIAN SECARA MORFOLOGI BRONKITIS AKUTA
a. Bronkitis Kataralis (Bronkitis mukopurulen)
Pada jenis ini mukosa bronkus tampak hiperemi dan edema. Reaksi inflamasi berjalan pelan-pelan, mula-mula terjadi produksi secret bronkus yang masih sedikit dan besifat lengket (lekat). Selanjutnya makin lama sekresi sromukus (cair) yang melimpah (menumpuk), sebagian berasal dari hipersekresi sel goblet dan kelenjar submukosa bronkus, sebagian lagi berasal dari eksudat serous (edema) yaitu berasal dari vasodilatasi kapiler mukosa (Hiperpermeabel) akibat proses radang.
Dengan adanya produksi secret bronkus yang melimpah tadi disertai edema mukosa bronkus akibat proses radang, maka epitel bronkus menjadi longgar dan dapat terangkat (lepas) dari jaringan dasarnya (membrana basalis). Eksudat (secret) bronkus biasanya banyak mengandung (sebukan ) lekosit dan sel-sel epitel bronkus yang lepas.
Oleh karena terjadi overproduksi sekresi dab eksudat akan terjadi bronkospasme, obstruksi bronkus dan abnormalitas ventilasi fokal (Lokal)

b. Bronkitis Fibrosa (Bronkitis Pseudomembranosa)
Selain proses radang, terjadi pula eksudasi fibrinogen pada permukaan muksa bronkus, terjadilah pseudomembran, yang dapat menyebabkan obstruksi total lumen bronkus kecil. Pseudomembran yang terjadi ini dapat dikeluarkan (dibersihkan) dengan aktivitas batuk. Bronkitis akuta jenis ini misalnya ditemukan pada penderita Difteria, yang biasanya menimbulkan obstruksi berat saluran nafas bagian atas dan eksudasi fibrin yang berlebihan pada bronkus yang dapat menimbulkan obstruksi berat saluran nafas tepi.

c. Necrotizing Bronchitis (Ulcerative Bronchitis)
Nekrosis mukosa bronkus dapat terjadi karena beberapa hal :
 Inhalsa gas atau uap yang bersifat korosif
 Aspirasi isi gaster atau benda asing
 Endotracheal tube yang terpasang terlalu lama (untuk membantu pernafasan)
 Infeksi berat (Bakterial atau Virus)
Mukosa yang nekrosis akan mengelupas membentuk daerah yang nekrosis yang selanjutnya dapat mengalami regenerasi. Dalam waktu singkat (3-7) hari sesudah trauma (infeksi) regenerasi epitel bronkus sudah mulai, terbentuklah epitel silindris/kubis, selanjutnya sel-sel tadi berdiferensiasi sempurna terbentuk epitel bronkus yang bersilia dan sel goblet. Bila traumanya berat, proses regenerasi kea rah epitel normal tidak terjadi dan penyembuhannya terbentuk jaringan parut.

B.6 PATOGENESIS
Saluran nafas normalnya adalah steril. Hal ini dimungkinkan karena sangat baiknya kerja system pertahanan tubuh pada saluran nafas (paru). Bronkitis akuta timbul umumnya sering di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas (oleh virus). Infeksi dapat pula langsung mengenai bronkus (infeksi primer) misalnya pertussis. Bronkitis akuta dapat pula timbul merupakan sekunder infeksi terhadap kasus penyakit paru kronik misalnya pada bronkitis kronis, emfisema paru, asma bronchial, bronkiektasis, dan sebagainya.
Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya bronkitis akuta adalah
Pemaparan bahan iritan pada mukosa bronkus
Mukosa bronkus yang teriritasi dapat mengalami kerusakan sampai timbulnya nekrosis, sehingga mukosa bronkus menjadi rentan (vulnerable) terhadap infeksi. Bahan iritan tersebut misalnya :
 Gas/uap bahan kimia : Ozone, NO2,SO2, dan klor
 Asap : Asap dapur, asap rokok, asap pabrik
 Polusi udara : Bahan polutan
Reaksi Alergi
Dengan adanya pemaparan allergen ke dalam saluran nafas penderita yang sensitive akan timbul reaksi alergi, yang merupakan salah satu bentuk reaksi pada bronkus pada bronkitis akuta. Bahan allergen tadi misalnya pollen, serbuk bunga dan sebagainya.
Faktor Umur
Bronkitis akuta sering timbul pada bayi, anak, orang tua dengan keadaan infeksi yang berat dan sering dengan sequelle yang serius. Pada bayi dan anak mungkin disebabkan oleh karena system imun yang belum berkembang. Sedangkan pada orang tua dikarenakan system imun yang dimiliki sudah menurun, selain mungkin sudah terdapatnya kelainan paru kronik yang di derita oleh penderita (Bronkitis Kronis, Emfisema Paru dan sebagainya)
Turunnya daya tahan tubuh
 Turunnya Pulmonary Defence Mechanism, terjadi karena :
 Rusaknya struktur anatomi, alat pertahanan tubuh pada saluran nafas akibat iritasi bahan ritan : Asap, uap atau gas dan polusi udara
 Infeksi saluran nafas yang terjadi sebelumnya. Sedikit atau banyak akan memberi kerusakan pada mukosa
 Defisiensi factor imunologik : defisiensi IgA sekresi atau defisiensi IgG plasma
 Abnormalitas congenital pada paru : Primary Ciliary, Dyskinesia, Cystic Fibrosis
 Lain-lain : Injury oleh bahan termis atau khemis, aspirasi bahan dari gaster pada refluk esophagus
 Turunnya daya tahan tubuh secara umum
Misalnya pada penderita AIDS, sesudah pemberian Sitostatika, Kortikosteroid atau antibiotika tertentu.
Menderita penyakit tertentu : Diabetes Mellitus, Lekemia
Turunnya integritas mukosa bronkus
Merupakan kombinasi beberapa factor :
 Kerusakan mekanisame pertahanan tubuh oleh mukosa bronkus
 Kerusakan Mucociliary transport dan gangguan sekresi mucus, selanjutnya dapat menurunkan integritas mukosa bronkus
Lain-lain , misalnya Debilitas

Timbulnya keluhan-keluhan
1. Hipersekresi Mukus
Pada keadaan normal kelenjar atau sel yang bertugas mensekresi mucus hanya mengeluarkan produksinya hanya dalam jumlah sedikit. Sekret (normal) terbentuk tadi selalu digerakkan (dihalau) keatas oleh gerakan rambut (Silia) sehingga lumen bronkus selalu bersih. Pada bronkitis akuta akibat adanya proses radang atau iritasi bahan-bahan iritan, maka sekresi mucus akan banyak sekali dan di dalamnya ikut bersama sel-sel lekosit dan sel mukosa bronkus yang lepas.
2. Batuk
Sekret mucus yang diproduksi dalam jumlah banyak pada bronkitis akuta, karena sangat bnayaknya tidak dapat dikeluarkan pleh gerakan rambut (Silia). Pengeluarannya harus dilakukan dengan pertolongan reflek batuk.

3. Sesak Nafas
Penderita Bronkitis akuta jarang mengeluh sesak nafas. Sesak nafas akan dikeluhkan oleh penderita yaitu apabila terdapat produksi secret yang banyak dan menyumbat saluran nafas.
B.7 GAMBARAN KLINIK
Gambaranklinik Bronkitis akuta mempunyai variasi bermacam-macam, tergantung pada umur penderita dan etiologinya. Sebagai contoh : anak umumnya lebih Vulnerable dibanding orang dewasa terhadap kejangkitan bronkitis akuta. Hal tersebut dikarenakan anak mempunyai saluran trakeobronkial lebih pendek dan lebih sempit relative dibandingkan orang dewasa. Selain itu pada anak pada bronkus kecil-nya belum ada sel yang mensekresi mucus. Invasi (Infeksi) HAemophylus Influenza pada anaka sering terjadi Bronkitis Akuta Fulminant, sehingga keadaannya sering menimbulkan keadaan gawat darurat paru, karena dalam beberapa jam dapat timbul obstruksi saluran nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi.
Gejala permulaan Bronkitis akuta merupakan gejala dari infeksi saluran nafas bagian atas dengan gejala umum seperti :
 Penderita malas, nyeri otot umum dan sakit kepala
 Demam yang dirasakan penderita sebagai perasaan dingin, meriang (demam) disertai pilek (Discharge)
 Tenggorok terasa kering, sakit telan dan suara serak (Parau)
 Suhu badan dapat meningkat dan dapat tinggi sekali
 Beberapa jam kemudain timbul batuk-batuk mula-mula nonproduktif kemudian disusul batuk produktif dengan secret mukopurulen. BAtuk kadang disertai nyeri substernal
 Sesak nafas
Sesak nafas terutama timbul apabila terjadi komplikasi (Pneumonia) atau telah terjadi secret trakeobronkial yang melimpah sehingga terjadi obstruksi saluran nafas
Bronkitis akuta sering merupakan salah satu factor presipitasi timbulnya serangan obstruksi bronkus pada penderita asma bronchial dan pada beberapa penderita alergi tertentu.
Pada penderita bronkitis kronis, mefisema paru apabila menderita episode (Infeksi sekunder) bronkitis akuta maka akan menampakkan gejala lebih berat: sesak nafas, kondisi hipoksia dan meningkatnya retensi CO2.
Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada penderita bronkitis akuta :
Inspeksi :
 Pada penderita sakit berat tampak muka merah (Flushing)
 Umumnya frekuensi pernafasan masih normal
 Suhu badan tinggi dan telah terdapat obstruksi saluran nafas maka penderita tampak sesak nafas (Dyspneu atau Takipneu)
 Mukosa faring tampak merah
Palpasi
 Pada bronkitisa akuta yang berat dapat diraba (dirasakan) adanya Rhoncal Fremitus terutama pada saluran nafas dalam
 Badan penderita terasa demam
Perkusi
 Suara perkusi masih normal (Sonor seluruh lapangan paru)
 Apabila terdapat komplikasi maka suara perkusinya akan berubah
Auskultasi
 Pada stadium awal maka suara nafas akan terdengar melemah
 Terdengar Ronkhi kering dengan cirri suara yang bermacam-macam : meniup, mencicit, mengeram dan lain-lain
 Ronkhi kering yang ditemukan tadi dapat hilang sesudah batuk karena sputum telah pindah tempat (keluar)
 Pada bronkitis akuta stadium lanjut yang disertai adanya secret bronchial yang banyak sekali dapat ditemukan ronkhi basah kasar yang jelas pada tempat yang sesuai
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat ditemukan jumlah lekosit yang ormal atau sedikit meninggi (leukositosis ringan). Hitung jenis bergeser ke kiri.

Pemeriksaan Foto Roentgen
Hasil pemeriksaan foto roentgen dada penderita bronkitis akuta menunjukkan gambaran normal bagi yang belum ada komplikasi. Pemeriksaan foto dada tetap penting sekali pada penderita bronkitisa akuta untuk menetapkan adanya komplikasi pneumonia yang dari pemeriksaan fisik kurang jelas.

B.8 DIAGNOSIS
Diagnosis bronkitis akuta biasanya tidak sukar. Apabila bronkitis akuta yang disebabkan oleh virus sering diikuti komplikasi pneumoni. Pneumoni virus ini sering tidak memberikan gejala (Pemeriksaan fisik) khas. Pada pemeriksaan fisik yang ditemukan hanyalah ronkhi basah halus yang amat halus dan terbatas.
Diagnosis bronkitis akuta pada orang tua atau penderita koma sering sukar ditentukan. Pada penderita yang ditemukan hanyalah gejala panas, tanpa adanya batuk sedangkan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti. Pada penderita bronkitis orang tua, mengingat kondisi badan umumnya lemah, reflek batuk umumnya kurang sempurna, aktivitas transportasi mucocilier umumnya juga kurang baik, maka apabila ada produksi secret yang banyak sekali dapat menimbulkan obstruksi bronkus dan selanjutnya terjadi komplikasi atelektasis paru.
Dalam mennegakkan diagnosis Bronkitis akuta selain harus melalui anamnesa, pemeriksaan fisis, laboratorium darah dan pemeriksaan Rontgen foto dada penting juga dilakukan pemeriksaan mikroorganisme penyebab radang. Material untuk pemeriksaan mikroorganisme penyebab bronkitis akuta menggunakan sputum yang diperoleh dengan jalan aspirasi sputum pada dinding posterior faring.

B.9 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan apabila kita menghadapi penderita bronkitis akuta antara lain adalah penyakit-penyakit berikut :
 Upper respiratory infections : Common cold, Faringitis, Laringitis
 Tuberkulosis Paru dengan Infeksi sekunder
 Pneumoni Crouposa
 Bronkiektasis dengan infeksi sekunder
 Bronkitis kronis dengan infeksi sekunder
B.10 KOMPLIKASI
Pneumonia (Bronkopneumonia)
Sepsis dan septikemi → pada kasus-kasus bronkitis akuta yang berat
Bronkiektasis → terutama pada Bronkitis akuta akibat Pertussis
Atelektasis → apabila terjadi obstruksi bronkus oleh produksi secret bronkus yang berlebihan
Bronkitis kronis → karena bronkitis aakuta yang berulang
Sinusitis purulenta → merupakan komplikasi supuratif
Otitis media akuta → merupakan komplikasi supuratif
Gagal nafas → khususnya pada penderita bronkitis akuta yang mempunyai latar belakang penyakit paru kronik: Bronkitis kronik, emfisema paru, asma bronchial dan sebagainya
Bronkhiolitis → biasanya pada bayi atau anak

B.11 PERJALANAN PENYAKIT
Bronkitis akuta timbulnya sering didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas, baik oleh virus maupun bacterial. Penyakit ini kejadiannya juga bisa langsung mengenai bronkus baik pada penderita yang sebelumnya sehat (Infeksi primer) maupun pada penderita yang sebelumnya sudah menderita kelainan paru kronik yang merupakan eksaserbasi infrksi akut terhadap kelainan paru kronik tadi.
Penyakit ini biasanya keadaannya berat pada penderita bayi, anak dan orang tua, bahkan sering timbul komplikasi. Pada penderita bronkitis akuta yang sebelumnya sehat biasanya merupakan self limiting disease bila penyakitnya ringan. Pada penderita yang penyakitnya berat atau sudah timbul komplikasi (Komplikasi supuratif dan pneumoni) penderita memerlukan perawatan yang intensif dan terapi Antibiotika yang sesuai.
Bagi penderita bronkitis akuta yang mempunyai kelainan paru kronik yang mendasarinya, adanya eksaserbasi infeksi akut (Superinfeksi) tadi akan menampakkan gejala lebih berat, bahkan mudah terjadi komplikasi lanjut berupa gagal nafas.





SKEMA PERJALANAN KLINIK BRONKITIS AKUTA




















B.12 PENGOBATAN
Pengobatan penderita bronkitis akuta terdiri atas :
Perbaikan keadaan umum penderita :
 Tirah baring / Bed Rest
 Menghentikan kebiasaan merokok
 Masukan cairan tubuh harus cukup
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari dehidrasi dan mengencerkan dahak yang lengket
 Hindari minum es selama sakit
 Perbaikan udara ruangan penderita
Pengobatan dengan Antibiotika
Pada penderita bronkitis akuta yang berat, penderita dengan infeksi supuratif (Sputum Mukopurulen atau purulent) atau penderita bronkitis akuta ringan yang sudah beberapa hari pengobatan tanpa antibiotika tidak menunjukkan adanya perbaikan maka diperlukan terapi antibiotika. Demikian pula pada penderita dengan komplikasi supuratif (Otitis medis akuta ataupun sinusitis akuta) perlu segera diberikan antibiotika.
Pengobatan bronkitis akuta secara rasional hendaknya menggunakan antibiotika berdasarkan hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotika. Kadang-kadang pengobatan secara rasional tersebut sulit dilakukan sehingga penderita diberikan pengobatan antibiotika berdasarkan empiris. Pengobatan secara empiris terpaksa ditempuh karena terdapat kesulitan dalam mendiagnosis mikrobiologik untuk menentukan kausa bronkitis akuta.
Antibiotika yang dapat dipakai antara lain :
 Prokain Penisilin G : 600.000 Unit imtramuscular sehari 2x suntikan
 Ampicilin : 4 x 250-500 mg peroral/hari
 Tetrasiklin : 4 x 250-500 mg peroral/hari


Pengobatan Simptomatik
Penderita perlu diberikan obat-obat yang bertujuan untuk mengurangi/menghilangkan Simptom / gejala yang ada.
 Apabila ada gejala alergi : diberikan Antihistamin
 Apabila ada Bronkospasme : diberikan Bronkodilator
 Apabila ada Batuk Produktif : Diberikan Ekspektoran
 Apabila ada batuk hebat dan non produktif : diberikan Antitusif
 Demam : diberikan antipiretik
 Untuk memulihkan kondisi badan atau perbaikan keadaan umum maka dapat diberikan Vitamin
Pengobatan bronkitis akuta dengan kelainan paru kronik
Bagi penderita bronkitis akuta dengan kelainan paru kronik yang mendasarinya (Bronkitis kronis, emfisema paru dan asma bronchial kronik) perlu segera diberikan anibiotika, karena bronkitis akuta tadi merupakan superinfeksi. Mengenai jenis antibiotika yang diberikan uga berdasarkan hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotika.

B.13 PENCEGAHAN
Pada penyakit Bronkitis akuta tidak terdapat cara pencegahan secara khusus. Yang penting dialkukan adalah mencegah dan menghindari factor-faktor yang mempermudah timbulnya bronkitis akuta. Pada saat terjadinya perubahan musim dari musim kemarau ke musim penghujan atau apabila kita berada di daerah beriklim dingin atau basah maka kita harus menjaga kondisi fisik sebaik-baiknya agar daya tahan tubuh tetap baik diantaranya dengan tidak terlambat makan, kedinginan, kelelahan dan kehujanan

B.14 PROGNOSIS
Bronkitis akuta pada penderita yang sebelumnya sehat merupakan self limiting disease, tidak menyebabkan kematian. Prognosisnya adalah baik, kecuali timbul komplikasi misalnya pneumonia, sepsis dan sebagainya.
Bronkitis akuta yang timbul komplikasi pneumoni, lebih-lebih kalau terdapat kelainan paru kronik yang mendasarinya (Bronkitis kronis, emfisema paru dan Asma bronchial kronik) atau penderita amat tua, koma dapat menimbulkan kematian kecuali pengobatan tepat. Prognosis penderita-penderita pada kelompok ini umumnya jelek kecuali pengobatannya tepat.

C. BRONKITIS KRONIK
Definisi
Bronkitis kronik merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkhial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekpektorasi selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut – turut(3).
Bronkitis kronik dapat dibagi atas(4) :
 Simple chronic bronchitis : bila sputum bersifat mukoid
 Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis : bila sputum bersifat mukopurulen
 Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran napas yang timbul apabila terpajan zat iritan atau ada infeksi saluran napas akut.
Bronkitis kronik dapat terjadi dari(1) :
 Bronkitis akut
Dapat menjadi Bronkitis kronik, bila :
 Pengobatan atau penanganan yang diberikan kurang tuntas, misal : pemberian obat yang tidak adekut.
 Antibodi dalam tubuh cukup baik, tetapi tidak kuat untuk membynyh kuman – kuman secara tuntas. Kuman – kuman dalam tubuh masih tetap ada dan hidup, walaupun kondisi lemah. Badan hanya dapat melokalisasi saja.
 Ransangan kronik dari radang paru kronik
 Tonsilofaringitis kronik
 Rinitis kronik
 Sinusitis kronik
 Dan lain – lain
Patogenesis(2,4)
Faktor – faktor yang mempengaruhi timbulnya Bronkitis :
 Rokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Commite on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya Bronkitis kronik, dimana terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (Volume Ekspirasi Paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasi kelenjar mukus bronkhus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut.
 Infeksi
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya pun lebih berat. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang pasien Bronkitis kronik hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Diperkirakan eksaserbasi Bronkitis kronik paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabknan infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Haemophilus influenzae dan Steptococcus pneumoniae.
 Polusi
Insidensi dan angka kematian Bronkitis kronik diperkurakan lebih tinggi di daerah industri. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok, risiko akan lebih tinggi. Eksaserbasi akut pada broknhitis sering ditmbulkan oleh polusi sulfur dioksida (SO2) yang tinggi, sedangkan nitrogen dioksida (NO2) dapat menyebabkan obstruksi saluran napas kecil (bronkhiolitis).
 Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit paru kronik, terbukti pada survei terakhir didapatkan bahwa anak – anak dari orang tua yang merokok mempunyai kecenderungan mengalami penyakit paru kronik lebih sering dan lebih berat, serta insidensi penyakit paru kronik pada grup tersebut lebih tinggi.
Faktor genetik tersebut diantaranya adalah atopu yang ditandai dengan adanya eosinofilia atau peningkatan kadar imunoglobulin E (Ig E) serum, adanya hiperresponsif bronkhus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defesiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
 Faktor Sosial Ekonomi
Bronkitis kronik lebih banyak didapat pad golongan sosial ekonomi rendah, mungkin karena perbedaan pola merokok, dan lebih banyak terpajan faktor resiko lain. Kematian pada pasien Bronkitis kronik ternyata lebih banyak pada golongan sosial ekonomi rendah. Mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
 Lingkungan Kerja
Bronkitis kronik lebih sering terjadi pada pekerja yang terpajan zat inorganik, debu organik atau gas yang berbahaya. Pekerja yang terpajan zat tersebut mempunyai kemungkinan Bronkitis kronik 2 – 4 kali daripada pekerja yang tidak terpajan. Secara epidemiologi didapatkan penurunan fungsi paru pada pekerja – pekerja tersebut.

Patofisiologi(2,3,4,5)
Berdasarkan penggunaan nilai aliran yang diperoleh dari manuver kapasitas vital ekspirasi paksa dan pengukuran resistensi jalan napas yang jauh lebih canggih dan sifat kelenturan elastik paru, sudah jelas bahwa Bronkitis kronik dapat terjadi tanpa disertai dengan obstruksi. Akan tetapi, sewaktu pasien mulai merasakan sesak napas (dispne) sebagai akibat proses ini, obstruksi selalu dapat ditemukan. Pada Bronkitis kronik sesak napas terutama disebabkan karena perubahan pada saluran napas kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok – kelok dan kadang – kadang terjadi oblitersai. Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran napas besar juga berubah, terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga saluran napas lebih menyempit.
Bronkitis kronik merupakan penyakit kronis atau kambuh berulang, tetapi perubahan patologi anatomik yang terjadi (dari kambuh satu ke kambuhan berikutnya dan seterusnya) akan bertambah berat dan menetap. Pada akhirnya akan terdapat keadaan (atau timbul komplikasi) yang berat dan membahayakan hidup penderita.
Pada penyakit yang masih ringan (perubahan anatomik ringan), maka belum ada gangguan fungsi pernapasan. Hasil pemeriksaan faal paru belum banyak perubahan berarti.
Pada Bronkitis kronik, hambatan aliran udara napas terjadi terutama pada saat ekspirasi, disebabkan karena tiap awal ekspirasi bronkhiolus respiratorius mengecil. Adanya hambatan aliran udara ekspirasi mengakibatkan peninggian volume udara residual dan kapasitas paru total (total lung capacity). Adanya peninggian volume residual menyebabkan beberapa hal sebagai berikut :
• Penderita terpaksa bernapas pada posisi dada sudah dalam keadaan inspirasi (karena adanya air trapping),
• Volume cadangan inspirasi mengecil,
• Pernapasan penderita menjadi tidak efektif karena tiap inspirasi penderita tidak dapat memasukkan cukup oksigen yang sesuai dengan kebutuhannya.
Adanya kerusakan – kerusakan saluran napas yang terjadi pada Bronkitis kronik menyebabkan gangguan :
• Mucociliary clearance
• Drainage mukus
• Fungsi pertahanan paru

Manifestasi Klinik (2)
 Keluhan
Keluhan utama penderita Bronkitis kronik adalah :
 Keluhan batuk
Gejala batuk dimulai pada permulaan penyakit berupa batuk – batuk ringan di pagi hari. Makin lama batuk makin berat, timbul siang maupun malam hari sehingga mengganggu tidur penderita. Batuk semakin hebat disertai sputum purulent apanila terjadi nfeksi sekunder saluran napas dan berkurang bila infeksi hilang atau mereda.
 Ekspektorasi dahak (sputum)
Umumnya sputum mukoid / putih. Bila terjadi infeksi sekunder pada saluran napas, sputum berubah menjadi mukopurulent atau purulent dan kental. Sering – sering ada hemoptysis ringan.
 Sesak napas
Dalam perjalanan klinik penyakit ini dapat timbul keluhan sesak napas yang berarti telah terdapat obstruksi saluran napas (akibat timbunan sekret bronkus ataupun hipertrofi dan hiperplasia mukosa bronkhus)
 Keluhan – keluhan lain
Misalnya, keluhan – keluahan sesudah terjadi hipoksia ataupun hiperkapnia berat berupa keluhan – keluhan neurologik : kesadaran menurun sampai koma, sakit kepala, tremor, twitching dan kelainan jiwa : mudah tersinggung, marah, dan stupor.
 Pemeriksaan Fisik(2,4)
Bronkitis kronik pada tingkat ringan yang masih dini bisa tidak dijumpai kelainan yang berarti. Pada penyakit tingkat sedang dan berat bisa ditemukan beberapa kelainan fisik berupa :
 Inspeksi :
- Penderita tampak sesak napas
- Mungkin bernapas dengan otot – otot napas tambahan
- Atau penderita tampak sedang batuk – batuk, sifatnya :
• Batuk dalam
• Produktif
• Sputum dapat mukoid  mukopurulent
• Jumlah sputum bervariasi
 Palpasi :
- Sering tidak ditemukan kelainan
- Dapat ditemukan rhonchal fremitus teraba kasar, letaknya di dasa kedua paru, yang menjadi hilanh sesudah batuk dan keluar dahak
 Perkusi :
- Sering tidak ditemukan kelainan
- Bila terdapat emfisema paru  dapat ditemukan suara perkusi hipersonor pad seluruh lapangan paru
 Auskultasi :
- Ditemukan rhonchi basah halus di basal kedua paru (tanda khas)  yang menjadi hilang (atau tidak jelas) sesudah batuk dan keluar dahak
- Apabila rhonchi basah tadi kedengaran keras  ingat mungkin terdapat proses inflamasi yang mengenai bronkhus besar

 Pemeriksaan Radiologi (4)
Peranan pemeriksaan rontgen foto dada sangat membantu dalam menegakkan / menyokong diagnosis penyakit, yaitu untuk menyingkirkan penyakit – penyakit paru lain yang mempunyai gejala sama dengan Bronkitis kronik. Sebenarnya Bronkitis kronik bukanlah diagnosis rodiologik melainkan diagnosis klinis. Dari penelitian para ahli diketahui bahwa antara 26 – 50% penderita Bronkitis kronik mempunyai gambaran rontgen foto dada normal. Tetapi secara radilogis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
a. Tubular shadows atau tram lines terlihat bayangan garis –garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkhus yang menebal. Dari 300 pasien yang diperiksa, ternyata 80% mempunyai kelainan tersebut.
b. Corak paru yang bertambah. Menurut Gamsu dan nadel kira – kira pada 0 – 20% pasien

 Pemeriksaan Faal paru
Pada pasien Bronkitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Kelainan di atas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways) yang dapat dibbuktikan dengan pemeriksaanKAEM, closing volume, flow volume curve dengan o2 dan gas helium dan N2 wash out curve.

 Analisis gas darah
Pada penderita Bronkitis berhubung terdapat perubahan ventilasi paru, dan penderita tudak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik, sehingga umumnya PaCO2 naik dan PaO2 menurun.

 Lain – lain
 Pada hipoksia berat dan lama berlangsungnya dapat ditemukan tanda polisitemi sekunder
 Kelainan EKG. Bila Bronkitis telah berlangsung lama dan telah timbul kor pulmonal kronik, maka dapat ditemui tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan.

Komplikasi(2,4)
Beberapa komplikasi yang bisa ditemukan pada penderita Bronkitis anatara lain :
1. Penyakit berkembang menjadi PPOK
2. Timbul infeksi sekunder paru (eksaserbasi infeksi akut)
3. Pneumotoraks spontan
4. Polisitemia sekunder
5. Kor pulmonal kronik
6. Gagal napas kronik

Pengelolaan(4)
Pengelolaan Bronkitis kronik dapat dibagi atas :
 Penyuluhan
Penyuluhan tentang Bronkitis kronik kepada para pasien sangat penting. Harus diterangkan hal – hal yanga dapat memperberat penyakit, hal – ahal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
 Pencegahan
 Rokok
Hubungan rokok dengan penyakit ini sudah jelas. Karena itu merokok harus dihentikan. Meskipun sukar, penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan.
 Menghindari lingkungan polusi
Sebaiknya dilakukan penyulihan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik – pabrik yang mengeluarkan zat – zat polutan yang berbahaya terhadap saluran napas
 Vaksin
Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influensa dan infeksi pneumokokus.
 Terapi farmakologi
Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan napas yang masih mempunyai komponen yang reversibel meskipun sedikit. Dengan pengurangan obstruksi sedikit saja, akan sangat membantu pasien, hal ini dapat dilakukan dengan:
 Pemberian bronkodilator
- Golongan teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10 – 15 mg/kgBB peroral. Dalam pemberian obat ini harus diperhatikan kadar teofilin dalam darah karena metabolisme teofilin sangat bervariasi pada setiap individu
- Golongan agonis B2
Sebaiknya diberikan secara aerosol atau nebuliser. Dapat juga diberikan komninasi obat secara aerosol maupun oral, sehingga diharapkan mempunyai efek bronkodilator lebih kuat. Efek samping utama adalah tremor, tetapi menghilang dengan pemberian yang agak lama. Beberapa sarjana menganjurkan pemberian obat antikolinergik yaitu ipratropium bromid sebagai aerosol dengan hasil baik.
 Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortiokosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran napas. Pada penelitian mandella dkk terdapat respon yang baik pada 8 dari 38 pasien. Karena itu Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3 – 4 miggu. Kalau tidak ada respons, baru dihentikan.
 Mengurangi sekresi mukus
Usaha untuk mengeluarka dan mengurangi mukus merupakan pengobatan yang utama dan penting pada pengelolaan broknhitis kronik. Untuk itu dapat dilakukan :
• Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer
• Ekspektoran (gliseril gualakolat,kalium yodida dan amonium klorida)
• Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum
• Mukolitik (asetilsistein atau bromheksin)
 Fisioterapi dan rehabilitasi
Mempunyai tujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien sari segi sosial, emosional dan vokasional.
Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
• Mengeluarkan mukus dari saluran napas dengan postural drainage, perkusi dan vibrasi dada
• Memperbaiki efesiensi ventilasi
• Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
 Pemberian O2 jangka panjang
Pemberian O2 terus menerus dan jangka panjang telah terbukti berguna pada pasien Bronkitis kronik yang lanjut dengan hipoksia kronik. Hipoksia kronik dapat menyebabakan vasospasme dan hipertensi pulmonal, serta polisitemia sehingga terjadi kor pulmonal
 Pengelolaan eksaserbasi akut, kegagalan pernapasan dan kor pulmonal
 Eksaserbasi akut, dan kegagalan pernapasan
Penelolaannya yaitu O2 yang terkendali serta menanggulangi infeksi dan obstruksi saluran napas. Pemberian O2 harus sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan narkosis, tetapi cukup untuk oksigenasi. Biasanya kira – kira 1 – 2 L/menit. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, tetrasiklin, trimetroprim-sulfa dan sefalosporin
 Kor pulmonal
Pengelolaan terutama ditujukan terhadap hipoksia alveolar dan asidosis respirasi. Selain memberikan O2 dalam jangka panjang. Diberikan pula bronkhodilator disertai mengusahakan perbaikan mukus. Biasanya diberikan pula diuretikum, kalium, istirahat dan mengurangi garam.

Prognosis(4)
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat


A. ANATOMI TRAKEA
Trakea merupakan lanjutan laring yang berupa pipa, yang terdiri dari tulang rawan dan otot mulai dari katilago krikoid sampai percabangan ke bronkus kanan dan kiri, atau setinggi vertebra cervikal 5 sampai vertebra thorakal 5. Panjang trakea berkisar antara 9-15 cm dengan diameter anteroposterior rata-rata 2-2,5 cm.2,8 Tabung trakea ditunjang kira-kira 18 cincin hialin yang tidak sempurna. Ujung terbuka cincin tulang rawan ini mengarah ke posterior sehingga menyerupai huruf U. Bagian posterior dinding trakea terdiri dari otot trakea yang menghubungkan ujung-ujung bebas tulang rawan berbentuk U tersebut.2 Pembuluh darah besar pada trakea berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas trakea sebelah depan dan lateral. Isthmus melintas trakea di sebelah anteror, biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. N. laryngeus reccuren terletak pada sulcus trakeoesofagus.di bawah jaringan subcutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot leher suprasternal, yang melekat pada kartilago tiroid dan hioid.1

B. DEFINISI TRAKEOSTOMI
Trakeostomi adalah suatu tindakan untuk membuat jalan nafas atau “by pass” pada saluran nafas bagian atas dengan jalan membuat suatu lubang pada dinding depan atau anterior trakea, sehingga terjadi hubungan langsung antara udara luar dengan lumen trakea.1,2 Trakeostomi dapat dilakukan untuk tujuan terapi atau sebagai prosedur berencana pada penderita yang menjalani operasi daerah kepala leher dimana dalam perkiraaan bisa mengalami problem pernafasan.
Menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibedakan menjadi trakeostomi darurat dan trakeostomi berencana.3 Sedangkan menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan menjadi :
1. Trakeostomi tinggi, yaitu dengan cara pengirisan pada cincin trakea 2-3.
2. Trakeostomi rendah, yaitu dengan cara pengirisan pada cincin 4-5 atau di atas fossa jugularis.
Batas dari kedua jenis tersebut adalah setinggi isthmus kelenjar tiroid.4 Trakeostomi tinggi lebih sering dilakukan oleh karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu4:
1. Dekat dengan bangunan pedoman yaitu kartilago tiroid dan krikoid.
2. Letak trakea lebih superfisial.
3. Kanul tidak mudah lepas dan bila lepas mudah dipasang kembali.
4. Saat tindakan dikerjakan tidak terganggu oleh istmus tiroid maupun timus pada anak.
5. Jauh dari pembuluh darah besar, mediastinum dan cupula trakea sehingga kemungkinan komplikasi pada tempat tersebut lebih kecil.

C. INDIKASI TRAKEOSTOMI
Adapun indikasi dari trakeostomi adalah sebagai berikut:3
1. Mengatasi obstruksi laring.
Sebagai penanda adanya sumbatan saluran nafas bagian atas tersebut, Jackson dan Nefson masing-masing telah menyusun suatu perasat, saat dimana trakeostomi harus dilakukan2,5,6. Jackson membagi menjadi 4 stadium untuk sumbatan jalan nafas yaitu:
Perasat 1 : Sesak ringan, stridor ringan, adanya retraksi di suprasternal ringan, penderita masih tampak tenang, belum ada sianosis.
Perasat 2 : Sesak nafas makin berat, stridor semakin nyata, retraksi di suprasternal makin nyata, ditambah lagi dengan timbulnya retraksi di daerah supraklavicula, infraklavicula, intercostal dan retraksi epigastrium ringan. Pasien sudah mulai gelisah.
Perasat 3 : Sesak nafas sangat hebat, stridor nyata,sianosis berat, retraksi makin berat. Pasien sangat gelisah dan dispnea.
Perasat 4 : Tanda-tanda perasat 3 semakin hebat, penderita berusaha menghirup udara atau stragle for air. Muka penderita tampak berwarna abu-abu “ashay grey appearance” terjadi paralisa pusat pernafasan, kesadaran menurun dan akhirnya koma. Pada keadaan seperti ini penderita tampaknya tenang dan tertidur, akhirnya penderita meninggal karena asfiksia.
Nefson membagi kriteria sumbatan jalan nafas bagian atas menjadi dua kategori yaitu:
Kategori I :
Adanya tanda-tanda sumbatan jalan nafas yang hebat, seperti: sianosis yang berat, retraksi yang dalam, suara nafas makin lemah. Penderita tampak ketakutan.

Kategori II :
Adanya tanda-tanda kelelahan seperti : nadi tidak teraba, takikardi, nafas cepat dan dangkal, stupor dan kejang akhirnya koma.
Pada prakteknya penentuan derajat sumbatan jalan nafas atas lebih banyak menggunakan perasat Jackson. Trakeostomi sebaiknya dilakukan pada waktu yang seawal mungkin yaitu sebelum terjadi kategori I menurut Neffson atau sebelum Jackson perasat III.7
2. Mengurangi death air space di saluran nafas bagian atas seperti rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stome maka seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang teringgal di death air space itu. Hal itu berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada penderita yang tidak dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada penderita dalam koma.
4. Untuk memasang respirartor (alat bantu pernafasan).
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.

D. INSTRUMEN DAN TEHNIK TRAKEOSTOMI.1,2,4,6
Alat atau instrumen yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah lampu kepala, spuit dengan obat anastesi lidokain 0,5 % atau prokain 2%, dicampur dengan epinephrine atau adrenalin (1:100.000), scalpel, klem arteri, kait luka no. 2-3, gunting kecil, dilator trakea, pisau lanset, kanul trakea.4
Tehnik operasi trakeostomi yang baik dapat menghindarkan terjadinya komplikasi trakeostomi seminimal mungkin sehingga perawatan trakeostomi dapat dikerjakan lebih lancar. Di sini tehnik operasi trakeostomi dapat dibedakan :
a. Trakeostomi yang dikerjakan pada kasus darurat harus memperhatikan :
1. Operasi yang dikerjakan dalam kamar operasi dengan penerangan yang memadai
2. Posisi : ekstensi kepala yang berlebihan sebaiknya dihindarkan. Untuk mencegah hal itu, diletakkan sebuah bantal pasir kecil pada bagian bawah bahu penderita.
3. anestesi : lokal infiltrasi dengan lidokain 0,5 % atau prokain 2%, dicampur dengan epinephrine atau adrenalin (1:100.000). Pada kasus dengan koma dilakukan tanpa anestesi.
4. insisi : vertikal pada garis tengah dibagian depan leher, antara kartilago tiroid sampai manubrium sterni dengan kartilago krikoid sebagai petunjuk, diraba dengan jari.
5. pemisahan jaringan pada garis tengah dengan pisau atau secara tumpul sampai trakea teraba
6. istmus tiroid disisihkan keatas atau kebawah atau dipotong ditengah diantara klem kemudian ujung potongan dijahit
7. pembukaan trakea pada cincin ketiga, dengan insisi vertikal pada dinding depan, kadang - kadang pada cincin 2 atau 4. sebelumnya diberikan injeksi kedalam trakea dengan anestesi lokal 1 - 2 ml
8. pemilihan tube, ukuran, bentuk dan panjang adalah penting dengan ujung depan atau belakang tidak traumatik. Menurut Boies, untuk dewasa biasa dipakai tube jackson no 7, untuk tube yang diperlengkapi dengan cuff harus dengan yang tekanan rendah, volume besar.
9. pemasangan tube : dengan ukuran yang sesuai setelah dilakukan pengisapan, kemudian fiksasi dengan pita keleher, posisi kepala antara fleksi dan ekstensi.
10. penutupan luka : sebelumnya dilihat titik perdarahan. penutupan sebisa mungkin dengan jahitan yang longgar pada luka irisan, atau tidak perlu jahitan. untuk menghindarkan pemasangan ulang tube. Diantara tube dan kulit dipasang verban.
11. X-Foto Thorak, untuk mengetahui komplikasi di paru, tetapi tidak rutin dilakukan
b. Trakeostomi yang dilakukan pada operasi elektif, diperhatikan hal sebagai berikut :
1. posisi kepala ekstensi sedang
2. anestesi dengan anestesi umum
3. insisi transversal 2 cm dibawah kartilago krikoid.
4. penutupan luka, dijahit longgar pada tepi luka sampai lubang stoma trakea, sebelum ukuran tube yang dapat dipasang.
5. x - foto thorak, untuk mengetahui komplikasi di paru, tetapi tidak rutin dilakukan
c. Trakeostomi Pada Anak
Dalam pelaksanaan trakeostomi elektif pada anak dan bayi, diperlukan suatu ventilasi terkontrol dengan masker atau tuba. Jika jalan nafas terkontrol, suatu insisi horizontal akan lebih memuaskan secara kosmetik, sedangkan diseksi garis tengah secara teliti adalah penting oleh karena pembuluh-pembuluh besar terletak berdekatan. Pemasangan tuba endotrakea atau bronkoskop memudahkan tindakan ini. Saat inspirasi, kupula pleura meluas kedalam leher, terutama dalam pernafasanbertekanan positif. Hal ini harus dihindarkan selama diseksi, karena kupula dapat menekan trakea. Trauma pada kupula akan menimbulkan pneumotoraks. Aspirasi jarum pada trakea merupakan prosedur yang dapat diterima pada anak, untuk memastikan agar suatu pembuluh besar arteri jangan sampai dikelirukan dengan jalan nafas. Jahitan sutera dibuat vertikal pada cincin kedua dan ketiga (dan kadang-kadang keempat). Sekali lagi, kartilago krikoid dan cincin pertama tidak boleh diganggu. Jaringan trakea tidak dieksisi pada anak. Gunakan ukuran tube yang sesuai dengan ukuran rima glottis.1

E. KOMPLIKASI TRAKEOTOMI 1,2,4,9
Komplikasi trakeostomi dapat digolongkan menjadi tiga :
a. komplikasi pada saat operasi
b. komplikasi awal sesudah operasi
c. komplikasi lanjut sesudah operasi

a. komplikasi pada saat operasi
1. perdarahan vena
perdarahan yang berasal dari vena - vena yang berhubungan dengan vena jugularis atau vena - vena tiroid
2. perdarahan arteri
umumnya berasal dari a.tiroid, perdarahan dari arteria inominata sangat jarang terjadi. pada anak peradrahan pada dinding anterior trakea atau leher masih banyak.
3. apneu
adanya penumpukan CO2 didalam alveoli, maka pada saat trakea dibuka CO2 keluar dengan cepat. konsentrasi didalam darah menurun sehingga reseptor pernapasan tidak bereaksi dengan rangsangan O2 dan dapat terjadi apneu.
4. bradikardi, hipotensi dan cardiac arrest
dapat terjadi karena vagal reflek yang berhubungan dengan keadaan hipoksia. tetapi dapat juga karena manipulasi di oral pada waktu menekan lidah atau waktu manipulasi didaerah laring.
5. false passage
kanula masuk ke jaringan sekitar trakea, menembus pada trakea, dinding belakang trakea atau ousefagus.
6. kerusakan nervus rekuren
komplikasi ini terjadi karena insisi transversal dan terlalu luas pada saat trakeostomi. keadaan ini dapat berakibat parese atau paralise pita suara unilateral ataupun bilateral. selain karena insisi transerversal yang terlalu luas dapat terjadi juga pada waktu tindakan trakeostomi darurat.
7. kerusakan tulang rawan krikoid
trauma terjadi bila trakeostomi dilakukan pada cincin trakea 1 - 2. tulang rawan krikoid kolaps sehingga aliran udara terganggu.
8. kerusakan jaringan paru
karena pemberian artifisial respirasi yang terlalu kuat tekananya maka akan merusakkan jaringan paru. hal ini dapat menyebabkan cardiopulmoner kolaps yang irreversibel.
9. obstruksi bronkus – bronkioli
obstruksi terjadi karena bekuan darah atau sekret yang kental dan lengket. sekret paru sering menambah berat sumbatan jalan napas.
10. emboli
terpotongnya vena - vena besar dan adanya tekanan negatif akan menarik udara masuk kedalam sistem vena, sehingga terjadi emboli udara.
11. pneumotorak
karena diseksi di daerah peri trakea yang mengenai kupula paru, sehingga terjadi ruptuira pleura. komplikasi ini sering terjadi pada anak - anak karena pleura pada anak - anak lebih tinggi, tetapi komplikasi ini jarang menyebabkan kematian meskipun ada sarjana yang melaporkan ruptur pleura dapat menyebaabkan kematian
b. Komplikasi awal sesudah operasi
1. emfisema subkutan, pneumomediastinum, pneumotorak
- emfisema sub kutan
penjahitan kulit yang terlalu rapat disekitar stoma, menyebabkan udara yang keluar tidak dapat menembus kulit, sehingga terjadi emfisema. emfisema dapat meluas ke orbita kadang - kadang sampai seluruh dinding thorak. pada keadaan ini harus waspada akan adanya pneumothorak ataupun pneumomediastinum.
- Pneumothorak
dapat terjadi karena tindakan kita melukai kupula pleura atau karena menghisap lendir terlalu kasar sehingga melukai bronkus.
- pneumomediastinum
adanya tekanan negatif intra torakal pada waktu inspirasi pada sumbatan jalan napas bagian atas, akan menyebabkan udara mudah tersedot kedalam mediastinim pada saat membuat irisan kulit dan jaringan dibawahnya.
2. infeksi
Meskipun ringan infeksi ini tidak dapat dihindari sehingga perlu mendapat perhatian dengan memberikan antibiotik untuk mencegah infeksi yang lebih berat. Infeksi yang lebih berat dapat mengenai paru dan mediastinum.
3. sumbatan kanula trakea
Hal ini sering tejadi karena kelembapan udara yang kurang baik dan pemberian O2 yang kurang baik tetapi dapat juga karena penghisapan sekret yang kurang baik. keadaan ini akan menyebabkan terbentuknya sekret yang kental dan lengket. terbentuk juga krusa - krusta yang akan menyumbat kanula trakea.


c. komplikasi lanjut setelah operasi
1. atelektase
komplikasi sering terjadi karena aspirasi sekret atau bekuan darah yang menyumbat salah satu cabang bronkus. tetapi dapat juga karena kanula yang terlalu panjang sehingga menutup salah satu cabang bronkus.
2. trakeo oesophagal fistula
posisi kanula trakea melukai dinding belakang trakea dan merobek ‘THE PARTY WALL‘ ataupun menekan dinding belakang trakea terus - menerus sehingga terjadi fistula trakea oesephagal
3. fistula trakeo kutaneus
biasanya terjadi pada trakeotomi lama dimana telah terjadi epitelisasi pada luka operasi.
4. trakeo malasi
jarang terjadi biasanya karena ukuran dan kelengkukan kanula tidak sesuai sehingga menekan cincin trakea diatas stoma dan cincin trakea menjadi lunak.
5. aspirasi
karena mekanisme proteksi dari laring berkurang maka benda asing mudah masuk

F. PERAWATAN TRAKEOSTOMI 1,2,9
Keberhasilan trakeostomi juga tergantung dari perawatan pasca trakeostomi dan beberapa petunjuk yang perlu mendapat perhatian ialah :
1. Kamar penderita harus mendapat ventilasi yang baik, dan udara dalam kamar harus lembab. Ini untuk mencegah terbentuknya krusta karena lendir yang mengering dan rusaknya cilia karena hembusan udara dingin yang kering.
2. Penghisapan lendir
Karena refleks batuk berkurang, sekret trakea harus dihisap melalui lubang kanul. Beberapa hal yang perlu diperhatikan :
- pemakaian masker, cuci tangan dan penggunaan kateter steril merupakan cara mencegah infeksi karena aspirasi.
- Penghisap lendir harus dimatikan pada waktu memasukkan kateter menempel pada trakea.
- Kedua bronkus utama harus dihisap.
3. Kebersihan Kanul
Pada penggunaan kanul logam :
- Kanul dalam dapat dikeluarkan sambil membawa krusta dua kali sehari
- Kanul luar dibersihkan sekali sehari
4. Jika penderita sesak kembali, hal ini berarti adanya obstruksi dan perlu diisap dengan kateter dan jika tak berhasil, ingat kemungkinan terlepasnya kanul dari lubang trakea.
5. Ingat bahwa diameter kanul pada anak kecil adalah amat kecil dan akan mudah tersumbat oleh sekret.
6. Sekret yang mengering dapat diencerkan dengan meneteskan larutan garam fisiologis kedalam kanul.
7. Kanul karet atau polyethena dapat mencegah masuknya sekret dan makanan ke jalan nafas karena mempunyai kuf, tetapi harus dilepas semua pada waktu membersihkan karena hanya terdiri atas satu bagian. Kuf harus dikempiskan sekurang-kurangnya 5 menit tiap jam untuk mencegah nekrosis iskemik dinding trakea.
8. Kanul cadangan dipersiapkan disamping tempat tidur penderita bersama “forceps” dan “introducer” untuk perbaikan jalan udara bila kanul terlepas.
9. Kadang-kadang diperlukan pipa naso gaster oleh karena penderita tak mampu makan setelah operasi.
10. Karena penderita tak mampu bicara, diperlukan bel, pensil, dan kertas untuk memberitahukan keadaan darurat.
Selain perawatan pasca tracheostomi menurut Hawkins dan Kirchner 1,10, tindakan trakeostomi sendiri merupakan tindakan operasi yang keberhasilannya tergantung dari : umur penderita, berat ringannya penyakit, dan keterampilan operator.

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
Tonsil termasuk sistem retikulo endotelial, terdiri atas 3 macam, yaitu :
1. Tonsila faring atau adenoid, terletak di nasofaring melekat di dasar tengkorak, dimana struktur limfoidnya tersusun dalam lipatan2. Mempunyai kripte yang lebih sedikit dibandingkan tonsila palatina. Permukaannya terdiri dari epitel yang mengikat3.
2. Tonsila palatina atau tonsila fausial berjumlah 2 buah terletak pada fosa tonsilaris yang terletak diantara plika anterior dan plika posterior di kanan dan kiri orofaring. Mempunyai lekukan yang disebut kripte dan trabekula, yang di dalamnya terdapat sentrum germinativum suatu penghasil limfosit. Sistem kripte yang komplek ini menyebabkan tonsila palatina lebih sering terkena penyakit daripada komponen cincin limfoid yang lain, karena pada kripte ini sering terisi detritus yang berisi epitel, limfosit, bakteri dan sisa makanan yang merupakan tempat utama untuk pertumbuhan bakteri patogen2,3.
3. Tonsila lingual berjumlah 2 buah yang letaknya berdekatan satu sama lain di pangkal lidah. Mempunyai kripta – kripta kecil yang tidak terlalu berlekuk – lekuk atau bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina2,3.
Vaskularisasi tonsil berasal dari arteri dan vena sebagai berikut:
a. arteri palatina descenden cabang dari a, maksilaris interna memperdarahi kutub bagian atas dari tonsil.
b. arteri. palatina ascenden, cabang dari a. Carotis eksterna memperdarahi kutub atas tonsil dan daerah tengah
c. arteri. faring ascenden cabang dari a. Carotis eksterna memperdarahi kutub bawah tonsil
d. arteri. lingualis posterior cabang dari a. Lingualis memperdarahi kutub bawah tonsil
e. vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksusu dari faring.
Dari vaskularisasi ini kuman yang berasal dari fokal infeksi dapat masuk ke dalam darah sehingga dapat menyebabkan bakteriemia dan terjadi infeksi ditempat lain.
Vasa limfatika tonsil hanya memiliki saluran efferen yang dibentuk oleh vasa tonsilaris. Vasa efferen tersebut membawa sel-sel limfosit dari kripte masuk ke duktus limfatikus yang kemudian masuk nodus limfatikus servikalis profunda superior serta jugularis.
Ketiga macam tonsil ini satu sama lain dihubungkan oleh jaringan limfe, sehingga merupakan lingkaran mengelilingi lumen yang di sebut cincin waldeyer4,6. Cincin ini mempunyai fungsi pertahanan tubuh utama terhadap kuman – kuman yang masuk lewat udara pernafasan, makanan, dan minuman4. Arti tonsil dalam perkembangan kemampuan imunologis paling besar pada tahun – tahun awal kehidupan. Anak – anak dengan episode ulangan faringitis dan otitis media mengalami penurunan yang ringan dalam kemampuan menghasilkan Ig A2. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Pada permukaan medial tonsil terdapat kriptus sedangkan pada permulaan lateral terdapat kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi6.
Jika tonsil ini terinfeksi oleh bakteri atau virus yang ikut tertelan dan menjadi suatu peradangan disebut tonsilitis4. Infeksi ini dapat juga mengenai tenggorok dan daerah sekitarnya yang disebut faringitis4.

B. TONSILITIS KRONIK

1. Etiologi

Penyebab paling banyak Streptoccocus beta hemolitikus1,2,3. Tapi dapat pula disebabkan oleh pneumokokus, stafilokokus, haemophylus influenzae, dan virus.
Kadang – kadang streptokokus non hemolitikus atau streptokokus viridans ditemukan dalam biakan pada kasus – kasus berat, dapat pula dibiakkan dari tenggorokan orang yang sehat khususnya pada musim dingin dan pada saat epidemi infeksi pernafasan akut, sedangkan streptokokus hemolitikus dapat pula ditemukan pada orang yang tampak sehat2.

2. Faktor Predisposisi

Rangsangan kronik (rokok, makanan ), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, dan higiene mulut yang buruk5,6. Tonsilitis kronik juga dapat terjadi oleh rangsangan dari infeksi tempat lain, misalnya dari sinusitis kronik, rhinitis kronik, OMP kronik dan juga karies gigi3.

3. Patogenesis dan Patofisiologis Tonsilitis

Patogenesis ini dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte-kriptenya, sampai disitu secara ”airogen” (melalui hidung, droplet yang mengandung kuman, terhisap oleh hidung kemudian ke nasofaring terus ke tonsil) maupun secara foodborn yaitu melalui mulut bersama makanann.
Sedangkan patofisiologis dari tonsilitis adalah fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik melalui hidung, mulut, kuman yang masuk akan dihancurkan oleh sel-sel limfosit, sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terinfeksi akibatnya kuman dapat bersarang di tonsil, sehingga fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi.
Pada tonsilitis kronik terjadi perubahan histologik pada tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi zona sel radang.
Pada radang kronis terdapat 2 bentuk, hipertrofi / hiperplasi dan atrofi. Karena proses radang berulang, maka selain epitel mukosa terkikis, jaringan limfoid terkikis juga, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut. Jaringan parut ini sesuai dengan sifatnya, akan mengalami pengerutan. Kelompok jaringan limfoid mengerut, sehingga ruang antara kelompok melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus, dan kriptus ini terisi oleh detritus. Proses berjalan terus, sehingga menembus kapsul, akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak, proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula6. Tonsilitis kronik dapat menyebabkan sakit tenggorok kambuhan atau serangan tonsilitis akut berulang1.
4. Gambaran Klinis

Diantara gejala-gejala klinik tonsilitis kronik antara lain :
1. Rasa tidak enak di tenggorok, misalnya seperti ada benda asing (mengganjal yang permanen atau sedikit sakit tapi konstan.
2. Disertai atau tidak keluhan sering sakit menelan yang berulang sedikitnya 4 kali dalam setahun.
3. Tetapi sering juga tidak ada keluhan sama sekali, yang ada justru perasaan malaise (tidak enak badan, pusing lesu, tidak nafsu makan, dll), disertai suhu badan nglemeng (subfebril) sekurang-kurangnya 6 bulan.
4. Pada pemeriksaan :
- Tonsil berbenjol-benjol besarnya tidak tentu
- Kripte melebar
- Terkadang bila ditekan keluar detritus dari kripte
- Kadang-kadang pembesaran kelenjar limfe subangulus mandibula yang tidak nyeri tekan

5. Diagnosis

Diagnosis sebagian besar tergantung pada inspeksi dari gambaran klinis diatas, disertai dengan pemeriksaan penunjang berupa biakan dari tonsil dan permukaan dinding belakang tenggorok, ASTO test ( Anti Streptolisin Titer O ), Lab darah, dan uji resistensi kuman2,4,5,8.
6. Komplikasi

Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya secara infeksi perkontinuitatum berupa Rhinitis kronik, sinusitis, dan otitis media. Komplikasi secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh berupa endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritis, urtikaria dan furunkulosis4,5,6.
7. Penatalaksanaan
1. Terapi lokal yang ditujukan pada higiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.
2. Terapi medikamentosa dengan Antibiotika pada umumnya diberikan selama 10 hari9. Pemberian Antibiotik jangka panjang belum tentu dapat mengurangi gejala pembesaran tonsil. Jika gejalanya berkurang, tidak perlu dilakukan tonsilektomi karena pembesaran tonsil dapat berkurang dengan sendirinya terutama pada anak – anak. Tapi jika penyakit tonsilitis tersebut menetap atau pertumbuhannya mengancam kesehatan pasien, perlu dikonsulkan ke Ahli THT10. Pada era pre Antibiotika tidak ada terapi medik yang baik untuk tonsilitis. Karena tingginya komplikasi serius setelah infeksi, tonsilektomi hampir selalu dilakukan pada anak – anak di Amerika Serikat. Dengan adanya Antibiotik, frekuensi tonsilektomi menurun drastis sampai 20 – 30 tahun berikutnya10.
3. Terapi radikal dengan Tonsilektomi kini dilakukan dengan indikasi khusus, yaitu jika terapi medis gagal untuk memperbaiki kondisi pasien.
Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris atau abses peritonsilaris. Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris. Paling sering, mereka mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi penyerta. Beberapa episode mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri.
Indikasi absolut. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini :
2. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.
3. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
4. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan penyerta.
5. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
6. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Indikasi relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif antara lain :
9. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan penatalaksanaan medis yang adekuat).
10. Tonsilitis yang berhubungan dengan gerakan streptokokus menetap dan patogenik (keadaan karier).
11. Hiper plasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan).
12. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mono nukleosis (biasanya pada dewasa muda).
13. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan tonsilotus rekuriens kronis dan pengendalian anti biotik yang buruk.
14. radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).
15. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas oro fasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan nafas bagian atas.
16. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.
Kontra indikasi. Non indikasi dan kontra indikasi untuk tonsilektomi adalah di bawah ini:
11. Infeksi pernafasan bagian atas yang berulang
12. Infeksi sistemik atau kronis
13. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
14. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi
15. Rinitis alergika
16. Asma
17. Diskrasia darah
18. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
19. Tonus otot yang lemah
20. Sinusitis.

MANFAAT TONSILEKTOMI10 :
a. Menurunkan frekuensi dan memberatnya infeksi akut.
b. Membebaskan obstruksi jalan nafas.
c. Memperbaiki gejala lain yang disebabkan oleh penyakit tonsil, termasuk sulit menelan dan pembesaran limfe.
PENGOBATAN DAN PERAWATAN PASCA TONSILEKTOMI3 :
a. Pengawasan tensi dan nadi tiap 10 – 15 menit sampai sadar.
b. Sebelum sadar, kepala penderita harus dimiringkan.
c. Awasi pendarahan yang keluar dari mulut, jangan sampai tertelan.
d. Makan saring atau cair.
e. Antibiotik dan analgetik sirup
f. Kalau perlu diberi suntikan anti pendarahan.
g. Kalau perlu kompres es.

KOMPLIKASI
1. Komplikasi perdarahan
Perdarahan adalah komplikasi paling sering dari tonsilektomi. Komplikasi perdarahan pasca tonsilektomi dibedakan menjadi : perdarahan primer yaitu perdarahan yang terjadi dua puluh empat jam pertama pasca tonsilektomi. Perdarahan ini sering terjadi. Penyebab perdarahan ini adalah adanya sisa jaringan limfoid yang tidak terangkat hingga mengganggu kotraksi pembuluh darah, juga teknik operasi yang kurang baik dapat memotong pembuluh darah agak besar terutama pada metode deseksi kemudian tidak dilakukan ligasi atau ligasi tidak kuat.
8. Komplikasi trauma instrumen
Komplikasi trauma instrumen dapat terjadi baik instrumen anestesi maupun instrumen untuk operasi.
Trauma instrumen dapat berupa laserasi : bibir, mulut, faring atau laring. Trauma gigi sering pada anak atau orang tua, dapat lepas atau patah menjadi benda asing saluran cerna atau saluran napas. Tonsilektomi yang tergesa-gesa menyebabkan trauma faring, palatum atau uvula. Penggunaan pompa isap yang berlebihan menyebabkan udem sesudah operasi.
9. Komplikasi anestesi
Telah menjadi kebiasaan untuk memberikan anestesi umum pada waktu melakukan tonsilektomi. Tindakan ini sangat menolong penderita untuk mengurangi rasa sakit maupun ketakutannya, dan operator dapat bekerja lebih tenang.
Komplikasi anestesi dapat terjadi sebagai akibat obat-obatan anestesi dan trauma dari alat anestesi yang digunakan. ”Endotracheal tube” dapat menyebabkan udem subglotik sesudah ekstubasi, dengan keluhan sebagai obstruksi jalan napas bagian atas. Aritmia kardial terjadi karena rangsangan vagal akibat instrumen.
10. Komplikasi neuromuskuler
Problema penelanan sering terjadi pada penderita sesudah tonsilektomi. Kadang-kadang problem ini berat sehingga diperlukan analgesi dan terapi cairan melaui infus. Penyebabnya dapat akibat trauma otot-otot penelanan selama opersi, atau akibat kurangnya gerak otot setempat menimbulkan kekakuan otot, terutama penderita yang menolak makan atau minum.
11. Bakteriemia
Bakteriemia dapat terjadi waktu berlangsung dan sesudah tonsilektomi. Van Eyk mendapatkan bakteriemia yang sifatnya sementara saja, tanpa menimbulkan gejala-gejala klinis dan berlangsung tidak lebih dari satu jam pada penderita sesudah tonsilektomi.
Bila penderita tetap panas sesudah tonsilektomi dipikirkan adanya bakteriemia, diperlukan kultur darah dan pemebrian antibiotika. Perlu dipertimbangkan pemberian antibiotika sesudah tonsilektomi sebagai perlindungan adanya infeksi pada kasus-kasus tertentu.
12. Telinga
Nyeri telinga sering dialami penderita sesudah tonsilektomi akibat penjalaran sakit dari fosa tonsiler.
13. Komplikasi paru
Komplikasi paru dapat berupa : atelektase, bronkopneumoni, bronkitis dan abses paru. Keadaan ini dapat terjadi akibat aspirasi gumpalan darah. Dengan teknik anestesi dan operasi yang lebih baik komplikasi dapat dihindari.

A. ANATOMI ESOFAGUS1,2
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus atau porta esofagus yang terletak setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal 6.
Dalam perjalanannya dari daerah servikal, esofagus ini masuk ke dalam rongga toraks. Di dalam rongga torak, esofagus berada di mediastinum superior antara trakea dan kolumna vertebra terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm di depan vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen di bawah diafragma dan selanjutnya membesar yang disebut lambung atau gaster. Esofagus merupakan bagian traktus digestive yang paling atas memanjang antara vertebra servikal 5-6 sampai pintu masuk kardia setinggi vertebra torakal 10.
Berdasarkan letaknya, esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan abdominal. Esofagus tidak selalu terletak di garis tengah, tetapi mempunyai lengkungan pada bidang sagital dan koronal. Lengkung di bidang sagital dipengaruhi oleh bentuk lengkung kolumna vertebra, kecuali di bagian distal. Lengkung di bidang koronal bila dilihat dari depan, tampak lengkung dibagian proksimal ke kiri, sedangkan lengkung di bagian distal, yaitu di daerah torako-abdominal ke kanan, sehingga esofagus tampak berbentuk huruf S.

Perdarahan atau vaskularisasi
Bagian servikal esofagus mendapat perdarahan dari a. Tiroidea anterior, bagian torakal esofagus dari a. Bronkialis dan an interkostalis, sedangkan bagian abdominal mendapat perdarahan dari a. Gastricus sinistra dan a. Frenicus inferior.
Aliran vena dari pleksus vena di submukosa akan masuk ke vena tiroidea inferior dan terus ke v. Azigos dan v. Hemiazigos. Dari bagian abdominal esofagus darah masuk ke dalam v. Gastricus sinistra dan terus ke vena kava inferior.
Persarafan atau innervasi
Esofagus disarafi oleh sistem saraf otonom simpatis serta parasimpatis. Keduanya bekerja antagonis. Saraf simpatis melalui saraf spinal mengandung serabut efferen dan afferen yang menyalurkan impuls ke dan dari pembuluh darah, kelenjar, otot dan mukosa. Saraf parasimpatis melaui n. Vagus yang mengandung serabut efferen dan afferen ke visceral. Serat-serat afferen ini membawa informasi dari organ-organ saluran pencernaan ke otak, sedangkan melalui serat-serat efferen memungkinkan sistem pusat mengendalikan pencernaan.

B. FISIOLOGI ESOFAGUS1,2
Fungsi esofagus ada 2 macam, yaitu diglutasi dan alir sekret. Sebagai alir sekret dapat mencegah mengalirnya sekret ke laring dan penimbunan bakteri di rongga mulut, rongga hidung, faring dan paru.
Sebagai saluran makan dari faring ke lambung, makanan dapat melalui esofagus karena adanya peristaltik, gerakan mekanik sebagai suatu proses diglutasi dan gravitasi.
Proses menelan akan berhasil baik bila terdapat keadaan sebagai berikut :
1. pembentukan bolus makanan dengan ukuran konsistensi yang baik
2. mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan
3. kerjasama yang baik dari oto-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke distal, ke arah lambung
4. mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring
5. mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi
6. mencegah refluks makanan dari gaster ke esofagus
7. usaha untuk membersihkan kembali esofagus
Proses menelan merupakan proses yang kompleks, harus terintegrasi secara keseluruhan dan terlibat secara berkesinambungan mulai dari mulut, faring, laring dan esofagus.




BAB III
KELAINAN – KELAINAN PADA ESOFAGUS

Kelainan-kelainan yang ada di esofagus antara lain :
1. Kelainan kongenital, contohnya atresia esophagus dan fistula trakeo - esofagus
2. Divertikulum esophagus
3. Kelainan neurologik, seperti akalasia
4. Varises esofagus
5. Esofagitis korosif
6. Benda asing esophagus
7. Penyakit refluks gastroesofagus
8. Tumor esofagus
Secara umum perlu dikenal gejala kelainan yang mengenai esofagus, antara lain :
1. Disfagia (sukar menelan)
2. Regurgitasi (makanan yang belum dicerna dimuntahkan kembali)
3. Odinofagia (rasa nyeri ketika menelan)
4. Rasa panas atau terbakar di daerah substernal dan epigastrium
5. Rasa nyeri di sepanjang esofagus, misalnya nyeri di daerah substernal menunjukkan kelainan di esofagus servikal, nyeri di daerah prekordial menunjukkan kelainan di esofagus torakal, nyeri di epigastrium menunjukkan kelainan di daerah esofagus abdominal atau gaster.
6. Hematemesis1







1. KELAINAN KONGENITAL
a. Atresia esophagus
b. Fistula trakeoesofagus

Etiologi
Penyebab kelainan ini sampai saat ini belum diketahui, tetapi dari beberapa laporan kelainan ini dapat ditemukan dalam satu keluarga.

Gejala dan Tanda
Pada bayi baru lahir ditemukan pengumpulan secret di mulut dan dapat terjadi aspirasi berulang, Sedangkan pada anak, saat diberi minum timbul gejala tersedak, batuk, regurgitasi, gawat nafas dan sianosis.
Pada atresia esophagus yang terisolasi dan atresia esophagus yang disertai fistula trakeoesofagus di bagian proksimal biasanya tidak ditemukan udara di dalam lambung. Sedangkan pada atresia esophagus yang disertai fistula trakeoesofagus di bagian distal karena udara masuk ke lambung ditemukan gejala perut kembung.

Diagnosis
Pada bayi yang dicurigai menderita atresia esophagus terisolasi, dapat dimasukkan kateter berukuran 8 – 10 French yang dibasahi dengan kontras lipiodol melalui hidung sampai ke esophagus. Kemudian dibuat foto rontgen anteroposterior mulai dari kepala, leher dan abdomen. Pada atresia esophagus yang terisolasi akan tampak kateteter tersebut melingkar di daerah atresianya, dan tidak tampak adanya udara di lambung.
Sedangkan pada fistula trakeoesofagus yang terisolasi jika fistelnya besar dapat dilihat dengan esofagogram ( menggunakan kontras lipiodol ). Pada foto rontgen anteroposterior akan terlihat lambung terisi udara dan kadang – kadang ditemukan gambaran aspirasi pada paru.


Penatalaksanaan
Jika diagnosis atresia esophagus dan fistula trakeoesofagus telah ditegakkan penderita dipersiapkan untuk operasi. Sebelum operasi, dibuat foto toraks untuk melihat adakah anomali jantung atau arkus aorta yang terletak di sebelah kanan. Jika tidak terdapat anomali jantung dan kelainan letak arkus aorta , dilakukan operasi torakotomi lateral dari sebelah kanan. Pada atresia esophagus dilakukan anastomosis, sedangkan pada fistula trakeoesofagus dilakukan penutupan fistel dan anastomosis.

2. DIVERTIKULUM ESOFAGUS
Klasifikasi
Menurut lokasi dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Divertikulum faringoesofagus ( Divertikulum Zenker )
Terletak di perbatasan faring dan esofagus
b. Divertikulum parabronkial
Terletak di perbatasan bifurkatio trakea
c. Divertikulum epifrenik
Terletak di sepertiga bawah esophagus, di atas diafragma

Menurut cara terbentuknya dapat digolongkan menjadi 3 bagian :
a. Divertikulum desakan ( Pulsion diverticulum )
b. Divertikulun tarikan ( Traction diverticulum )
c. Diverticulum congenital

Patogenesis
Divertikulum desakan merupakan divertikulum palsu yang terjadi akibat terdapatnya cacat otot antara serat oblik dari otot konstriktor inferior faring dengan serat transversal dari otot krikofaring. Akibat desakan pada sat menelan mukosa terdorong keluar membentuk kantong yang makin lama makin membesar sehingga terbentuk divertikulum yang terletak antara esophagus dan tulang belakang.
Divertikulum tarikan merupakan divertikulum asli yang biasanya berasal dari proses peradangan yang berdekatan dengan esophagus dimana terbentuk kontraktur jaringan ikat pada dinding esophagus yang kemudian menarik dinding esophagus ke arah luar.

Etiologi
- Divertikulum trakeoesofagus disebabkan karena gangguan motilitas dari esophagus, kelainan congenital atau kelemahan yang didapat pada dinding otot hipofaring atau esophagus.
- Divertikulum parabronkial disebabkan oleh kelainan congenital atau tuberculosis kelenjar limfe mediastinum.
- Divertikulum epifrenik penyebab yang pasti belum dapat ditentukan , tetapi diduga kemungkinan akibat kelemahan dinding otot secara congenital.

Gejala
a. Gejala yang ditimbulkan divertikulum faringoesofagus tergantung dari tingkat pembentukan divertikulum
- Pada tingkat pertama mungkin tanpa gejala atau terdapat retensi makanan yang bersifat sementara
- Pada tingkat kedua dimana kantong sudah berbentuk globul ( globular shape ) dan telah meluas ke daerah inferior – posterior akan terjadi pengumpulan makanan, cairan serta mucus di dalam diverikel yang tidak berhubungan dengan obstruksi esophagus. Jika terjadi spasme esophagus akan ditemukan gejala disfagia. Kadang – kadang ditemukan gejala regurgitasi setelah minum atau makan pada malam hari.
- Pada tingkat ketiga karena pengaruh gaya berat dari isi divertikulum, menyebabkan kantong dapat meluas sampai ke daerah mediastinum. Gejala yang ditimbulkannya berupa disfagia yang hebat. Regurgitasi dapat terjadi segera setelah makan atau minum. Gejala yang menonjol adalah aspirasi atau regurgitasi pada malam hari saat penderita tidur.
b. Pada divertikulum parabronkial jika tidak terdapat komplikasi, tidak menimbulkan gejala karena divertikulum dapat kosong dengan mudah. Jika terdapat komplikasi gejala yang ditimbulkannya berupa rasa nyeri di daerah substernal dan disfagia.
c. Divertikulum epifrenik biasanya menimbulkan gejala disfagia, nyeri epigastrium, regurgitasi, anorexia, perasaan terbakar di dada serta penurunan berat badan.

Diagnosis
• Pemeriksaan radiologik
Dengan menggunakan kontras barium, jika divertikulumnya besar akan tampak kontras barium mengisi divertikulum tersebut. Divertikulum tampak lebih jelas pada rontgen foto lateral. Selain itu perlu dibuat foto toraks postero anterior untuk melihat adakah tanda – tanda pneumoni aspirasi.
• Pemeriksaan esofagoskopi
Pada esofagoskopi akan tampak dua buah lumen. Disamping lumen esofagus yang normal terdapat lumen lain yang buntu.

Penatalaksanaan
Jika divertikulum tidak menimbulkan gejala, terapi biasanya bersifat konservatif. Kantong harus dibersihkan setiap habis makan dengan cara penderita disuruh minum air dalam posisi telentang atau miring tanpa bantal tergantung letak divertikulumnya, sehingga makanan akan masuk ke lumen esofagus. Jika terdapat keluhan obstruksi atau aspirasi harus dilakukan operasi divertikulektomi.

3. AKALASIA
Akalasia adalah tidak mampunya bagian distal esofagus untuk relaksasi dan berkurangnya peristaltik esofagus karena diduga terjadi inkoordinasi neuromuskuler. Akibatnya bagian proksimal dari tempat penyempitan akan melebar dan disebut mega esofagus.

Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Diduga karena terjadi disfungsi neuromuskuler dengan lesi primer mungkin terletak di dinding esofagus , nervus vagus atau batang otak. Secara histologik ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang torakal esofagus. Hal ini diduga sebagai penyebab gangguan peristaltik esofagus.

Patofisiologi
Pada akalasia terdapat gangguan peristaltik pada daerah dua pertiga bagian bawah esofagus. Tegangan sfingter bagian bawah lebih tinggi dari normal dan proses relaksasi pada gerakan menelan tidak sempurna. Akibatnya esofagus bagian bawah mengalami dilatasi hebat dan makanan tertimbun di bagian bawah esofagus.

Gejala
- Disfagia
Merupakan keluhan utama dari penderita akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba – tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat terjadi sebentar atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan daripada makanan padat.
- Regurgitasi
Dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring, sering pula terjadi pada saat tidur malam sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi.
- Nyeri di daerah sub sternal
Rasa terbakar dan nyeri di daerah sub sternal dapat ditemukan pada stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.
- Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makanannya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah sub sternal.

Diagnosis
• Pemeriksaan radiologik
Biasanya dilakukan pemeriksaan esofagogram yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fluoroskopi dan radiografi dengan menggunakan kontras. Gambaran radiologik memperlihatkan gelombang peristaltik yang normal hanya terlihat pada daerah sepertiga proksimal esofagus, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal atau hilang sama sekali serta gambaran penyempitan di bagian distal esofagus menyerupai ekor tikus (mouse tail appearance).
• Pemeriksaan esofagoskopi
Tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit, terdapat sisa – sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan. Mukosa esofagus berwarna pucat, edema, kadang – kadang terdapat tanda – tanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofaguskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan mudah.
• Pemeriksaan manometrik
Untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen dan sfingter esofagus. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan.

Penatalaksanaan
Sifat terapi akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat diberikan dengan memberi diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi dan operasi esofago kardiomiotomi (operasi Heller).
Pemberian medikamentosa hanya dapat menghilangkan gejala untuk waktu yang singkat dan hasilnya kurang memuaskan. Obat – obat yang digunakan dapat berupa peparat nitrit, antikolinergik, dan penghambat adrenergik. Akhir – akhir ini digunakan obat nifedipine yang bersifat kalsium antagonis karena dianggap ion kalsium dapat mengaktifkan serat otot esofagus.
Dilatasi dan operasi bertujuan untuk menghlangkan gejala sumbatan dengan cara melemahkan sfingter esofagus bawah. Dilatasi dapat dilakukan dengan businasi atau balon dilator dengan menggunakan tekanan udara (pneumatik balon) atau tekanan air (hidrostatik balon). Operasi esofago kardiomiotomi transtorasis paling sering dilakukan. Tujuan operasi adalah melemahkan sfingter sehingga bagian yang sempit dapat berelaksasi secara adekuat.

4. VARISES ESOFAGUS
Varises esofagus adalah vena yang melebar di dinding esofagus, dimana dapat digolongkan menjadi 2 :
a. Varises esofagus akibat hipertensi portal
b. Varises esofagus tanpa hipertensi portal

Patogenesis
Terdapatnya obstruksi dari aliran darah balik ke daerah hati, terjadi peninggian tekanan di vena porta yang mengakibatkan alirah darah ke jantung kanan tidak dapat mengikuti alirah darah yang normal. Keadaan ini akan mengakibatkan terbentuknya aliran kolateral antara vena koronari dari sistem portal dengan vena azygos. Selain itu akibat melemahnya jaringan penunjang di daerah sub mukosa esofagus dan timbulnya tekanan negatif intra torakal pada saat inspirasi akan mendorong terbentuknya varises esofagus.

Gejala
Gejala yang sering ditemukan adalah hematemesis dan melena serta perdarahan masif yang dapat menyebabkan syok atau kematian. Karena penyebab varises esofagus yang terbanyak adalah sirosis hepatis, gejala – gejala sirosis hepatis berupa ikterus, asites, splenomegali, hepatomegali mungkin ditemukan.

Lokasi
Pada penderita hipertensi portal, varises esofagus biasanya ditemukan pada daerah dua pertiga bawah esofagus, pada daerah taut esofagus – gaster (gastro esophageal junction) dan di daerah fundus lambung. Varises yang ditemukan pada darah sepertiga atas esofagus torakal biasanya disebabkan oleh tumor mediastinum yang disertai dengan obstruksi vena cava superior. Pada penderita biasanya ditemukan sumbatan vena di daerah servikal, sianosis di daerah muka dan leher, serta edema.

Diagnosis
• Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan dengan menggunakan kontras barium dilakukan pada penderita varises esofagus tanpa perdarahan. Pada foto rontgen akan tampak gambaran cacat isi (fillinf defect) yang multipel akibat dilatasi vena. Dengan kontras barium tidak dapat dilihat asal perdarahan dari varises.
• Pemeriksaan esofagoskopi
Pada esofagoskopi varises esofagus tampak seperti nodul. Pada waktu inspirasi varises esofagus biasanya berjalan longitudinal seperti lipatan esofagus dan tampak seperti gamaran rosario (rosary like nodular formation). Gambaran varises di dalam sub mukosa tergantung pada lokasinya, dapat dibedakan antara pelebaran vena superfisial dan pelebaran vena yang lebih dalam. Pelebaran vena superfisial biasanya terletak di daerah taut esofagus gaster, pada esofagoskopi tampak berwarna kebiruan dengan diameter vena yang kecil. Pelebaran vena yang lebih dalam terletak di daerah esofagus atas dan esofagus tengah, pada esofagoskopi tidak berwarna kebiruan dengan diameter vena yang lebih besar.

Penatalaksanaan
Jika terjadi perdarahan masif yang perlu dilakukan adalah mengehentikan perdarahan, mengganti darah yang hilang dengan transfusi darah serta mencegah terjadinya komplikasi. Penghentian perdarahan perlu dilakukan dengan memakai pipa Sengstaken – Blakemore atau melakukan skleroterapi. Skleroterapi dilakukan dengan cara menyuntikkan obat – obat yang menyebabkan sklerosis langsung pada varises dengan bantuan esofagoskop. Jika dengan cara ini tidak dapat menolong dapat dilakukan tindakan operasi portocaval shunt atau splenorenal shunt.

5. ESOFAGITIS KOROSIF
Esofagitis korosif adalah peradangan esofagus yang disebabkan oleh luka bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalanya asam kuat, basa kuat dan zat organik. Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila telah diserap oleh darah.


Patologi
- Basa kuat menyebabkan terjadinya nekrosis mencair (liquofactum necrosis). Secara histologik dinding esophagus sampai lapisan otot seolah – olah mencair.
- Asam kuat yang tertelan akan menyebabkan nekrosis menggumpal (coagulation necrosis). Secara histologik dinding esophagus sampai lapisan otot seolah – olah menggumpal
- Zat organic misalnya lisol dan karbol biasanya tidak menyebabkan kelainan yang hebat, hanya terjadi edema di mukosa atau submukosa.

Gambaran Klinik
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada jenis zat korosif, lamanya kontak dengan dinding esophagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak.
Esofagitis korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka bakar yang ditemukan, yaitu :
a. Esofagitis korosif tanpa ulserasi
Penderita mengalami gangguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak mukosa hiperemis tanpa disertai ulserasi.
b. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Penderita mengeluh disfagi ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak dalam yang mengenai mukosa esophagus saja.
c. Esofagitis korosif ulseratif sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih.
d. Esofagitis korosif ulseratif berat tanpa komplikasi
Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah mengenai seluruh lapisan esophagus. Bila dibiarkan akan menjadi striktur esophagus.
e. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi
Terdapat perforasi esophagus yang dapat mengakibatkan mediastinitis dan peritonitis. Kadang – kadang ditemukan tanda – tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan keseimbangan asam basa.

Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya, esofagitis korosif dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu :
• Fase Akut
Berlangsung 1 – 3 hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka bakar di daerah mulut, bibir, faring, dan kadang – kadang disertai perdarahan. Gejala yang ditemukan adalah disfagia yang hebat, odinofagia serta suhu badan yang meningkat. Gejala klinis akibat tertelan zat organic dapat berupa perasaan terbakar di saluran cerna atas, mual, muntah, erosi pada mukosa, kejang otot, kegagalan sirkulasi dan pernapasan.
• Fase Laten
Berlangsung 2 – 6 minggu. Pada fase ini keluhan penderita berkurang, suhu badan menurun. Penderita merasa ia telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik akan tetapi prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan membentuk jaringan parut.
• Fase Kronis
Setelah 1 – 3 tahun akan terjadi disfagi lagi oleh karena telah terbentuk jaringan parut, sehingga terjadi striktur esophagus.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat organic, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan esofagoskopi.
• Pemeriksaan laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat tanda – tanda gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit darah.
• Pemeriksaan radiologik
Foto rontgen toraks posterior anterior dan lateral perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya medastinitis atau aspirasi pneumonia. Dengan menggunakan kontras barium tidak banyak menunjukkan kelainan pada stadium akut. Esofagus mungkin terlihat normal. Jika ada kecurigaan akan adanya perforasi akut esophagus atau lambung serta ruptur esophagus akibat traum tindakan, esofagogram perlu dibuat. Esofagogram perlu dibuat setelah minggu ke 2 untuk melihat ada tidaknya strikur esophagus dan dapat diulang setelah 2 bulan untuk evaluasi.
• Pemeriksaan esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar di esophagus. Pada esofagoskopi akan tampak mukosa yang hiperemis, edema dan kadang – kadang ditemukan ulkus.

Penatalaksanaan
Tujuan pemberian terapi pada esofagitis korosif adalah untuk mencegah terbentuknya striktur. Terapi esofagitis dibagi dalam fase akut dan fase kronis. Pada fase akut dilakukan perawatan umum dan terapi khusus berupa terapi medik dan esofagoskopi.
• Perawatan umum
Dilakukan dengan cara memperbaiki keadaan umum penderita, menjaga keseimbangan elektrolit serta menjaga jalan nafas. Jika terdapat gangguan keseimbangan elektrolit diberikan infus aminofucin 600 2 botol, glukosa 10% 2 botol, NaCl 0,9% + KCl 5 meg/liter 1 botol. Untuk melindungi selaput lendir esophagus bila muntah dapat diberikan susu atau putih telur. Jika zat korosif yang tertelan diketahui jenisnya dan terjadi sebelum 6 jam, dapat dilakukan netralisasi ( bila zat korosif basa kuat diberi susu atau air, dan bila asam kuat diberi antasida ).
• Terapi medik
Antibiotik diberikan selama 2 – 3 minggu atau 5 hari bebas demam. Biasanya diberikan penisilin dosis tinggi 1 juta – 1,2 juta unit/hari. Kortikosteroid diberikan untuk mencegah terjadinya pembentukan fibrosis yang berlebihan. Kortikosteroid harus diberikan sejak hari pertama dengan dosis 200 – 300 mg sampai hari ketiga. Setelah itu dosis diturunkan perlahan – lahan tiap 2 hari ( tapering off ). Dosis yang dipertahankan ( maintenance dose ) ialah 2 x 50 mg per hari. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Morfin dapat diberikan jika penderita sangat kesakitan.

6. BENDA ASING DI ESOFAGUS
Benda asing di esophagus adalah benda baik tajam maupun tumpul atau makanan yang tersangkut dan terjepit di esophagus karena tertelan.

Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyebab pada anak antara lain, anomaly kongenial termasuk stenosis congenital, web, fistel trakeoesofagus dan pelebaran pembuluh darah. Faktor predisposisi antara lain belum tumbuhnya gigi molar untuk dapat menelan dengan baik, koordinasi proses menelan dan sfingter laring yang belum sempurna, retardasi mental, gangguan pertumbuhan dan penyakit – penyakit neurologik lain yang mendasari.
Pada orang dewasa tertelan benda asing sering dialami oleh pemabuk atau pemakai gigi palsu yang telah kehilangan sensasi rasa dari palatum, pada penderita gangguan mental dan psikosis. Faktor predisposisi lain adalah adanya penyakit – penyakit esophagus yang menimbulkan gejala disfagi kronis, yaitu penyakit esofagitis refluks, striktur pasca esofagitis korosif, akalasia, karsinoma esophagus atau lambung, cara mengunyah yang salah dengan gigi palsu yang kurang baik pemasangannya



Diagnosis
Diagnosis tertelan benda asing di esophagus harus dipertimbangkan pada setiap anak dengan riwayat rasa tercekik, rasa tersumbat di tenggorok, batuk, muntah. Gejala – gejala ini diikuti dengan disfagia, berat badan menurun, dan gangguan napas. Harus diketahui dengan baik ukuran, bentuk, dan jenis benda asing dan apakah mempunyai bagian yang tajam.

Gejala dan Tanda
Gejala sumbatan akibat benda asing di esophagus tergantung pada ukuran, bentuk dan jenis benda asing, lokasi tersangkutnya benda asing, komplikasi yang timbul akibat benda asing tersebut dan lama benda asing tertelan. Gejala permulaan benda asing esophagus adalah rasa nyeri di daerah leher bila benda asing tersangkut di daerah servikal. Bila benda asing tersangkut di esophagus bagian distal timbul rasa tidak enak di daerah substernal atau nyeri di punggung.
Gejala disfagi tergantung pada ukuran benda asing. Disfagi lebih berat bila telah terjadi edema mukosa yang memperberat sumbatan, sehingga timbul rasa sumbatan esophagus yang persisten. Gejala lain adalah odinofagi yaitu nyeri menelan makanan atau ludah, hipersalivasi, regurgitasi dan muntah. Kadang – kadang ludah berdarah.
Nyeri di punggung menunjukkan tanda perforasi atau mediastinitis. Gangguan napas dengan gejala dispneu, stridor, dan sianosis terjadi akibat penekanan trakea oleh benda asing.

Penatalaksanaan
Benda asing di esophagus dikeluarkan dengan tindakan esofagoskopi dengan menggunakan cunam yang sesuai dengan benda asing tersebut. Bila benda asing telah berhasil dikeluarkan harus dilakukan esofagoskopi ulang untuk menilai adakah kelainan – kelainan esophagus yang telah ada sebelumnya. Benda asing tajam yang tidak berhasil dikeluarkan dengan esofagoskopi harus segera dikeluarkan dengan pembedahan, yaitu servikotomi, torakotomi, tergantung lokasi benda asing tersebut. Bila dicurigai adanya perforasi yang kecil segera dipasang pipa nasogaster agar penderita tidak menelan, baik makanan maupun ludah dan diberikan antibiotik spectrum luas selama 7 – 10 hari untuk mencegah timbulnya sepsis. Benda asing tajam yang telah masuk ke dalam lambung dapat menyebabkan perforasi di pylorus. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi dengan sebaik – baiknya untuk mendapatkan tanda perforasi sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiologik untuk mengetahui posisi dan perubahan letak benda asing. Bila letak benda asing menetap selama 2 x 24 jam maka benda asing tersebut harus dikeluarkan secara pembedahan.

7. PENYAKIT REFLUKS GASTRO ESOFAGUS
Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esophagus yang terjadi secara berjeda pada setiap orang, terutama setelah makan. Refluks yang terjadi pada orang normal tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esophagus, disebut refluks gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang – ulang menyebabkan bagian distal esophagus mendapat rangsangan dari isi lambung untuk waktu yang lama, sehingga timbul gejala dan komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik.

Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifactor. Pada orang dewasa factor – factor yang menurunkan tekanan sfingter esophagus bawah , sehingga terjadi refluks gastro esophagus, antara lain coklat, obat – obatan, alcohol, rokok, kehamilan.
Faktor penyebab anatomi, seperti hiatus hernia, tindakan bedah, obesitas, dapat menyebabkan hipotensi sfingter esophagus bawah dan pengosongan lambung yang terlambat, sehingga menimbulkan regluks gastroesofagus. Faktor asam, pepsin, garam empedu, tripsin yang meningkat akan menimbulkan perubahan materi refluks esophagus fisiologik.
Faktor predisposisi refluks gastroesofagus pada anak – anak anara lain retardasi mental, paralitik serebral spastik, scoliosis, penyakit jantung congenital, fistel trakeoesofagus..

Gejala
Manifestasi klinis sangat bervariasi dan gejala yang timbul kadang – kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Pada orang dewasa antara lain rasa panas di dada terutama post prandial heart burn, nyeri dada substernal, epikardial atau retrosternal, regurgitasi asam, sendawa, cepat merasa kenyang, nausea, vomitus, kecegukan, disfagia dan odinofagi. Nyeri dada yang berat harus dibedakan dengan kelainan jantung. Gejala saluran napas akibat aspirasi menimbulkan gangguan faring, laring dan paru, antara lain serangan sesak nafas tengah malam, suara parau, karena laryngitis posterior, bronchitis, pneumonia berulang, fibrosis paru dan asma.
Heart burn adalah rasa panas atau membakar yang dirasakan di daerah epigastrium dan bergerak ke daerah retrosternal sampai tenggorok. Keluhan ini terutama dirasakan pada malam hari saat berbaring atau setelah makan dan terasa lebih berat saat membungkuk atau setelah minum alcohol, sari buah, kopi, minuman panas dan dingin. Keluhan ini dapat berkurang dengan meminu antasida.

Patogenesis
Beberapa macam factor yang berperan :
a. Fungsi spingter esophagus bawah sebagai mekanisme anti refluks terhadap isi lambung. Tekanan yang lebih rendah dari 6 mmHg hampir selalu menimblkan refluks gastro esophagus tetapi dapat pula terjadi pada tekanan yang normal.
b. Faktor isi lambung dan mekanisme pengosongan lambung. Isi lambung yang penuh setelah makan akan memudahkan terjadinya refluks. Pengosongan lambung yang terlambat akibat berbagai factor akan menyebabkan refluks gastro esophagus.
c. Sifat bahan refluks. Materi dan isi lambung sebagai bahan refluks yang mengandung asam, pepsin, garam empedu, tripsin akan merusak mukosa esophagus.
d. Mekanisme pembersihan esophagus. Pembersihan esophagus dari bahan refluks untuk dialirkan kembali ke lambung dipengaruhi oleh kontraksi peristaltic esophagus, factor gravitasi dan salvias.
e. Resistensi mukosa esophagus. Mukosa esophagus mempunyai kapasitas untuk melawan kerusakan yang bervariasi pada masing – masing individu.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat tentang keluhan penderita, dibantu dengan pemeriksaan khusus antara lain pemeriksaan radiologik, manometri, endoskopi, tes provokatif, pengukuran pH, tekanan esophagus dan tes skintigrafi gastroesofagus.
• Pemeriksaan radiologik
Rontgen esophagus dengan kontras barium atau fluoroskopi dan pemeriksaan seri traktur gastrointestinal bertujuan untuk menyingkirkan penyakit – penyakit antara lain striktur esophagus, ulkus dengan obstruksi, akalasia, karsinoma, gangguan motilitas.
• Pemeriksaan manometri
Untuk menentukan tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
• Pemeriksaan endoskopi
Dapat menilai kelainan mukosa esophagus dan melakukan biopsy esophagus untuk mendeteksi adanya esophagus Barret atau suatu keganasan.
• Tes provokatif
Tes perfusi asam dari Bernstein, merupakan tes sederhana dan akurat untuk menilai kepekaan mukosa esophagus terhadap asam.
• Pengukuran pH dan tekanan esophagus
Untuk mencata pH intraesofagus post prandial selama 24 jam dan tekanan manometrik esophagus. Tes ini sebagai gold standard untuk mendiagnosis refluks gastro esophagus. Bila pH kurang dari 4 dianggap ada refluks gastro esophagus.
• Tes skintigrafi gastroesofagus
Bertujuan untuk menilai pengosongan esophagus dengan menggunakan radio isotol dan bersifat non invasive.

Penatalaksanaan
Pengobatan penderita dengan gejala refluks terbagi dalam 3 fase :
a. Terapi medik fase I
Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks, memperbaiki anti refluks mempercepat proses pembersihan esophagus dengan mengubah cara atau kebiasaan hidup yaitu:
- posisi kepala atau tempat tidur ditinggikan
- diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak., berbumbu, asam, coklat, kopi, alcohol
- menurunkan berat badan bagi yang gemuk
- tidak makan terlalu kenyang
- tidak segera tidur setelah makan
- menghindari rokok, pakaian ketat yang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen, mengangkat barang berat
b. Terapi medik fase II dengan obat – obatan
Obat prokinetik, antara lain Betanekol, metaklorpramid, domperidon, cesaprid yang bersifat mempercepat peristaltik. Obat anti sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan jumlah sekresi lambung, umumnya tergolong antagonis reseptor H2, seperti simetidin, ranitidine, fernitidin, dan omeprazol. Antasida dan asam alginik dimakan secara teratur sebelum dan sesudah makan atau sebelum tidur. Obat pelindung mukosa seperti sukralfat yaitu garam alumunium dari sukrosa sulfat, bekerja meningkatkan ketahanan mukosa, yaitu bereaksi dengan protein pada dasar ulkus, membentuk lapisan pelindung terhadap daya perusak asam, pepsin dan empedu dan dapat mengikat asam empedu serta pepsin.
c. Terapi medik fase III
Yaitu pembedahan anti refluks pada kasus – kasus tertentu dengan indikasi, antara lain patologik refluks gastro esophagus persisten, malnutrisi berat, infeksi saluran nafas berulang, striktur esophagus yang gagal dengan terapi dilatasi.

8. TUMOR ESOFAGUS
a. Tumor Jinak
Tumor jinak esophagus biasanya jarang ditemukan. Umumnya ditemukan pada usia dewasa muda dan gejala – gejala yang ditimbulkannya terjadi secara perlahan, jika dibandingkan dengan tumor ganas esophagus.
Dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tumor yang berasal dari epitel dan tumor yang berasal bukan dari epitel. Tumor yang berasal dari epitel misalnya papiloma, adenoma, dan kista, sedangkan tumor yang non epitel misalnya leiomioma, fibromioma, lipomioma, fibroma, hemangioma, limfangioma, lipoma, mixofibroma, dan neurofibroma. Tumor yang non epitel dapat bertangkai atau tidak bertangkai. Tumor jinak esophagus yang sering ditemukan adalah leiomioma.

Gejala
Tidak ada gejala yang khas dari tumor jinak esophagus. Gejala sumbatan akan timbul jika ukuran tumor besar. Disfagi terjadi secara lambat tergantung dari besarnya tumor. Kadang – kadang ditemukan rasa tidak enak di epigastrium dan substernal, rasa penuh dan sakit yang menjalar ke punggung dan bahu, muntah dan mual serta regurgitasi.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis. Untuk ini diperlukan pemeriksaan radiologik dan esofagoskopi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy da sitologi.
• Pemeriksaan radiologik
Rontgen esophagus dengan kontras barium, pada foto akan tampak gambaran cacat isi yang licin (smooth fillinf defect). Jika tumor besar akan tampak gambaran mukosa yang irreguler dan cacat isi berlobus disertai dengan dilatasi esophagus.
CT scan dapat memerlihatkan lokasi tumor di esophagus dan menyingkirkan adanya limfadenopati mediastinal atau kelainan patologis lainnya.
• Pemeriksaan ensofagoskopi
Dengan esofagoskopi dapat memperlihatkan lokasi tumor serta melihat apakah tumor bertangkai atau tidak. Selain itu esofagoskopi diperlukan untuk melihat asal tumor yang bertangkai. Hal ini diperlukan untuk tindakan bedah.

Penatalaksanaan
Terapi tumor jinak esophagus adalah dengan pembedahan. Teknik operasi tergantung dari ukuran tumor, lokasi tumor, fiksasi tumor, fiksasi mukosa, dan apakah lambung sudah terkena. Jika tumor terletak di daerah sepertiga tengah esophagus dilakukan operasi torakotomi dari sisi sebelah kanan, jika tumor terletak di daerah sepertiga distal esophagus dilakukan operasi torakotomi dari sisi sebelah kiri.




b. Tumor Ganas
Tumor ganas esophagus secara histologik digolongkan menjadi karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, karsinosarkoma dan sarcoma. Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor ganas esophagus yang paling sering ditemukan.

Etiologi
Penyebab tumor ganas esophagus sampai saat ini belum diketahui. Beberapa factor yang erat hubungannya dengan timbulnya karsinoma esophagus adalah makanan yang mengandung zat yang bersifat karsinogenik, misalanya nitrosamin, alcohol, tembakau, dan makanan yang telah berjamur.

Gejala
Gejala tumor ganas esophagus dapat digolongkan dalam gejala sumbatan, gejala penyebaran tumor ke medastinum, dan gejala metastasis ke kelenjar limfe.
- Gejala sumbatan dapat berupa disfagia yang progresif, regurgitasi dan penurunan berat badan
- Gejala penyebaran tumor ke mediastinum akan menyebabkan suara parau, nyeri di daerah retrosternal, nyeri di daerah punggung, di daerah servikal dan gejala bronkopulmoner.
- Gejala metastasis ke kelenjar limfe dapat berupa terabanya masa tumor di daerah supraklavikula
Gejala dini tumor esophagus dapat berupa bolus makanan terasa tertahan di suatu tempat pada saat menelan, rasa nyeri pada waktu menelan dan dapat menjalar ke telinga, tenggorok, dada dan lengan serta spasme esophagus di bagian proksimal dari tumor. Gejala disfagia biasanya timbul jika lumen esophagus sudah terisi massa tumor lebih dari 50%. Pada permulaan disfagia terjadi bila penderita makan makanan padat. Dengan meningkatnya derajat sumbatan penderita akan mengeluh sulit menelan makanan lunak dan akhirnya makanan cair. Jika tumor telah menginfiltrasi trakea akan timbul gejala batuk, stridor ekspirasi dan sesak napas.

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan biopsy dari masa tumor atau pemeriksaan sitologik. Biopsi dan sitologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan esofagoskopi dengan esofagoskop serat optik atau esofagoskop kaku.

• Pemeriksaan radiologik
Biasanya dilakukan pemeriksaan rontgen esophagus dengan kontras barium. Tanda yang khas adalah lumen sempit dan irreguler serta terdapat kekakuan dinding esophagus. Pada tumor yang eksofitik dan berbentuk polipoid akan tampak gambaran cacat isi yang multiple dan ireguler.
Pemeriksaan CT scan dan MRI dapat membantu menegakkan diagnosis dengan tepat. CT scan dapat menentukan ukuran tumor primer dan mencari adanya pembesaran kelenjar limfe di sepanjang esophagus.
• Pemeriksaan esofagoskopi
Pada esofagoskopi tumor ganas esophagus yang eksofitik akan tampak berwarna merah atau putih keabu – abuan, irreguler, dan mudah berdarah. Dengan esofagoskopi dapat dilakukan pengambilan biopsy dan sitologi.

Penatalaksanaan
Pengobatan tumor ganas esophagus tergantung pada lokasi tumor, jenis tumor, dan adanya metastasis. Pengobatan yang diberikan dapat berupa tindakan operasi, radioterapi, kemoterapi, operasi dan kemoterapi serta operasi, radioterapi dan kemoterapi.
Tindakan operasi dapat dilakukan untuk tujuan kuratif dan paliatif. Pada tumor stadium dini dilakukan operasi Enbloc Esophagectomy. Pada tumor stadium lanjut pengobatan hanya bersifat paliatif dengan melakukan operasi by pass berupa end to end esophagogastrostomy atau side to end esophagocolostomy. Kadang – kadang dilakukan pemasangan prostesis misalnya menggunakan pipa Celestine dan dilanjutkan dengan pemberian radioterapi paliatif dengan tujuan agar penderita masih dapat menikmati makan per oral.






DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KANKER NASOFARING

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel, limfoid, stroma dan elemen jaringan lainnya pada nasofaring
Letak nasofaring yang tersembunyi dan gejala dini KNF yang tersembunyi ringan dan tidak khas membuat para dokter sering melupakan penyakit yang terjadi di dalamnya  Hal itu pula yang menyebabkan penderita tidak terdorong untuk segera datang ke dokter  Kelainan dan keluhan justru terlihat setelah terdapat penyebaran ke kelenjar limfe di leher atau terdapat gangguan saraf sehingga penderita baru berobat setelah stadium lanjut 5,6.

A. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak di belakang hidung. Rongga ini begitu sulit dilihat sehingga dahulu disebut rongga buntu atau rongga tersembunyi
Batas rongga nasofaring :
a. Dinding depan : berbatasan dengan hidung disebut koana, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul
b. Dinding belakang : jaringan dan mukosa di depan vertebra servikalis
c. Dinding lateral : berhubungan dengan kavum timpani kanan dan kiri oleh tuba eustacii yang dikelilingi oleh torus tubarius yang menonjol dan terbentuk fossa rosenmuleri, sehingga penyebaran tumor kolateral akan menyumbat muara tuba eustacii dan akan mengganggu pendengaran serta menimbulkan cairan di telinga tengah.
d. Dinding atas : merupakan atap, dibentuk oleh basis kranii atau dasar tengkorak. Penjalaran tumor ke arah intrakranial, masing-masing menimbulkan gejala neurologik yang khas
e. Dinding bawah : Isthmus faring dan palatum mole

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah :
a. Adenoid atau tonsila Luschka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak berumur kurang dari 13 tahun, sebab bila dewasa bangunan ini mengalami regresi.
b. Fossa nasofaring atau fornix nasofaring
Tempat iini merupakan lekuk kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
c. Torus tubarius
Merupakan tonjolan tempat muara dan saluran tuba eustachii yang disebut ostium tuba.
d. Fossa rosenmuleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius. Lekuk ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut salpingofaringitis. Fossa ini merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari kolumner menjadi epitel gepeng ke arah orofaring. Tempat pergantian ini dianggap merupakan predileksi keganasan di nasofaring 7.

B. Etiologi
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab Karsinoma Nasofaring adalah virus Epstein Barr, karena pada semua pasien Karsinoma Nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein Barr yang cukup tinggi.
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini adalah
- letak geografis
- rasial, jenis kelamin
- genetik
- pekerjaan
- lingkungan
- kebiasaan hidup
- kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman/parasit.
Penyebab timbulnya kanker nasofaring didasarkan adanya interaksi antara faktor lingkungan, karsinogen, dan virus Ebstain Barr.
Faktor lingkungan yang berpengaruh  iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan menggunakan bumbu masakan tertentu, dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang terlalu panas.
Beberapa laporan menyebutkan hubungan antara Karsinoma Nasofaring dengan makan ikan asin dan rendahnya kadar vitamin C sewaktu muda.
Kekurangan vitamin A diduga  merubah nitrat menjadi zat karsinogen, yaitu nitrosamin.10 Zat ini mampu mengaktifkan virus Epstein-Barr yang masuk ke dalam tubuh, sehingga dapat menimbulkan kanker.
Nitrosamin tidak hanya ada dalam tubuh ikan asin, tetapi juga terdapat dalam makanan yang diawetkan seperti daging, sayuran yang difermentasi (asinan), serta tauco

C. Gejala Klinik
Pada dasarnya gejala Karsinoma Nasofaring dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu
1. Gejala hidung
Gejala hidung merupakan gejala paling dini, tapi seringkali didiagnosis sebagai rhinitis kronik, nasofaringitis kronik dan penyakit lain. Oleh karena itu, kecurigaan kanker nasofaring dari gejala hidung lebih ditekankan bila penderita :
- rinore lebih dari 1 bulan
- usia lebih dari 40 tahun atau rinore dengan ingus kental, bau busuk, lebih-lebih bila bercampur titik-titik darah tanpa kelainan di hidung dan sinus paranasal.
- epistaksis ringan
- sumbatan hidung
2. Gejala telinga
Gejala telinga dapat berupa :
- rasa penuh di telinga
- berdengung atau tinitus
- kurang pendengaran tipe hantaran.
Gangguan pendengaran  massa tumor menyebabkan oklusi tuba.  Gejala telinga ini merupakan gejala yang sangat dini dari KNF.
Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap/sering timbul tanpa pyb yang jelas.
3. Gejala tumor leher
Pembesaran leher atau tumor leher  merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring, dapat unilateral maupun bilateral.
Khas tumor leher pada kasus ini adalah bila letak tumor di ujung prosesus mastoid, dibelakang angulus mandibula, didalam m. sternokleidomastoideus, massa tumor yang keras, tidak sakit dan tidak mudah digerakkan.
Gejala tumor leher ini  merupakan gejala yang agak lanjut dari karsinoma nasofaring
4. Gejala mata
Gejala mata yang ditimbulkan akibat karsinoma nasofaring dikarenakan  kelumpuhan syaraf yang berhubungan dengan mata seperti nervus II, III, IV,VI.  mengeluh melihat dobel atau diplopia karena kelumpuhan N VI.
Kelumpuhan mata/optalmoplegia akibat kelumpuhan N III dan N IV, dan apabila mengenai N II akan menimbulkan kebutaan.
5. Gejala kranial/ syaraf
Perluasan tumor primer ke dalam kavum kranial menyebabkan kelumpuhan nervi kranialis akibat kompresi ataupun infiltrasi tumor.
gejala subjektif dari penderita seperti kepala sakit, kurang rasa pada daerah hidung dan pipi, kadang kesulitan menelan. Gejala-gejala syaraf ini meliputi:
- Anosmia, kerusakan nervus I  desakan melalui foramen olfaktorius.
- Sindroma petrosfenoidal melibatkan nervus VI, III, IV dan II, gejala yang muncul antara lain, strabismus, penurunan kelopak mata atas, kesulitan membuka mata dan penurunan ketajaman penglihatan.
- Parestesi, hipestesi atau nyeri pada separuh wajah, karena terjadi parese nervus V yang merupakan saraf sensorik dan motorik.
- Sindroma parafaringmelibatkan nervus IX, X, XI, XII, gejala yang ditimbulkan antara lain hilangnya refleks muntah, disfagi, parese lidah dan deviasi uvula ke sisi yang sehat, hipersalivasi, disfoni, afoni, disfagi, spasme esofagus, nyeri pada faring dan laring.
Pada parese nervus XI  kesukaran memutar kepala atau dagu.

D. Diagnostik
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada karsinoma nasofaring, protokol diagnosis yang perlu dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior atau dengan endoskopi
b. Biopsi nasofaring
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
Biopsi dari mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan di klem bersama – sama ujung kateter yang berada di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut

c. Histopatologi, dengan melihat struktur histologis, maka karsinoma nasofaring dibagi beberapa jenis sesuai dengan pembagian WHO, yaitu
WHO 1 : karsinoma sel sel skuamosa, berkeratin di dalam maupun di luar sel. Sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang.
WHO 2 : termasuk adalah karsinoma non keratin, tumor berdiferensiasi sedang sampai baik.
WHO 3 : karsinoma tanpa differensiasi, gambaran sel kanker paling heterogen. Karsinoma anaplastik, clear cell carsinoma dan variasi sel spindel.
Jenis ‘undifferentiated’ dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang serupa yaitu sama-sama radiosensitif serta mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein – Barr, sedangkan jenis keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan virus tersebut
d. Serologis
Deteksi dini kanker nasofaring.
Penyelidikan reaksi imunologi terhadap antigen virus Epstein Barr ini telah berhasil mengindentifikasi beberapa antigen khusus yang dijumpai pada karsinoma nasofaring.
a. Antibodi Ig G dan Ig A terhadap Viral Capsid Antigen (VCA).  dianggap yang paling spesifik dan sensitif untuk diagnosa dini kanker nasofaring. Uji ini juga dianggap metode pilihan untuk keadaan occolt primary yaitu keadaan ditemukannya kelainan berupa pembesaran kelenjar servikal atau destruksi dasar tengkorak atau kelumpuhan saraf otak tanpa adanya tumor di nasofaring.
b. Ig G anti Farly Antigen (FA). Untuk deteksi dini kanker nasofaring, uji ini kurang sensitif jika dibandingkan dengan Ig A - VCA.
c. Antibody Dependent Cellular Cytotoxicty (ADCC). Pemeriksaan ADCC dapat menentukan perjalanan penyakit serta prognosis berdasarkan tinggi rendahnya titer pada waktu diagnosis.
e. Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk menentukan luas tumor primer, invasi ke organ sekitar, adanya destruksi tulang serta metastasis jauh. Pemeriksaan yang diperlukan antara lain :
• Foto thorax PA, untuk melihat adanya metastasis ke paru.
• Foto tengkorak, dapat dilakukan bila ada kecurigaan adanya destruksi tulang tengkorak.
• USG Abdomen, untuk melihat adanya metastasis ke hepar
• CT Scan
Gambaran yang dapat diperoleh : massa di ruang nasofaring mendorong ke ruang retroparingeal dari posterolateral, tampak mild enhancement dari massa tumor dengan invasive margins. Potongan axial dan coronal akan dapat membantu untuk menilai invasi ke tulang pada potongan setebal 1 – 3 mm.
• MRI
Tampilan T1 memperlihatkan massa tumor hypo sampai isointense dengan otot. Tampilan T2 tampak moderat hyperintense dibandingkan dengan otot. Saturasi lemak dari tampilan C+ T1 menampilkan mild enhancement. Dengan bantuan saturasi lemak akan mempermudah mengenali dari margins tumor.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai stadium kanker nasofaring, pembesaran kelenjar leher pada kanker primer nasofaring yang tak tampak dari pemeriksaan, dan adanya cairan unilateral pada telina tengah tanpa sebab yang jelas.
• Bone scantigraphy untuk menilai adanya metastasis tulang
f. Pemeriksaan neurooptalmologi
Untuk mengetahui perluasan tumor ke jaringan sekitar yang menyebabkan penekanan/ infiltrasi ke saraf otak. Manifestasinya tergantung dari saraf yang dikenai.

E. Stadium klinik
Untuk menentukan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC
T = Tumor primer
T0 – tidak tampak tumor
T1 – tumor terbatas satu lokalisasi saja
T2 – tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih dan masih terbatas dalam rongga nasofaring
T3 – tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4 – tumor telah keluar dari nasofaring dan merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf otak
TX –Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 –tidak ada pembesaran
N1 –terdapat pembesaran homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 –terdapat pembesaran kontralateral/bilateral, masih dapat digerakkan
N3 –pembesaran homolateral/kontralateral/bilateral, sudah melekat

M = Metastasis jauh
M0 – tidak ada metastasis jauh
M1 – terdapat metastasis jauh

5 year surv rate
Stadium I : T1 N0 M0 76,9%
Stadium II : T2 N0 M0 56 %
Stadium III : T3 N0 M0 38,4%
T1, T2 ,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0 16,4%
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M1

F. Pengelolaan
a. Pengobatan Bedah
Dilakukan operasi transpalatal maupun operasi transmaksilerparanasal, tetapi terapi bedah ini tidak berkembang karena hasilnya kurang efektif dibandingkan dengan tindakannya.7
Tindakan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembal isetelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang.
b. Pengobatan Sinar Rontgen (Radio Therapi)
Radio terapi masih merupakan pengobatan utama, ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya.7,12
1) Teleterapi
Dengan pesawat cobalt atau linac, digunakan 2 lapangan sinar kanan dan kiri plan paralel 200 cGY/hari, 5 kali seminggu sampai jumlah dosis 6000 cGY untuk karsinoma anaplastik dan 6600 cGY untuk karsinoma seluler.
Pemakaian terapi radiasi yang luas diperkirakan dapat menimbulkan komplikasi akut maupun jangka panjang. Seringkali terjadi hilangnya indera kecap dan nafsu makan, nyeri di tenggorok dan obstruksi ostium eustachius
2) Brakhiterapi
Sumber sinar dekat dengan tumor dan dipasang dalam rongga tubuh penderita. Bahan radioaktif (Ir192, Co60 atau Cs137) dipasang diujung aplikator dan dimasukkan ke rongga nasofaring. Daerah tumor induk akan mendapatkan radiasi tinggi, sedangkan jarigan sekitarnya relatif mendapatkan dosis lebih rendah. Dosis yang diberikan 500-600 cGY.3 Untuk meningkatkan efek radiasi dan mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat sekitar digunakan radiosensitizer serta radioprotektor saat pemberian radiasi.
c. Pengobatan dengan Sitostatika 7
Diberikan sebagai obat tunggal/obat ganda, obat tunggal umunya sebagai kombinasi dengan radioterapi, antara lain : Methotrexat, Metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, Cisplatin. Obat ini akan memberi adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi.
Obat ganda diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh.7
Kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain :
1. Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat, dan Fluorouracil (ACMF)
2. Adriamycin, Bleomycin, Umblastin, dan Dacarbazin (ABUD)
3. Cylophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin (COMA)
d. Imunoterapi
Untuk Karsinoma Nasofaring digunakan Interferon dan Poly ICLC
e. Obat Antiviral
Digunakan Acyclovir yang dapat menghambat DNA virus sintesis sehingga dapat menghambat berkembang tumbuhnya virus termasuk EBV.

G. Pencegahan
Karena penyebab Karsinoma Nasofaring belum jelas, pencegahan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh pada timbulnya Karsinoma Nasofaring tersebut yaitu :
1. Penggunaan vaksin EBV pada penduduk yang tinggal di daerah resiko tinggi.7,9
2. Penerangan kebiasaan hidup yang sehat, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang ditimbulkan dari bahan-bahan yang berbahaya.9

H. Prognosis
Secara umum KNF WHO-3 memiliki prognosis paling baik dimana angka harapan hidup 5 tahun adalah 60-80%. Sebaliknya KNF WHO-1 memiliki prognosis paling buruk yaitu angka harapan hidup 5 tahun sebesar 20-40%. Prognosis menjadi lebih buruk pada keadaan:
- stadium yang lebih tinggi
- laki-laki
- usia > 40 tahun
- ras Cina
- pembesaran kelenjar leher
- paresis otak
- erosi dasar tengkorak dan metastasis jauh

Pola penyebaran kanker nasofaring
 Anterior : ke cavum nasal kemudian ke fossa pterygopalatina
 Lateral : ke parapharyngeal space
 Posterior : dari retro pharyngeal space ke musculature prevertebral
 Inferior : ke orofaring, palatum mole, dan tonsila palatina
 Superior : sinus spenoid, foramen lacerum, dan foramen ovale

Prognosis dipengaruhi oleh komplikasi dari terapi sendiri yang diantaranya dapat terjadi necrosis lobus temporalis, ensefalopati, paralisis nervus craniales, disfungsi pituitary – hipothalamus.14

Diagnosis Differential dari massa mukosa nasofaring
1. Hiperplasi dari kelenjar Adenoid
Biasanya pada pasien dibawah umur 20 tahun (pada kanker nasofaring biasanya pada umur yang lebih tua). Pembesaran kelenjar adenoid bersifat simetris. Tampak internal enhancing septa pada T1 C+.
2. Limfoma non Hogkin dari adenoid pada nasofaring
Biasanya disertai gejala sakit yang sistemik.
Secara luas melibatkan kelenjar adenoid yang dapat dilihat pada T1 C+ sebagai gambaran tanpa adanya enhancing pada septa.
3. Keganasan kelenjar ludah minor
Jarang melibatkan metastasis ke kelenjar limfe


A. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
Tonsil termasuk sistem retikulo endotelial, terdiri atas 3 macam, yaitu :
1. Tonsila faring atau adenoid, terletak di nasofaring melekat di dasar tengkorak, dimana struktur limfoidnya tersusun dalam lipatan2. Mempunyai kripte yang lebih sedikit dibandingkan tonsila palatina. Permukaannya terdiri dari epitel yang mengikat3.
2. Tonsila palatina atau tonsila fausial berjumlah 2 buah terletak pada fosa tonsilaris yang terletak diantara plika anterior dan plika posterior di kanan dan kiri orofaring. Mempunyai lekukan yang disebut kripte dan trabekula, yang di dalamnya terdapat sentrum germinativum suatu penghasil limfosit. Sistem kripte yang komplek ini menyebabkan tonsila palatina lebih sering terkena penyakit daripada komponen cincin limfoid yang lain, karena pada kripte ini sering terisi detritus yang berisi epitel, limfosit, bakteri dan sisa makanan yang merupakan tempat utama untuk pertumbuhan bakteri patogen2,3.
3. Tonsila lingual berjumlah 2 buah yang letaknya berdekatan satu sama lain di pangkal lidah. Mempunyai kripta - kripta kecil yang tidak terlalu berlekuk - lekuk atau bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina2,3.
Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina ascenden, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring ascenden dan a. lingualis dorsal6. Ketiga macam tonsil ini satu sama lain dihubungkan oleh jaringan limfe, sehingga merupakan lingkaran mengelilingi lumen yang di sebut cincin waldeyer4,6. Cincin ini mempunyai fungsi pertahanan tubuh utama terhadap kuman - kuman yang masuk lewat udara pernafasan, makanan, dan minuman4. Arti tonsil dalam perkembangan kemampuan imunologis paling besar pada tahun - tahun awal kehidupan. Anak - anak dengan episode ulangan faringitis dan otitis media mengalami penurunan yang ringan dalam kemampuan menghasilkan Ig A2. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Pada permukaan medial tonsil terdapat kriptus sedangkan pada permulaan lateral terdapat kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi6.

B. KARSINOMA TONSIL

1. Etiologi

Etiologi karsinoma tonsil masih belum diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar penyebabnya adalah . Lalu akibat pengaruh faktor-faktor predisposisi dapat berubah menjadi karsinoma. Faktor genetika sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan HLA dari penderita Karsinoma Tonsil dimana untuk orang Indonesia asli ditemukan HLA-A24 dan B63 sebagai bentuk yang dominan. (11)

2. Faktor Predisposisi

a. Penggunaan tembakau
• Ini merupakan faktor resiko terkuat untuk berkembangnya kanker kepala dan leher. Berbagai bentuk tembakau yang dikonsumsi melalui mulut baik dengan menghisap maupun menginang meningkatkan resiko terjadinya Karsinoma Tonsil. Semakin lama konsumsi tembakau akan meningkatkan resiko terjadinya Karsinoma Tonsil. Resiko Karsinoma Tonsil akan menurun setelah penghentian konsumsi tembakau 5-10 tahun.
b. Infeksi
• Infeksi seperti Sifilis dan beberapa virus yang lain dapat meningkatkan terjadinya KNF karena terjadi pelemahan ikatan antar sel yang berlangsung secara kronik. Virus juga dapat masuk ke dalam sel sehingga merubah gen sel normal menjadi sel kanker. Ini disebut aktivasi onkogen. Virus yang diketahui paling sering menyebabkan proses tersebut adalah Human Papiloma Virus (HPV). Beberapa orang secara genetika mempunyai faktor predisposisi untuk menderita kanker karena virus.
c. Imunitas tubuh yang lemah
• Imunitas tubuh yang lemah misalnya karena AIDS, obat imunosupresan akan meningkatkan resiko Karsinoma Tonsil.
d. Riwayat kanker saluran nafas-cerna
• Riwayat kanker saluran nafas-cerna 25% berubah menjadi kanker yang lain ditempat yang sama.
e. Letak geografis
• Karsinoma Tonsil banyak ditemukan dinegara penduduk non Mongoloid, namun di daerah Cina bagian selatan, kasus ini masih menduduki tempat tertinggi.
f. Ras
• Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma tonsil, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malasya, Singapura, dan Indonesia
g. Lingkungan
• Iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dengan kebiasaan makan-makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas Karsinoma tonsil.
h. Makanan
Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini
i. Alkohol
• Alkohol merupakan faktor resiko terjadinya kanker pada mulut, faring, esofagus, dan laring. Pengaruh alkohol terhadap kanker sulit diteliti tersendiri tanpa adanya pengaruh tembakau, karena biasanya peminum alkohol juga perokok. Resiko terjadinya kanker meningkat pada peminum bir daripada peminum anggur (wine).
j. Genetik
• Secara umum didapat 10 % dari pasien karsinoma tonsil menderita keganasan organ lain. Banyak pula ditemukan kasusu heredifer atau familier dari pasien karsinoma tonsil dengan keganasan pada organ tubuh lain.
3. Patogenesis
Lima belas tahun terakhir ini telah menjadi jelas mengenai cara mutasi gen menimbulkan transformasi dari sel normal ke sel kanker. Dipercaya tiga golongan gen berperan di dalam terjadinya kanker yaitu onkogen , gen supresor tumor dan gen yang terlibat dalam proses-proses yang berkaitan dengan reparasi DNA.
1. Onkogen
Pada penelitian binatang yang menggunakan virus yang diketahui dapat menimbulkan kanker, bertujuan untuk mengidentifikasi gen yang bertanggung jawab terhadap transformasi maligna. Gen-gen ini dinamakan onkogen. Pada penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa gen-gen tersebut terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel dan diferensiasi seluler. Gen seluler normal yang berhubungan dengan onkogen dinamakan protoonkogen yang produknya bisa berperan sebagai faktor pertumbuhan, sebagai reseptor untuk faktor pertumbuhan, sebagai pengantar dari permukaan sel ke inti sel atau faktor pengatur transkripsi gen. Perubahan yang dialami protoonkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu bersifat mengaktivasi, artinya menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Mekanisme aktivasi ini antara lain berupa overekspresi, amplifikasi, mutasi noktah dan translokasi.
2. Gen supresor tumor
Pada tahun-tahun terakhir diketahui bahwa ada juga gen yang ekspresinya menekan terjadinya sel kanker. Kanker dapat timbul jika gen ini tidak menunjukkan ekspresinya atau mutasi noktah membuat suatu protein inaktif yang berfungsi abnormal. Gen-gen ini disebut gen-gen supresor tumor. Penemuan molekuler genetik pada bentuk-bentuk familial kanker mempunyai arti penting, karena kelainan genetik dapat ditentukan sebelum tumor terjadi. Hasil dari penemuan ini telah mengungkapkan fungsi dari gen supresor tumor yaitu antara lain berperan dalam komunikasi dan interaksi sel-sel maupun bagian-bagian dari sel, protein pengaktif dan lain-lain.
3. Gen-gen yang berperan pada proses perbaikan
Selain dari kedua peran yang telah diuraikan di atas telah diketahui pula bahwa sel mempunyai sistem komplek yang memperbaiki kesalahan pada DNA pada replikasi atau karena pengaruh mutagen secara kmiawi maupun fisik. Tidak berfungsinya sistem ini menimbulkan kenaikan frekuensi mutasi dan akhirnya menimbulkan terjadinya malignitas.
Jika suatu sel telah mengalami mutasi maka terdapat banyak perubahan dalam gen-gen yang mengatur pertumbuhan sehingga tidak tunduk lagi pada regulasi pertumbuhan fisiologik, maka pada prinsipnya kita sudah berhadapan dengan suatu sel kanker. Namun satu sel belumlah merupakan satu tumor. Pada volume kira-kira 1mm3 sel-sel tumor menginduksi miofibroblas dan tunas-tunas endotel yang dibantu oleh faktor-faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan ini merangsang proliferasi sel stroma. Tumor selanjutnya menjadi manifestasi klinis baru bila mencapai volume minimal 0,5-1cm3. Sel-sel di dalam satu tumor dapat menunjukkan perbedaan dalam morfologi, derajat deferensiasi, kemampuan pertumbuhan infiltratif dan dalam sifaft-sifat metastasis dan sifat di dalam gen. Sebagian besar perbedaan oleh instabilitas genetik sel maligna. Perubahan genetik sel kanker dapat bertambah lebih agresif, hal ini dinamakan progresi tumor yang dianggap bertanggung jawab terhadap sifat klinik kanker yaitu terjadinya resistensi terhadap terapi hormonal dan kemoterapi, sifat pertumbuhan yang lebih agresif dari metastasis tumor primernya , dan sifat pertumbuhan tumor yang lebih agresif dari residif tumor lokal.
PATOGENESIS CA TONSIL......

4. Gambaran Klinis
GEJALA DAN TANDA......
5. Diagnosis
. Rinoskopi Posterior
Cara terbaik untuk melihat nasofaring adalah dengan rinoskopi posterior memakai kaca cermin kecil, sebab memberi lapangan pandang yang cukup luas. Syarat yang harus dipenuhi adalah penderita harus kooperatif.
Untuk memperluas lapangan pandang, palatum molle ditarik ke muka dengan pertolongan kateter neleton, dengan kaca laring nasofaring dapat dilihat secara indirek. Dengan demikian semua area nasofaring dapat dilihat dengan teliti. Posterior, lateral, superolateral, fossa rosenmulleri, atap dan koana. Dapat juga dilengkapi dengan alat penekan lidah. Selain dapat menentukan lokasi, dapat juga ditentukan dengan menggunakan narkose. Cara ini tidak dapat dilakukan bila ada trismus, namun bisa diatasi dengan menggunakan narkose.
b. Nasofaringoskopi Direkta
Adanya nasofaringoskop yang dilengkapi optik bisa untuk melihat nasofaring secara langsung melalui hidung atau melalui mulut. Seluruh permukaan nasofaring dapat dilihat dengan cara ini. Kelemahan cara ini adalah bahwa lapangan pandang tidak luas seperti pada rinoskopi posterior.
c. Palpasi
Cara ini tidak menyenangkan bagi penderita dan hasilnya tidak memuaskan, lebih-lebih pada tumor yang kecil, meskipun dengan narkose. Tumor yang masih kecil yang terletak di atap nasofaring sukar sekali diraba dengan ujung jari telunjuk, bahkan seringnya mudah terluka oleh kuku sehingga berdarah pada pinggir ulkus.
Palpasi dilakukan harus secara halus, dan biasanya tampak perdarahan pada tempat tumor, karena mukosa lebih mudah berdarah. Cara palpasi ini dapat digunakan bila cara-cara lain tidak dapat ditentukan lokasi tumor.
d. X-foto
X-foto dapat memberikan petunjuk mengenai pertumbuhan jaringan dalam nasofaring.
- Dasar tengkorak : tampak daerah berkabut pada regio basal dan pada foramina.
- Gambar lateral : menunjukkan adanya jaringan yang menonjol dari nasofaring
Pada penderita dengan eksistensi intrakranial, maka kelihatan destruksi basis fossa kranii media, sella tursika, dan perselubungan daerah sfenoid. Destruksi tersebut tidak selalu dapat dilihat, bahkan penderita-penderita dengan keluhan neurologis sering tidak menunjukkan adanya destruksi basis kranii.
Jadi cara ini hanya merupakan dukungan kecil saja, tetapi ada pula yang beranggapan bahwa bila ada kecurigaan adanya pertumbuhan jaringan dalam nasofaring, maka secara rutin harus dibuat X-foto. (9)
H. Penentuan Stadium Klinik Karsinoma Tonsil
Untuk penentuan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (1992) (2) :
T = Tumor primer
To = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain
T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring.
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring, dan sebagainya)
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
No = Tidak ada pembesaran
N1 = Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkam
N2 = Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat digerakkan.
N3 = Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral, maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase jauh
M0 = Tidak ada metastase jauh
M1 = Terdapat metastase jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, dapat ditentukan stadium penyakit, sebagai berikut :
Stadium I : T1 No Mo
Stadium II : T2 No Mo
Stadium III : T1 / T2 / T3 N1 Mo
T3 No Mo
Stadium IV : T4 No / N1 Mo
T1 / T2 / T3 / T4 N2 / N3 Mo
T1 / T2 / T3 / T4 No / N1 / N2 / N3 M1
Dengan mengetahui stadium keganasan, maka terapi yang sesuai dapat diberikan.
Klasifikasi KNF menurut WHO:6
Type 1. Differentiated squamous cell carcinoma
Type 2. Nonkeratinizing carcinoma
Type 3. Undifferentiated carcinoma

Diagnosis sebagian besar tergantung pada inspeksi dari gambaran klinis diatas, disertai dengan pemeriksaan penunjang berupa biakan dari tonsil dan permukaan dinding belakang tenggorok, ASTO test ( Anti Streptolisin Titer O ), Lab darah, dan uji resistensi kuman2,4,5,8.
7. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Terapi pilihan utama KNF yang belum ada metastasis jauh. KNF merupakan kanker yang dapat disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini ( I,II ), berdasarkan faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan KNF merupakan type 2 dan 3 yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor sangat sulit dikerjakan.(3)
Dosis terapi radiasi 65-70 Gy, radiasi dilakukan pada tumor primer dan daerah perluasan maupun metastasenya di kelenjar getah bening leher. Five years survival rate 50%.(6)
2. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi
Indikasi pemberian kemoterapi adalah KNF stadium lanjut lokoregional disertai atau dicurigai adanya metastasis jauh tumor persisten dan rekuren, sebagai alternatif terapi terakhir yang sudah diakui sebagai terapi standar.
Respon tumor terhadap radiasi umumnya meningkat bila dikombinasi dengan kemoterapi seperti cisplatin, 5FU, hidroxy urea dan mitomicin C. Meskipun demikian efek samping terapi ini juga semakin meningkat.(3)
3. Pembedahan
Menurut Wei (2003) nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk KNF stadium dini yang persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis lengkap.
Informasi terbaru mulai dikembangkan pengangkatan KNF dengan menggunakan scalpel dan diatermi melalui pendekatan endoskopik. Kelemahan nasofaringektomi endoskopik adalah visual field yang sempit, sulit mengatasi perdarahan profuse dan sulit memperoleh daerah bebas tumor terutama dibagian lateral olehkarena dekat dengan arteri karotis interna. Untuk meningkatakan keamanan dari nasofarungektomi sebaiknya pembedahan dilakukan dengan menggunakan imakeguidanse sistem atau teknologi stereotaktik navigation guidance.
Diseksi leher radikal ( RND ) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. Menurut Chew ( 1997) survival penderita yang dilakukan RND lebih tinggi ( 40-80%) daripada penderita yang tidak dilakukan RND (19-28%).(3)



BAB A. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
Tonsil termasuk sistem retikulo endotelial, terdiri atas 3 macam, yaitu :
1. Tonsila faring atau adenoid, terletak di nasofaring melekat di dasar tengkorak, dimana struktur limfoidnya tersusun dalam lipatan2. Mempunyai kripte yang lebih sedikit dibandingkan tonsila palatina. Permukaannya terdiri dari epitel yang mengikat3.
2. Tonsila palatina atau tonsila fausial berjumlah 2 buah terletak pada fosa tonsilaris yang terletak diantara plika anterior dan plika posterior di kanan dan kiri orofaring. Mempunyai lekukan yang disebut kripte dan trabekula, yang di dalamnya terdapat sentrum germinativum suatu penghasil limfosit. Sistem kripte yang komplek ini menyebabkan tonsila palatina lebih sering terkena penyakit daripada komponen cincin limfoid yang lain, karena pada kripte ini sering terisi detritus yang berisi epitel, limfosit, bakteri dan sisa makanan yang merupakan tempat utama untuk pertumbuhan bakteri patogen2,3.
3. Tonsila lingual berjumlah 2 buah yang letaknya berdekatan satu sama lain di pangkal lidah. Mempunyai kripta - kripta kecil yang tidak terlalu berlekuk - lekuk atau bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina2,3.
Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina ascenden, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring ascenden dan a. lingualis dorsal6. Ketiga macam tonsil ini satu sama lain dihubungkan oleh jaringan limfe, sehingga merupakan lingkaran mengelilingi lumen yang di sebut cincin waldeyer4,6. Cincin ini mempunyai fungsi pertahanan tubuh utama terhadap kuman - kuman yang masuk lewat udara pernafasan, makanan, dan minuman4. Arti tonsil dalam perkembangan kemampuan imunologis paling besar pada tahun - tahun awal kehidupan. Anak - anak dengan episode ulangan faringitis dan otitis media mengalami penurunan yang ringan dalam kemampuan menghasilkan Ig A2. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Pada permukaan medial tonsil terdapat kriptus sedangkan pada permulaan lateral terdapat kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi6.

B. KARSINOMA TONSIL

1. Etiologi

Etiologi karsinoma tonsil masih belum diketahui dengan pasti, tetapi kemungkinan besar penyebabnya adalah . Lalu akibat pengaruh faktor-faktor predisposisi dapat berubah menjadi karsinoma. Faktor genetika sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan HLA dari penderita Karsinoma Tonsil dimana untuk orang Indonesia asli ditemukan HLA-A24 dan B63 sebagai bentuk yang dominan. (11)

2. Faktor Predisposisi

a. Penggunaan tembakau
• Ini merupakan faktor resiko terkuat untuk berkembangnya kanker kepala dan leher. Berbagai bentuk tembakau yang dikonsumsi melalui mulut baik dengan menghisap maupun menginang meningkatkan resiko terjadinya Karsinoma Tonsil. Semakin lama konsumsi tembakau akan meningkatkan resiko terjadinya Karsinoma Tonsil. Resiko Karsinoma Tonsil akan menurun setelah penghentian konsumsi tembakau 5-10 tahun.
b. Infeksi
• Infeksi seperti Sifilis dan beberapa virus yang lain dapat meningkatkan terjadinya KNF karena terjadi pelemahan ikatan antar sel yang berlangsung secara kronik. Virus juga dapat masuk ke dalam sel sehingga merubah gen sel normal menjadi sel kanker. Ini disebut aktivasi onkogen. Virus yang diketahui paling sering menyebabkan proses tersebut adalah Human Papiloma Virus (HPV). Beberapa orang secara genetika mempunyai faktor predisposisi untuk menderita kanker karena virus.
c. Imunitas tubuh yang lemah
• Imunitas tubuh yang lemah misalnya karena AIDS, obat imunosupresan akan meningkatkan resiko Karsinoma Tonsil.
d. Riwayat kanker saluran nafas-cerna
• Riwayat kanker saluran nafas-cerna 25% berubah menjadi kanker yang lain ditempat yang sama.
e. Letak geografis
• Karsinoma Tonsil banyak ditemukan dinegara penduduk non Mongoloid, namun di daerah Cina bagian selatan, kasus ini masih menduduki tempat tertinggi.
f. Ras
• Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma tonsil, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malasya, Singapura, dan Indonesia
g. Lingkungan
• Iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dengan kebiasaan makan-makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas Karsinoma tonsil.
h. Makanan
Kebiasaan penduduk eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini
i. Alkohol
• Alkohol merupakan faktor resiko terjadinya kanker pada mulut, faring, esofagus, dan laring. Pengaruh alkohol terhadap kanker sulit diteliti tersendiri tanpa adanya pengaruh tembakau, karena biasanya peminum alkohol juga perokok. Resiko terjadinya kanker meningkat pada peminum bir daripada peminum anggur (wine).
j. Genetik
• Secara umum didapat 10 % dari pasien karsinoma tonsil menderita keganasan organ lain. Banyak pula ditemukan kasusu heredifer atau familier dari pasien karsinoma tonsil dengan keganasan pada organ tubuh lain.
3. Patogenesis
Lima belas tahun terakhir ini telah menjadi jelas mengenai cara mutasi gen menimbulkan transformasi dari sel normal ke sel kanker. Dipercaya tiga golongan gen berperan di dalam terjadinya kanker yaitu onkogen , gen supresor tumor dan gen yang terlibat dalam proses-proses yang berkaitan dengan reparasi DNA.
1. Onkogen
Pada penelitian binatang yang menggunakan virus yang diketahui dapat menimbulkan kanker, bertujuan untuk mengidentifikasi gen yang bertanggung jawab terhadap transformasi maligna. Gen-gen ini dinamakan onkogen. Pada penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa gen-gen tersebut terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel dan diferensiasi seluler. Gen seluler normal yang berhubungan dengan onkogen dinamakan protoonkogen yang produknya bisa berperan sebagai faktor pertumbuhan, sebagai reseptor untuk faktor pertumbuhan, sebagai pengantar dari permukaan sel ke inti sel atau faktor pengatur transkripsi gen. Perubahan yang dialami protoonkogen seluler pada aktivasi menjadi onkogen selalu bersifat mengaktivasi, artinya menstimulasi suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel. Mekanisme aktivasi ini antara lain berupa overekspresi, amplifikasi, mutasi noktah dan translokasi.
2. Gen supresor tumor
Pada tahun-tahun terakhir diketahui bahwa ada juga gen yang ekspresinya menekan terjadinya sel kanker. Kanker dapat timbul jika gen ini tidak menunjukkan ekspresinya atau mutasi noktah membuat suatu protein inaktif yang berfungsi abnormal. Gen-gen ini disebut gen-gen supresor tumor. Penemuan molekuler genetik pada bentuk-bentuk familial kanker mempunyai arti penting, karena kelainan genetik dapat ditentukan sebelum tumor terjadi. Hasil dari penemuan ini telah mengungkapkan fungsi dari gen supresor tumor yaitu antara lain berperan dalam komunikasi dan interaksi sel-sel maupun bagian-bagian dari sel, protein pengaktif dan lain-lain.
3. Gen-gen yang berperan pada proses perbaikan
Selain dari kedua peran yang telah diuraikan di atas telah diketahui pula bahwa sel mempunyai sistem komplek yang memperbaiki kesalahan pada DNA pada replikasi atau karena pengaruh mutagen secara kmiawi maupun fisik. Tidak berfungsinya sistem ini menimbulkan kenaikan frekuensi mutasi dan akhirnya menimbulkan terjadinya malignitas.
Jika suatu sel telah mengalami mutasi maka terdapat banyak perubahan dalam gen-gen yang mengatur pertumbuhan sehingga tidak tunduk lagi pada regulasi pertumbuhan fisiologik, maka pada prinsipnya kita sudah berhadapan dengan suatu sel kanker. Namun satu sel belumlah merupakan satu tumor. Pada volume kira-kira 1mm3 sel-sel tumor menginduksi miofibroblas dan tunas-tunas endotel yang dibantu oleh faktor-faktor pertumbuhan. Faktor pertumbuhan ini merangsang proliferasi sel stroma. Tumor selanjutnya menjadi manifestasi klinis baru bila mencapai volume minimal 0,5-1cm3. Sel-sel di dalam satu tumor dapat menunjukkan perbedaan dalam morfologi, derajat deferensiasi, kemampuan pertumbuhan infiltratif dan dalam sifaft-sifat metastasis dan sifat di dalam gen. Sebagian besar perbedaan oleh instabilitas genetik sel maligna. Perubahan genetik sel kanker dapat bertambah lebih agresif, hal ini dinamakan progresi tumor yang dianggap bertanggung jawab terhadap sifat klinik kanker yaitu terjadinya resistensi terhadap terapi hormonal dan kemoterapi, sifat pertumbuhan yang lebih agresif dari metastasis tumor primernya , dan sifat pertumbuhan tumor yang lebih agresif dari residif tumor lokal.





5. Diagnosis
. Rinoskopi Posterior
Cara terbaik untuk melihat nasofaring adalah dengan rinoskopi posterior memakai kaca cermin kecil, sebab memberi lapangan pandang yang cukup luas. Syarat yang harus dipenuhi adalah penderita harus kooperatif.
Untuk memperluas lapangan pandang, palatum molle ditarik ke muka dengan pertolongan kateter neleton, dengan kaca laring nasofaring dapat dilihat secara indirek. Dengan demikian semua area nasofaring dapat dilihat dengan teliti. Posterior, lateral, superolateral, fossa rosenmulleri, atap dan koana. Dapat juga dilengkapi dengan alat penekan lidah. Selain dapat menentukan lokasi, dapat juga ditentukan dengan menggunakan narkose. Cara ini tidak dapat dilakukan bila ada trismus, namun bisa diatasi dengan menggunakan narkose.
b. Nasofaringoskopi Direkta
Adanya nasofaringoskop yang dilengkapi optik bisa untuk melihat nasofaring secara langsung melalui hidung atau melalui mulut. Seluruh permukaan nasofaring dapat dilihat dengan cara ini. Kelemahan cara ini adalah bahwa lapangan pandang tidak luas seperti pada rinoskopi posterior.
c. Palpasi
Cara ini tidak menyenangkan bagi penderita dan hasilnya tidak memuaskan, lebih-lebih pada tumor yang kecil, meskipun dengan narkose. Tumor yang masih kecil yang terletak di atap nasofaring sukar sekali diraba dengan ujung jari telunjuk, bahkan seringnya mudah terluka oleh kuku sehingga berdarah pada pinggir ulkus.
Palpasi dilakukan harus secara halus, dan biasanya tampak perdarahan pada tempat tumor, karena mukosa lebih mudah berdarah. Cara palpasi ini dapat digunakan bila cara-cara lain tidak dapat ditentukan lokasi tumor.
d. X-foto
X-foto dapat memberikan petunjuk mengenai pertumbuhan jaringan dalam nasofaring.
- Dasar tengkorak : tampak daerah berkabut pada regio basal dan pada foramina.
- Gambar lateral : menunjukkan adanya jaringan yang menonjol dari nasofaring
Pada penderita dengan eksistensi intrakranial, maka kelihatan destruksi basis fossa kranii media, sella tursika, dan perselubungan daerah sfenoid. Destruksi tersebut tidak selalu dapat dilihat, bahkan penderita-penderita dengan keluhan neurologis sering tidak menunjukkan adanya destruksi basis kranii.
Jadi cara ini hanya merupakan dukungan kecil saja, tetapi ada pula yang beranggapan bahwa bila ada kecurigaan adanya pertumbuhan jaringan dalam nasofaring, maka secara rutin harus dibuat X-foto. (9)
H. Penentuan Stadium Klinik Karsinoma Tonsil
Untuk penentuan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC (1992) (2) :
T = Tumor primer
To = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain
T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring.
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring, dan sebagainya)
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
No = Tidak ada pembesaran
N1 = Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkam
N2 = Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat digerakkan.
N3 = Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral, maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase jauh
M0 = Tidak ada metastase jauh
M1 = Terdapat metastase jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, dapat ditentukan stadium penyakit, sebagai berikut :
Stadium I : T1 No Mo
Stadium II : T2 No Mo
Stadium III : T1 / T2 / T3 N1 Mo
T3 No Mo
Stadium IV : T4 No / N1 Mo
T1 / T2 / T3 / T4 N2 / N3 Mo
T1 / T2 / T3 / T4 No / N1 / N2 / N3 M1
Dengan mengetahui stadium keganasan, maka terapi yang sesuai dapat diberikan.
Klasifikasi KNF menurut WHO:6
Type 1. Differentiated squamous cell carcinoma
Type 2. Nonkeratinizing carcinoma
Type 3. Undifferentiated carcinoma

Diagnosis sebagian besar tergantung pada inspeksi dari gambaran klinis diatas, disertai dengan pemeriksaan penunjang berupa biakan dari tonsil dan permukaan dinding belakang tenggorok, ASTO test ( Anti Streptolisin Titer O ), Lab darah, dan uji resistensi kuman2,4,5,8.
7. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Terapi pilihan utama KNF yang belum ada metastasis jauh. KNF merupakan kanker yang dapat disembuhkan dengan radiasi terutama pada stadium dini ( I,II ), berdasarkan faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan KNF merupakan type 2 dan 3 yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor sangat sulit dikerjakan.(3)
Dosis terapi radiasi 65-70 Gy, radiasi dilakukan pada tumor primer dan daerah perluasan maupun metastasenya di kelenjar getah bening leher. Five years survival rate 50%.(6)
2. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi
Indikasi pemberian kemoterapi adalah KNF stadium lanjut lokoregional disertai atau dicurigai adanya metastasis jauh tumor persisten dan rekuren, sebagai alternatif terapi terakhir yang sudah diakui sebagai terapi standar.
Respon tumor terhadap radiasi umumnya meningkat bila dikombinasi dengan kemoterapi seperti cisplatin, 5FU, hidroxy urea dan mitomicin C. Meskipun demikian efek samping terapi ini juga semakin meningkat.(3)
3. Pembedahan
Menurut Wei (2003) nasofaringektomi terutama diindikasikan untuk KNF stadium dini yang persisten atau mengalami kekambuhan setelah menjalani radioterapi dosis lengkap.
Informasi terbaru mulai dikembangkan pengangkatan KNF dengan menggunakan scalpel dan diatermi melalui pendekatan endoskopik. Kelemahan nasofaringektomi endoskopik adalah visual field yang sempit, sulit mengatasi perdarahan profuse dan sulit memperoleh daerah bebas tumor terutama dibagian lateral olehkarena dekat dengan arteri karotis interna. Untuk meningkatakan keamanan dari nasofarungektomi sebaiknya pembedahan dilakukan dengan menggunakan imakeguidanse sistem atau teknologi stereotaktik navigation guidance.
Diseksi leher radikal ( RND ) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. Menurut Chew ( 1997) survival penderita yang dilakukan RND lebih tinggi ( 40-80%) daripada penderita yang tidak dilakukan RND (19-28%).(3)






KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT atas terselesaikannya Refrat Diagnosis dan Penatalaksanaan Kolesteatom yang disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menempuh kepaniteraan senior dibagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada :

1. Dr. Yogyahartono Sp.THT selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan bimbingannya pada kami
2. Rekan-rekan Co Ass yang banyak memberi masukan pada penulis

Kami menyadari Refrat ini masih jauh dari sempurna disebabkan karena keterbatasan kami, baik dibidang pengetahuan maupun kemampuan kami. Oleh karena itu semua saran dan kritik yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati.
Akhir kata kami berharap semoga Refrat ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca pada umumnya

Semarang, Desember 2004


Penulis